Oleh: Siti Hajar
“Jangan pulang
terlalu malam kalau bawa nasi maulid. Apalagi lewat jembatan Seunapet. Banyak
orang sudah kena, tapi tak semua selamat.”
Begitu kata Nek Patimah pada cucunya, tapi siapa yang percaya pada cerita lama
di zaman sekarang?
Namanya Taufik,
pemuda dari kampung Aceh Waktu itu bulan Rabiul Awal, dan seperti biasa,
keluarga mereka ikut kenduri maulid di kampung sebelah, Lam Tamot. Taufik disuruh ambil nasi maulid buat orang rumah yang
tak sempat hadir. Ia berangkat menjelang magrib, ketika langit sudah oranye
keunguan dan azan baru saja selesai berkumandang.
Perjalanan pergi
tak ada masalah. Tapi saat pulang, ia lewat jalan yang biasa saat pergi tadi, karena di sana hanya ada satu-satunya jalan mudah dilewati yaitu jembatan Seunapet.
Langit sudah
gelap ketika motornya sampai di tengah jembatan itu. Sunyi. Tak ada satu
kendaraan pun lewat. Di bawah jembatan, hanya suara gemericik sungai dan
sesekali lenguhan angin seperti orang mendesah panjang. Tapi Taufik tak ambil
pusing. Ia hanya ingin cepat sampai rumah, mengantar nasi maulid yang dibungkus
dalam rantang besar di jok belakang motornya.
Sampai
tiba-tiba... motornya mati.
Tanpa suara,
tanpa tanda-tanda. Mesin yang tadinya meraung pelan tiba-tiba membisu. Lampu
pun padam.
Taufik bingung.
Ia turun, periksa tangki bensin. Masih penuh. Kabel? Tak ada yang terlepas.
Aki? Seharusnya masih bagus. Tapi tak ada suara, tak ada getaran. Motor seperti
mayat—dingin dan beku.
Ia mulai merasa
ada yang aneh.
Saat ia mencoba
men-starter lagi, dari ujung jembatan, terdengar suara langkah. Seperti suara
kain diseret. Pelan, tapi mendekat. Ia menoleh. Tak ada siapa-siapa.
Lalu...
terdengar suara perempuan menangis. Lirih. Patah-patah.
“Uhhh... tolong... Bang... tolong...”
Seketika bulu
kuduknya berdiri. Suara itu datang dari belakang. Tapi saat ia menoleh
cepat-cepat, tak ada siapa-siapa. Hanya nasi maulid yang terbungkus rapi di
atas jok.
Lalu rantang itu
bergerak. Sendiri. Seperti disentuh oleh tangan tak terlihat.
Taufik tak
sempat berpikir dua kali. Ia mundur, membaca ayat Kursi dalam hati, nyaris
tanpa suara karena tenggorokannya kering. Tapi suara itu makin dekat. Tangisan
makin jelas.
Dan di kaca
spion... ia melihatnya.
Wajah pucat,
rambut panjang basah, mata melotot merah, dan mulut separuh robek, seperti
digaruk paksa. Sosok perempuan itu berdiri di belakang motornya—menatapnya.
Tapi tak seperti manusia.
“Halimah...”
lirihnya, seperti nama itu keluar sendiri dari ingatan lama yang pernah ia
dengar saat kecil.
Itu benar-benar
Halimah, gadis kampung yang katanya dulu diperkosa dan dibunuh lalu dibuang ke
sungai di bawah jembatan itu. Katanya, jasadnya hanyut tanpa pernah ditemukan.
Dan sejak itu, siapa pun yang lewat jembatan itu malam hari—apalagi membawa
makanan maulid—akan dihampiri oleh arwahnya.
Entah karena
lapar... atau karena rindu dikenang sebagai manusia.
Taufik pingsan
di tempat.
Esok paginya,
warga menemukannya tergeletak di pinggir jembatan. Motornya utuh. Nasi maulid
masih lengkap. Tapi rantang itu terbuka, dan di atas nasi, ada helaian rambut
panjang hitam... dan basah.
***
Laki-laki paruh
baya itu terbangun di bale-bale rumah
Mak Nah, seorang nenek tua yang tinggal tak jauh dari jembatan. Ia tak tahu
bagaimana bisa sampai ke sana. Yang ia ingat hanya wajah pucat itu… rambut
panjang basah, dan tatapan mata merah seperti bara api yang tak padam.
“Alhamdulillah
bangun juga kamu. Orang kampung yang menemukan kau tadi subuh, udah menggigil
kaku di pinggir jalan. Nasi maulidmu utuh, cuma...”
Mak Nah tak
melanjutkan kalimatnya, tapi pandangannya tajam mengarah ke rantang nasi yang
diletakkan di pojok ruangan. Taufik menoleh perlahan.
Rantang itu
memang masih di sana. Tapi tutupnya tak lagi rapat, dan dari sela-sela nasi di
lapisan paling atas, terjulur helaian rambut panjang. Hitam. Basah. Dan berbau
anyir.
Taufik menahan
napas. Jantungnya berdegup keras.
“Mak... itu...
rambutnya Halimah?” tanyanya nyaris tak terdengar.
Mak Nah diam.
Lalu dengan suara rendah, seperti sedang mengaji kisah lama, ia mulai
bercerita.
“Halimah itu
gadis kampung sini dulu, cantik, sopan, hafal Al-Qur’an. Dulu dia sering
diminta ikut baca barzanji kalau ada maulid. Tapi entah bagaimana nasib buruk
menimpanya. Suatu malam, waktu pulang dari rumah teungku habis latihan zikir,
dia dibuntuti oleh tiga lelaki. Orang-orang bilang, dua dari mereka orang luar
yang kerja buka jalan di Saree. Mereka—”
Suara Mak Nah
bergetar.
“Mereka bukan
hanya menyakitinya. Mereka mempermainkan hidupnya. Dibekap, diseret, dihajar...
lalu tubuhnya dilempar ke sungai. Dibuang begitu saja, seperti bangkai. Sampai
hari ini jasadnya tak pernah ditemukan.”
Taufik
menggenggam lututnya. Seluruh tubuhnya dingin. Tapi ada rasa lain yang
muncul—bukan sekadar takut, tapi pilu, iba, marah.
“Terus... kenapa
dia muncul di jembatan?” tanyanya pelan.
Mak Nah
menatapnya dalam. “Karena dia tak pernah dikenang. Tak pernah dimakamkan. Tak
pernah di-doakan. Namanya dilupakan, ditutupi orang kampung karena aib. Bahkan
orang tuanya minggat ke luar Aceh, katanya tak tahan menanggung malu. Halimah
hilang sebagai manusia. Yang tersisa hanya roh yang menuntut—bukan balas
dendam... tapi pengakuan bahwa dia pernah ada.”
Taufik tercekat.
“Lalu... kenapa dia... tinggalkan rambutnya di nasi maulid?”
Mak Nah menjawab
tanpa ragu, “Karena itu satu-satunya bentuk pengingat yang dia punya. Nasi
maulid adalah simbol peringatan akan kelahiran. Tapi malam itu, nasi itu jadi
peringatan akan kematian yang dilupakan. Dia ingin orang tahu bahwa dia masih di
sini. Bukan untuk menakut-nakuti, tapi untuk bertanya…”
Suara Mak Nah
merendah, nyaris seperti bisikan.
“Kenapa aku tak
sempat hidup sebagai perempuan yang layak? Kenapa aku harus dibuang tanpa nama,
tanpa nisan, tanpa doa?”
Sejak malam itu,
hidup Taufik berubah. Ia tak lagi melewati jembatan Seunapet tanpa membaca
Al-Fatihah zikir, ayat kursi. Dan setiap kali ada kenduri maulid, ia memilih
pulang lebih awal tidak saat senja dan menjelang magrib.
Taufik mengirim
doa dan membaca surah tiga Qul, laki-laki itu mengenang bahwa Halimah pernah
hidup. Dan kini dikenang sebagai manusia. Bukankah kita sesama manusia harusnya saling mendoakan. Mendoakan kebaikan dunia dan akhirat? []
Disclaimer: Ini hanyalah cerita fiksi semata.