Jejak Rasa di Meja Lebaran-Ketika Kenangan Tak Lagi Tersaji di Atas Meja



Oleh: Siti Hajar

Lebaran tahun ini menyimpan begitu banyak rasa dalam satu hati. Seperti pelangi yang muncul usai hujan, indah tapi menyisakan sendu. Ada haru yang mengendap—campuran antara rasa syukur karena masih diberi kesempatan pulang, dan rindu yang menyesak dada saat menapaki halaman rumah besar yang kini tak lagi seramai dulu.

Di tengah keramaian saling bersalaman, aku menyelinap ke pemakaman. Mengunjungi pusara mak dan bapak, juga kakak serta adik yang telah lebih dulu pulang ke haribaan Ilahi. Ada bahagia yang tak bisa dijelaskan saat membacakan doa untuk mereka. Tapi juga ada genangan air mata yang tak bisa disembunyikan. Seakan setiap langkah ke sana membawa pulang kenangan yang pernah begitu hangat di hati.

Dan seperti refleks yang tak bisa dicegah, pikiranku selalu kembali ke satu tempat: dapur rumah di hari-hari menjelang Lebaran. Di sanalah, cinta ibu mewujud menjadi aroma yang menyelimuti seluruh rumah. Bukan sekadar makanan, tapi warisan rasa yang menyatukan keluarga, yang menyembuhkan rindu dan memeluk letih dalam senyap.

Setiap Lebaran, ibu selalu menyulap dapur menjadi ruang penuh keajaiban. Sehari sebelum hari raya, saat hari meugang tiba, beliau akan mulai sibuk sejak pagi. Daging sapi dibumbui dengan sabar, dimasak hingga menjadi rendang yang pekat, empuk, dan harum. Di sebelahnya, daging masak Aceh dengan aroma kari dan rempah lokal yang menari di hidung. Dan tentu saja sie reuboh—masakan sederhana tapi menggugah, dengan cita rasa asam segar yang menjadi penyeimbang di tengah hidangan berkuah santan.

Aku masih ingat betul bagaimana dengan kaki tertatih sampai dengan jauh malam, bahkan ketika sedang berpuasa. Tak ada keluhan, hanya senyum tipis dan tangan yang terus bekerja. Di sela-sela aktivitas, beliau masih sempat menyisihkan waktu untuk membuat timphan—kue khas Aceh yang terbuat dari pisang dan tepung ketan, dibungkus daun pisang muda. Bukan timphan instan, melainkan buatan tangan penuh ketekunan dan ketulusan.

Di pagi Lebaran, meja makan kami selalu penuh. Ada bolu pandan, bolu coklat, lontong sayur yang gurih pedas, mie hun dan mie caluek yang menjadi pelengkap, kedatangan saudara dari ayah dan ibu yang hadir hanya pada momen istimewa. Semua hidangan itu tersaji tidak hanya untuk mengenyangkan perut, tapi juga mengikat hati. Makanan-makanan itu adalah jejak cinta yang menghubungkan generasi.

Namun kini, setelah ibu tiada, semua berubah.

Rumah besar masih berdiri. Tapi aroma yang dulu menyambut sejak dari halaman kini lenyap. Suasana dapur yang dulu hidup, kini hanya sunyi. Ketika aku pulang, yang tersaji bukan lagi rendang atau sie reuboh, melainkan bakso, dan  makanan cepat saji, serta kue-kue modern yang tak punya cerita. Keluarga adik yang kini tinggal di rumah itu tentu punya caranya sendiri dalam menyambut Lebaran, dan aku tidak menyalahkan mereka. Dunia berubah, waktu berjalan. Tapi ada ruang kosong yang tak bisa diisi oleh modernitas—ruang itu bernama kenangan.

Kadang aku berdiri lama di dapur, membiarkan pikiranku mengembara. Mendengar gema spatula yang tak lagi ada, membayangkan ibu yang duduk dan sesekali ikut bercerita saat anak-anaknya bercerita ngolor ngidul enggak tentu arah.

Di balik sunyinya meja makan kini, aku belajar bahwa rasa tak selalu harus tersaji di atas piring. Ia bisa hidup dalam hati, dalam ingatan, dalam usaha kita mewariskan kembali tradisi yang perlahan menghilang. Mungkin suatu hari aku bisa membuat kembali sie reuboh itu. Mungkin nanti aku akan mengajarkan cara membuat timphan pada keponakanku. Bukan sekadar untuk dimakan, tapi untuk dikenang, agar cinta ibu tak ikut hilang ditelan zaman.

Lebaran bukan hanya tentang baju baru dan kumpul keluarga. Ia adalah ruang sakral di mana rasa dan makna bertemu. Tempat di mana kita menyusuri jejak yang ditinggalkan orang-orang tercinta. Dan meski kini tidak semua rasa tersaji seperti dulu, mereka tetap hidup dalam ingatan—dan dalam hati yang tak pernah benar-benar melepaskan. []

 

Lebih baru Lebih lama