Oleh: Siti Hajar
Pagi ini, aku bangun pukul 4 pagi kurang sedikit,
seperti biasa. Aku merasa sakit kepala yang lumayan berat. Tidak lama panggilan
ke toilet membuatku buru-buru melepaskan kain mukena dan menyelesaikan panggilan
alam.
Tiga hari ini adalah waktuku yang lumayan sibuk,
mulai dari acara makan-makan di kompleks, kedatangan tamu dan juga kegiatan seminar
di hari libur benar-benar menyita waktuku dan juga menguras pikiran karena
mempersipakan ini dan itu untuk kegiatan tersebut
Awalnya aku merasa baik-baik saja. Tapi setelah
tiga kali bolak-balik ke kamar mandi dan menyadari bahwa perutku mulai bereaksi
aneh, aku tahu ada yang tidak beres. Diare yang datang pagi itu seperti pesan
samar dari tubuh: “Ada yang tidak beres.”
Namun aku merasa puncak kepala, kiri dan kanan.
Bukan nyeri tajam, tapi cukup mengganggu. Seolah ada ikat kepala tak terlihat
yang perlahan mengencang. Aku duduk sejenak, memijat pelipis, mencoba
mengingat: sejak pagi, apakah aku sudah minum air yang cukup?
Ternyata belum. Sejak bangun, belum ada setetes
pun yang masuk. Sementara tubuhku telah kehilangan banyak cairan lewat tiga
kali buang air besar. Tak heran kalau kepala mulai memberi peringatan.
Dalam banyak kasus, sakit kepala bukan hanya
soal kurang tidur atau stres, tapi juga bisa menjadi tanda awal
dehidrasi. Ketika tubuh kehilangan cairan dalam jumlah banyak—baik melalui
diare, muntah, atau sekadar lupa minum saat cuaca panas—aliran darah ke otak
bisa terganggu. Otak sedikit “menyusut” karena kehilangan cairan, lalu menarik
jaringan di sekitarnya. Inilah yang menimbulkan rasa nyeri berdenyut.
Aku mulai mengingat satu per satu menu yang masuk
dalam tiga hari terakhir. Ada makanan pedas , asam dan beberapa hidangan yang
disiapkan mendadak tanpa peralatan yang benar-benar bersih mungkin.
Di situ aku mulai sadar: bukan tidak mungkin
diare ini dipicu oleh makanan yang kurang higienis. Dalam kondisi rumah
yang ramai, kadang standar kebersihan bisa sedikit longgar tanpa disadari.
Tangan yang tak sempat dicuci, sendok yang bergantian, dan suhu ruang yang
lembap adalah peluang ideal bagi bakteri untuk berkembang.
Dan jangan lupakan satu faktor penting lainnya: stres
tersembunyi. Walau terlihat seperti hari-hari yang menyenangkan—bertemu
kerabat, menjamu tamu, dan tertawa bersama tetangga—beban kecil tetap tertimbun
dalam tubuh. Kurang tidur, harus sigap dengan dapur, menjaga keramahan, dan
tetap mengurus kebutuhan harian yang tidak berhenti. Semua itu bisa menjadi pemicu
tambahan bagi tubuh yang sudah rentan.
Tubuh kita, seberapa pun kuat, tetap menyimpan
batas. Dan kadang, sinyal-sinyalnya datang lewat cara yang paling sederhana:
rasa mual, nyeri kepala, kelelahan, atau diare.
Hari itu aku belajar ulang tentang pentingnya memeluk
tubuh sendiri dengan kesadaran. Minum air bukan hanya soal dahaga, tapi
cara menjaga sistem tetap berjalan. Istirahat bukan kemewahan, tapi kebutuhan.
Dan makanan—selezat apa pun—perlu disiapkan dan disajikan dengan cinta yang
juga memperhatikan kebersihan.
Sementara itu kewajiban lainnya sebegai bentuk
tanggung jawab adalah selalu menjaga stamina tubuh agar tetap kuat menangkis
serangan apapun.
Kadang kita baru benar-benar mendengarkan tubuh ketika ia mulai berbicara lewat rasa sakit. Tapi tak ada kata terlambat untuk menanggapi. Setelah meneguk segelas air putih hangat, berbaring sejenak, dan memelankan ritme hari, denyutan itu perlahan mereda. Tubuhku tidak ingin mengeluh. Ia hanya ingin aku mendengar. Insyaallah sehat-sehat semua kita ya! []