Pernahkah kamu merasa dunia ini terlalu bising?
Bukan hanya karena suara kendaraan atau obrolan di
kafe, tapi karena notifikasi yang terus berdentang, informasi yang datang tanpa
henti, dan ekspektasi tak kasatmata yang menuntut kita untuk selalu aktif,
sibuk, dan produktif. Kita hidup di tengah gempuran—gadget, media sosial,
budaya FOMO, hingga rasa bersalah kalau terlalu lama istirahat. Lalu di tengah
hiruk-pikuk itu, muncullah sosok Marissa Anita, dengan keheningan dan kesadaran
yang nyaris langka: ia memilih untuk hidup dengan intensionality.
Kata intensionality memang tidak (belum)
kita temukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tapi akar katanya bisa
ditelusuri dari “intensional”, yang berbeda dari “intentional.” Intentional
artinya disengaja, terencana. Sedangkan intensional berasal dari dunia
filsafat, khususnya fenomenologi dan ilmu bahasa, yang merujuk pada kesadaran
yang memusat pada objek tertentu, atau lebih sederhananya: perhatian yang
hadir dengan niat dan makna.
Jika harus kita Indonesiakan, barangkali intensionality
adalah “kehadiran penuh dengan niat,” atau “kesadaran bernilai yang tertuju.”
Ini lebih dari sekadar niat baik, tapi soal cara kita menyaring pilihan hidup,
menyelaraskan tindakan dengan nilai, dan tidak hidup secara otomatis.
Marissa Anita, dengan tenang tapi penuh pendirian,
mempraktikkan ini dalam kehidupan sehari-harinya. Ia tidak anti-teknologi,
tidak pula eksklusif dari dunia hiburan atau media. Tapi ia sadar benar kapan
harus hadir, dan kapan harus menarik diri.
Salah satu contoh yang begitu membekas adalah saat
ia memutuskan menonton film di bioskop tanpa membawa handphone. Bukan karena
lupa, tapi karena memilih untuk meninggalkannya. Ia bilang, ia ingin
mencoba merasakan seperti zaman sebelum ponsel pintar menguasai dunia. Sebuah
eksperimen kecil yang ternyata menghasilkan pengalaman yang sangat berbeda. Ia
menyebutnya “amazing.” Ia merasa lebih fokus, lebih hadir, dan yang paling
menarik: lebih tenang. Tidak ada jeda untuk mengecek notifikasi. Tidak ada
interupsi. Hanya duduk, melihat layar lebar, dan menikmati cerita dari awal
sampai akhir dengan penuh.
Ironis, bukan? Di zaman ketika orang tak bisa
makan tanpa memotret dulu, Marissa memilih untuk menonton tanpa distraksi. Saat
semua orang ingin “up to date”, ia justru merasa lebih hidup dengan menyepi
sejenak. Ia memperlakukan media sosial seperlunya, sebagai alat, bukan sebagai
penentu harga diri.
Kehidupannya bukan tanpa kesibukan. Ia tetap
bekerja, berkarya, bahkan bersinar di dunia yang penuh eksposur. Tapi yang
membedakan adalah cara ia menata dirinya dari dalam. Ia menjalani hidup seperti
menulis surat cinta yang jujur—penuh makna, tidak terburu-buru, dan hanya
ditujukan untuk hal-hal yang penting baginya.
Lalu aku pun bertanya pada diriku sendiri. Sudah
berapa lama aku hidup secara otomatis? Bangun, buka handphone, buka aplikasi
yang sama, scroll tanpa arah, sibuk dengan banyak hal tapi merasa kosong di
dalam. Mungkin, seperti Marissa, kita semua sedang rindu untuk benar-benar
hadir. Rindu untuk hidup dengan rasa yang jernih.
Intensionality bukan tentang menjadi sempurna.
Bukan juga tentang hidup lambat terus-menerus. Tapi tentang tahu kenapa
kita melakukan sesuatu. Tentang menyaring sebelum menyetujui. Tentang sadar
sebelum bertindak.
Menulis bukan lagi soal mengejar angka pengunjung
blog, tapi tentang menyalurkan isi hati. Mengobrol bukan sekadar menggugurkan
kewajiban, tapi menjadi ruang untuk mendengarkan. Bahkan istirahat—yang sering
kita rasa bersalah melakukannya—bisa menjadi bentuk mencintai diri sendiri,
jika dilakukan dengan sadar.
Dan kini, aku menutup tulisan ini dengan
pertanyaan yang mungkin juga akan menggugahmu:
Apakah kamu akan menjadikan intensionality sebagai arti penting dalam hidupmu tahun ini? []