Oleh: Siti Hajar
Kemarin tubuhku
memberi sinyal yang tak bisa lagi diabaikan: pusing yang merayap perlahan, rasa
tak nyaman yang sulit dijelaskan, dan detak jantung yang terasa seperti sedang
maraton. Akhirnya aku memutuskan menuju UGD rumah sakit yang tak jauh dari tempatku
bekerja. Mungkin hanya kelelahan biasa, pikirku. Tapi ketika perawat jaga
memeriksa tekanan darahku, angka di alat tensi membuat alisku terangkat.
"1*0, Bu.
Ini tinggi," ucapnya dengan nada serius. Aku langsung diarahkan ke bed
nomor 5.
Ruang UGD hari
itu seperti panggung besar dengan banyak adegan. Dan aku—secara tak
sengaja—menjadi bagian dari lakonnya.
Di sebelahku,
bed nomor 1, seorang ibu muda tampak kebingungan. Dari potongan kalimat yang
kudengar, dia baru tahu kalau dirinya hamil. Antara syok dan bingung, ia
memandangi layar USG yang ditunjukkan dokter.
Bed nomor 2
diisi seorang pemuda kurus—kulitnya pucat, tubuhnya tampak ringkih seperti daun
kering di ujung musim. Di sampingnya, duduk seorang temannya yang berbadan
bongsor. Kontras keduanya mencolok, seperti dua karakter dalam film. Dari
bisikan dokter yang menyebutkan "Omeprazol", aku tahu si anak muda
menderita asam lambung. Mungkin karena pola hidup mahasiswa yang semrawut, atau
beban pikiran yang terlalu berat di usia muda.
Tak jauh dari
mereka, seorang ibu hamil lainnya juga sedang dirawat. Sepertinya tekanan
darahnya juga tinggi. Aku sendiri diminta minum obat penurun tekanan darah, dan
seorang perawat menyodorkan infus dengan cairan berwarna pink. "Neurobion,
Bu," katanya. Aku sedikit terkejut—jarang sekali melihat obat berwarna
seperti permen karet cair.
Di tengah
hiruk-pikuk itu, dering telepon bergema beberapa kali. Dari percakapan yang
terselip di antara para perawat dan dokter, aku menangkap kabar mengejutkan:
seorang dokter yang pernah bekerja di rumah sakit itu kini terjebak pinjaman
online. Rasanya miris—seorang penyelamat nyawa kini terlilit masalah ekonomi
yang memalukan. Entah apa yang terjadi, tapi aku percaya hidup tak sesederhana
angka di laporan keuangan.
Lalu datanglah
seorang ibu berusia sekitar 47 tahun, berjaket jeans hitam salju. Yang
membuatnya mencolok bukan cuma jaketnya, tapi juga kenyataan bahwa ia tak
mengenakan penutup kepala—hal yang agak jarang di ruang publik Aceh. Wajahnya
penuh luka, dengan benjol di kepala dan gigi yang tampaknya patah. Ternyata ia
baru mengalami kecelakaan motor dan ditabrakkan oleh pengemudi lain—seorang ibu
juga—yang kemudian mendorong kursi rodanya ke UGD.
“Ibu ini juga
punya darah tinggi dan diabetes,” ujar perawat sambil mencatat hasil
pemeriksaan. Belum makan seharian katanya. Kecelakaan itu terjadi tak jauh dari
rumah sakit. Dugaan sementara, ibu itu sempat pingsan saat mengendarai motor.
Saat namanya
disebut dan informasi tentang toko suaminya dilontarkan, ingatanku terlempar ke
masa kuliah. Aku pernah beberapa kali belanja di toko mereka. Tak akrab, hanya
tahu wajah. Tidak ada yang bisa kulakukan selain diam.
Akhirnya,
setelah sang suami datang, mereka memutuskan memindahkan perawatan ke rumah
sakit Kesdam. Mungkin berharap penanganan di sana lebih nyaman.
Dan aku? Di
tengah semua kekacauan yang teratur itu, justru merasa paling baik dibandingkan
pasien-pasien lain. Aku hanya kelelahan. Tapi di ruang UGD, kelelahan fisik
bisa terasa begitu kecil dibanding luka berdarah, rahim yang baru berisi
kehidupan, atau mental yang dililit utang.
Ruang UGD hari itu benar-benar heboh. Tapi justru dari kehebohan itulah aku belajar satu hal: setiap orang membawa kisahnya masing-masing saat masuk ke sana, dan tak ada yang benar-benar datang hanya untuk sekadar “tidak enak badan”. Di ruang gawat darurat, hidup dan luka—dalam bentuk apa pun—bertemu dan bertukar cerita tanpa pernah meminta izin lebih dulu.[]