Oleh: Siti Hajar
Aku tidak sedang bicara tentang standar
kecantikan. Bukan pula soal mode, apalagi parfum mewah. Aku hanya ingin kita
mengingat hal yang sering luput saat bicara hijrah: tubuh ini amanah, dan
merawatnya adalah bagian dari ibadah.
Hijrah perempuan sering digambarkan dengan busana
yang lebih longgar, jilbab yang lebar dan tebal, serta kesadaran untuk menjaga
pandangan dan sikap. Tapi bagaimana dengan kebersihan diri? Kerapian tampilan?
Kesegaran aroma tubuh? Bukankah itu juga bagian dari akhlak muslimah yang tak
boleh diabaikan?
Aku tinggal di daerah tropis, seperti juga kamu.
Matahari menyengat nyaris setiap hari, udara lembap, dan keringat bisa jadi
teman harian. Dalam kondisi seperti ini, mengenakan pakaian syar’i yang tebal
adalah perjuangan tersendiri. Tapi bukan berarti kita harus pasrah pada bau
tubuh yang mengganggu atau penampilan yang asal-asalan. Justru di sanalah
ladang keikhlasan itu terbentang.
Bagiku, muslimah itu harus bersih. Bersih
bukan hanya soal mandi dua kali sehari. Tapi juga tentang perhatian kecil yang
tak terlihat—seperti memastikan area tubuh tersembunyi tidak lembap, menjaga
pakaian dalam tetap segar, dan membiasakan memakai bahan pakaian yang menyerap
keringat. Islam bahkan mengajarkan mandi wajib dan sunnah, bersiwak, dan
memakai wewangian. Semua itu bukan tanpa makna, tapi menunjukkan betapa agama
ini sangat peduli pada kebersihan.
Muslimah itu harus rapi. Bukan berarti harus bermerek atau selalu
baru. Tapi cukup dengan pakaian yang disetrika, jilbab yang tidak kusut atau
bau apek karena belum kering sepenuhnya. Padu padan warna yang tenang, sepatu
yang bersih, dan bahkan tas yang tidak berantakan bisa memengaruhi mood dan
energi harian kita. Orang sering menilai dari tampilan luar, dan seorang
muslimah rapi bisa menjadi dakwah diam yang kuat.
Dan ya, muslimah
itu harus wangi. Aku tidak sedang membicarakan parfum mahal atau aroma
mencolok yang menusuk hidung. Tapi
setidaknya, tubuh kita tidak menimbulkan aroma yang mengganggu. Bau netral,
segar dari sabun mandi atau bedak ringan, itu sudah cukup. Ada banyak
alternatif alami juga—jeruk nipis, cuka apel, atau bahkan sekadar memilih
pakaian dalam yang cepat kering dan mudah diganti. Wangi itu bukan soal ingin
dipuji, tapi ingin membuat orang lain nyaman berada di dekat kita.
Bagiku, ini penting. Karena seringkali, dalam
semangat hijrah, kita terlalu fokus pada penampilan syar’i tapi lupa bahwa
keharuman, kebersihan, dan kerapian adalah bagian dari syariat itu sendiri. Hijrah
bukan menambah kain semata, tapi memperhalus adab dan memperindah tampilan
sebagai bentuk rasa syukur.
Kita adalah cerminan dari apa yang kita yakini.
Dan kalau ada satu hal yang ingin orang kenang dari perjumpaan singkat dengan
seorang muslimah, semoga itu adalah: kesederhanaannya, kerapihannya, dan aroma
tubuhnya yang tenang dan menyenangkan.
Karena wangi itu, meski tak terlihat, bisa menetap
lebih lama dalam ingatan daripada rupa.
Disclaimer:
Tulisan ini bukan karena aku sudah sempurna. Aku masih berjuang, masih belajar,
dan masih sering lupa. Sama seperti kalian, aku juga sedang berproses menjadi
pribadi yang lebih baik dari hari ke hari. Mari kita saling mengingatkan dan
mendukung, karena perjalanan hijrah ini terlalu sunyi jika dilalui sendiri.[]