Oleh: Siti Hajar
Ada banyak alasan seseorang
bertahan dalam pekerjaan—karena tanggung jawab kepada keluarga, karena belum
ada pilihan lain, atau karena mencintai apa yang dikerjakan. Namun semua alasan
itu bisa runtuh ketika kita harus menghadapi satu kenyataan: bekerja di bawah
atasan yang meledak-ledak emosinya. Kata-kata tajam, nada tinggi, tatapan
menekan—semuanya bisa membuat kantor terasa seperti medan tempur, bukan tempat mencari
penghidupan.
Namun, hidup tidak selalu memberi
kita pilihan untuk pergi. Kadang, yang bisa kita lakukan hanyalah bertahan,
belajar berdamai, dan tetap menjaga harga diri. Lalu, bagaimana caranya?
1. Kendalikan Dirimu Sebelum
Mengendalikan Situasi
Saat bos mulai marah, insting
manusia biasanya ingin membela diri. Namun di momen seperti ini, yang pertama
harus dikendalikan bukanlah orang lain, tapi diri sendiri. Tarik napas.
Dengarkan. Jangan membalas. Diam bukan berarti kalah, tapi tanda bahwa kamu
sedang menjaga dirimu tetap waras. Marah adalah api, dan emosi yang dibalas
dengan emosi hanya akan memperbesar kobarannya.
2. Pahami Bahwa Amarah
Seringkali Bukan Tentangmu
Banyak bos marah bukan hanya
karena kesalahan teknis pegawainya. Mungkin ia sedang ditekan target dari
pimpinan di atasnya. Mungkin semalam ia tak tidur karena masalah keluarga. Ini
bukan pembenaran. Ini pengingat: jangan langsung mengambil semua kemarahannya
ke dalam hati. Kadang, kamu hanya menjadi tempat tercepat ia meluapkan rasa
frustrasinya.
3. Dengarkan Dulu, Jelaskan
Belakangan
Menyela di tengah seseorang yang
sedang marah hanya akan membuatnya merasa tidak dihargai. Biarkan ia selesai.
Tahan komentar. Setelah reda, baru katakan pelan, “Pak/Bu, kalau berkenan saya
ingin menjelaskan bagian saya.” Kalimat sederhana ini menunjukkan respect tanpa
menghilangkan martabatmu.
4. Fokus Pada Solusi, Bukan
Pada Ketidakadilan
Tidak semua kemarahan bos perlu
diperdebatkan. Dunia kerja lebih menghargai solusi daripada pembelaan diri.
Alih-alih berkata, “Sebenarnya bukan saya yang salah,” lebih baik, “Baik Pak,
apakah saya bisa perbaiki dan kirim ulang sebelum jam tiga?” Kamu bukan sedang
merendahkan diri, tapi mengarahkan situasi menjadi produktif.
5. Kenali Pola—Karena
Kemarahan Pun Punya Jadwal
Setiap bos punya tombol “trigger”
yang memancing emosinya. Ada yang tak suka keterlambatan, ada yang sensitif
soal detail laporan, ada pula yang marah kalau tidak diberi update berkala.
Dengan mengenali pola ini, kamu bisa menyiapkan strategi lebih awal. Ini bukan
menjilat, tapi cerdas membaca medan.
6. Belajar Berbahasa dengan
Benar: Jelas, Ringkas, dan Tidak Defensif
Bahasa yang salah dapat memicu
api. Saat menjelaskan sesuatu, gunakan kata-kata yang tertata, tidak menyindir,
tidak berlebihan. Bukannya berkata, “Saya sudah bilang dari kemarin, tapi Bapak
nggak dengar…” cukup katakan, “Baik Pak, izinkan saya ulang penjelasannya
secara ringkas.” Bahasa yang tenang adalah perisai.
7. Rawat Dirimu Setelah Badai
Terkadang, tubuh tenang tapi hati
retak. Setelah dimarahi, jangan berpura-pura kuat. Beri ruang untuk dirimu: ke
toilet, cuci tangan dan wajah, tarik napas panjang, curhat pada Allah, atau
tuliskan rasa sesak di catatan pribadi. Jangan pendam terlalu lama—emosi yang
ditahan bisa berubah jadi luka.
8. Saat Harga Dirimu Disakiti,
Kamu Berhak Bicara
Ada garis halus antara teguran
dan penghinaan. Jika amarah berubah menjadi caci maki personal, ancaman, atau
menjatuhkan martabat, kamu punya hak membela diri secara bermartabat. Bisa
dengan bicara langsung ketika suasana tenang, atau melalui jalur formal seperti
HRD. Ingat, kesabaran bukan berarti membiarkan diri diinjak-injak.
9. Jangan Jadikan Ruang Kantor
Sebagai Panggung Gosip
Mengeluh itu manusiawi. Tapi
hati-hati, jangan sampai curhatan berubah menjadi fitnah atau drama kantor yang
berujung rusak nama. Lebih baik curhat pada orang terpercaya di luar kantor,
atau kepada Tuhan dalam doa yang diam-diam. Sebab menjaga lidah adalah bagian
dari menjaga kehormatan diri.
10. Niatkan Kerja Sebagai
Ibadah—Agar Hati Tetap Utuh
Pada akhirnya, dunia kerja tak
selalu adil. Tapi selama niatmu lurus, hasilnya tetap berpahala. Jadikan
pekerjaan sebagai ibadah. Amarah bos sebagai latihan kesabaran. Dan setiap
keringat sebagai bagian dari tanggung jawabmu kepada keluarga dan Tuhan. Di
situlah hati tetap kuat, bahkan ketika dunia kantor tidak bersahabat.
Kau Boleh Lelah, Tapi Jangan
Hilang Arah
Menghadapi bos pemarah tidak
mudah. Tidak semua orang bisa pergi dan mencari pekerjaan baru. Tapi bertahan
bukan berarti menyerah. Ini soal menjaga diri, membangun batas, dan tetap
berdiri tegak tanpa kehilangan hati.
Kamu boleh merasa sakit, tapi kamu tidak harus berubah menjadi keras. Kamu boleh kecewa, tapi kamu tidak harus kehilangan rasa hormat. Karena sesungguhnya, yang paling kuat bukan yang paling keras suaranya—tetapi yang mampu tetap tenang di tengah badai. []
