Oleh: Siti Hajar
Beberapa tahun
terakhir, istilah luka pengasuhan menjadi sangat populer. Topik muncul di
media sosial, ruang diskusi kesehatan mental, bahkan obrolan sehari-hari.
Sayangnya, popularitas ini sering membuat maknanya bergeser. Luka pengasuhan
kerap dipahami secara hitam-putih: orang tua sebagai penyebab, anak sebagai
korban. Padahal, realitas kehidupan jauh lebih kompleks daripada itu.
Tidak ada
manusia yang tumbuh tanpa pernah merasa tersakiti saat kecil. Tidak ada masa
kanak-kanak yang sepenuhnya steril dari rasa takut, kecewa, atau terluka. Luka
pengasuhan bukanlah bukti kegagalan orang tua, melainkan jejak dari relasi
manusia yang dibentuk oleh zamannya, keterbatasannya, dan cara bertahan hidup
yang diwariskan lintas generasi.
Banyak orang tua
di masa lalu membesarkan anak tanpa pengetahuan psikologi, tanpa kelas
parenting, tanpa buku tentang regulasi emosi. Mereka membesarkan anak dengan
apa yang mereka miliki saat itu: nilai budaya, disiplin keras, dan keyakinan
bahwa anak harus kuat agar bisa bertahan di dunia. Dalam banyak budaya—termasuk
yang kita lihat pada masyarakat Tionghoa generasi lama—kekerasan fisik dan
verbal dianggap bagian dari pendidikan. Bukan karena orang tua membenci
anaknya, melainkan karena mereka percaya itulah cara membentuk karakter.
Ironisnya,
banyak dari anak-anak yang tumbuh dalam kerasnya pengasuhan masa lalu justru
menjadi pribadi yang tangguh, berani menghadapi dunia luar, dan memiliki rasa
hormat yang tinggi kepada orang tua dan keluarga. Di luar rumah, mereka berani
dan mandiri. Di dalam rumah, mereka tahu batas, tahu adab, tahu posisi. Rasa
takut pada orang tua bukan semata ketakutan traumatis, melainkan bentuk
struktur hierarki yang jelas. Ada otoritas, ada aturan, ada konsekuensi.
Hari ini, kita
melihat fenomena yang berlawanan. Anak-anak tumbuh dengan bahasa psikologi yang
lebih kaya, tetapi sering kali tanpa batas yang jelas. Mereka berani melawan
orang tua, melakukan kekerasan, bahkan tidak jarang membunuh anggota keluarga
sendiri. Banyak anak tidak lagi merasa orang tua adalah figur yang harus
dihormati, melainkan pihak yang bisa ditantang atau diabaikan. Ini bukan semata
kesalahan anak, juga bukan semata kesalahan orang tua. Ini adalah perubahan
besar dalam pola pengasuhan, nilai, dan struktur sosial.
Di sinilah luka
pengasuhan perlu dipahami dengan lebih dewasa. Luka pengasuhan bukan lisensi
untuk membenci atau menyalahkan orang tua. Ia adalah ruang refleksi untuk
memahami bagaimana pengalaman masa kecil membentuk cara kita merespons dunia
hari ini. Mengakui luka bukan berarti meniadakan pengorbanan orang tua yang
telah melahirkan, membesarkan, dan menyekolahkan kita dengan segala
keterbatasan mereka.
Bagi sebagian
orang—termasuk mereka yang tumbuh dalam kekerasan nyata, siksaan fisik dan
emosional yang ekstrem—luka pengasuhan memang meninggalkan bekas yang dalam.
Tubuh mengingat apa yang pikiran coba lupakan. Ketakutan, kewaspadaan berlebih,
kemarahan terpendam, atau kesulitan mempercayai orang lain adalah konsekuensi
yang nyata. Namun, bahkan dalam kasus seperti ini, penyembuhan tidak selalu
berarti membenci masa lalu. Justru, penyembuhan sering dimulai ketika seseorang
mampu berkata, “Aku terluka, dan aku ingin hidup lebih baik dari lukaku.”
Masalah muncul
ketika luka pengasuhan dijadikan identitas permanen. Ketika setiap kesulitan
hidup selalu dikembalikan pada orang tua. Ketika tanggung jawab pribadi
menghilang atas nama trauma. Pada titik itu, luka tidak lagi menjadi pintu
kesadaran, melainkan penjara baru. Padahal, menjadi dewasa berarti mampu
memikul kenyataan bahwa orang tua kita adalah manusia biasa—punya cinta, punya
kekurangan, punya ketidaktahuan, dan punya luka mereka sendiri.
Menyadari luka
pengasuhan seharusnya membawa seseorang pada kedewasaan emosional, bukan
pembangkangan emosional. Ia membantu kita memilih mana nilai lama yang ingin
kita pertahankan, dan mana pola lama yang ingin kita hentikan. Ia tidak
menghapus hormat pada orang tua, tetapi membantu kita berdiri sebagai individu
yang tidak lagi hidup dalam reaksi masa kecil.
Bagi mereka yang
hidup dalam siksaan saat kecil, mengakui luka adalah bentuk keberanian. Namun,
memilih untuk tidak mewariskan luka itu kepada generasi berikutnya adalah
bentuk kebijaksanaan yang lebih tinggi. Kita tidak bisa mengubah bagaimana kita
dibesarkan, tetapi kita bisa menentukan bagaimana kita hidup setelah
menyadarinya.
Luka pengasuhan,
jika dipahami dengan jernih, bukan alat untuk mengutuk masa lalu. Ia adalah
cermin untuk bertanya: luka ini akan kujadikan alasan, atau kujadikan
pelajaran?
Dan di situlah
penyembuhan sejati dimulai—bukan ketika kita membenci orang tua, melainkan
ketika kita berhenti membiarkan masa lalu mengendalikan masa depan.
Luka pengasuhan
bukanlah tentang mengadili masa lalu, apalagi menunjuk siapa yang paling
bersalah. Psikologi tidak bekerja untuk memenangkan perdebatan moral, melainkan
untuk memahami bagaimana manusia dibentuk, bertahan, dan berkembang di dalam
konteks zamannya. Orang tua dan anak sama-sama berada dalam lingkaran pengaruh
budaya, ekonomi, nilai, dan keterbatasan emosional yang diwariskan lintas
generasi.
Budaya
pengasuhan yang memanusiakan manusia bukan budaya yang bebas aturan, tetapi
budaya yang menghadirkan batas dengan kehangatan. Bukan yang meniadakan
disiplin, tetapi yang menjelaskan makna disiplin. Anak tidak perlu tumbuh tanpa
rasa takut sama sekali, tetapi ia perlu tahu bahwa rasa takutnya tidak berasal
dari ancaman kehilangan cinta. Ketika koreksi disampaikan tanpa penghinaan,
ketika otoritas dijalankan tanpa merendahkan, sistem saraf anak belajar bahwa
kesalahan bukan ancaman terhadap keberadaannya sebagai manusia.
Dari sudut
pandang psikologi perkembangan, trauma bukan semata-mata lahir dari kerasnya
perlakuan, melainkan dari ketiadaan rasa aman emosional yang konsisten.
Seorang anak dapat bertumbuh kuat dalam disiplin yang tegas, selama ia merasa
dilihat, diakui, dan tidak ditinggalkan secara emosional. Sebaliknya,
kelembutan tanpa batas yang jelas pun bisa melahirkan kebingungan dan
ketidakmampuan mengelola frustrasi.
Maka, tujuan
pengasuhan yang sehat bukan menciptakan anak yang selalu patuh atau selalu
bahagia, melainkan anak yang mengenal batas, mengenal tanggung jawab, dan
mengenal nilai dirinya sebagai manusia. Anak yang dibesarkan dengan
keseimbangan antara struktur dan empati cenderung tumbuh tanpa kebutuhan untuk
melawan secara destruktif atau melukai secara ekstrem di kemudian hari.
Jika ada luka
yang tersisa dari masa lalu, psikologi mengajarkan bahwa luka itu bukan untuk
disangkal, tetapi juga bukan untuk diwariskan. Kesadaran adalah titik temu
antara penerimaan dan perubahan. Di sanalah seseorang berhenti mencari siapa
yang salah, dan mulai bertanya: nilai apa yang ingin aku teruskan, dan pola apa
yang ingin aku hentikan.
Pengasuhan yang
memanusiakan manusia lahir bukan dari kesempurnaan orang tua, melainkan dari
keberanian untuk belajar, merefleksi, dan memperbaiki. Dan ketika satu generasi
memilih untuk lebih sadar, luka tidak lagi menjadi takdir—melainkan pelajaran
yang membentuk masa depan yang lebih sehat.
