Oleh: Siti Hajar
Sejak aku dan suami sama-sama penasaran dengan
cara mengetahui lebih banyak mengenai tipe-tipe kepribadian dalam MBTI, aku
semakin penasaran. Demikian pula suamiku. Kami seakan-akan berjuang untuk
menemukan rahasia masing-masing — dalam hal kepribadian — dan bagaimana ingin
mengoptimalkan kelebihan serta memahami kelemahan dari cara pandang pasangan.
Menurut kami, ini menjadi semacam kunci ketika ada momen-momen di mana aku
benar-benar tidak memahami apa yang diputuskannya. Tidak memahami bagaimana dia
memperlakukanku.
Aku ENFP yang biasa hidup dengan segala kebebasan,
tiba-tiba merasa dikelilingi banyak aturan. Sementara mungkin dia, ISTJ yang
terstruktur dan logis, juga heran: mengapa hidupku ini seolah penuh dengan
main-main dan suka-suka? Tapi ternyata, setelah kami berusaha memahami satu
sama lain — bukan untuk menyeragamkan, tapi untuk saling mengenal lebih dalam —
semuanya menjadi lebih mudah.
”Kami seperti dua dunia yang berbeda.”
Aku, ENFP yang spontan, hangat, dan senang
mengeksplorasi berbagai kemungkinan. Dia, ISTJ yang rapi, fokus, dan sangat
memegang aturan serta struktur. Sejak awal, gaya komunikasi kami seperti dari
dua planet: aku banyak bicara dengan emosi dan imajinasi, sementara dia
merespons dengan logika yang padat dan secukupnya. Bukan karena dia tidak
peduli. Tapi karena memang seperti itulah caranya hadir — lewat tindakan, bukan
kata.
Titik-titik kecil yang jadi pemicu
Yang sering jadi pemicu masalah di antara kami
bukan hal besar. Justru hal-hal kecil, tapi terus-menerus. Seperti:
- Aku
mengubah rencana secara mendadak (dan baginya ini mengganggu stabilitas).
- Aku
berbicara dengan perasaan, dia menjawab dengan logika (dan aku merasa
tidak dipahami).
- Dia
menunjukkan cinta lewat tanggung jawab, bukan ekspresi verbal (dan aku
sempat merasa tidak dicintai).
Tapi kami tidak berhenti di sana
Kami mulai menyadari, “Kalau terus begini, kita
hanya akan kelelahan karena terus menuntut.”
Maka kami
belajar:
- Aku
memberi ruang baginya untuk mencerna dulu, tidak memaksa respons cepat.
- Dia
mulai belajar bahwa aku butuh validasi secara emosional.
- Aku
memahami bahwa bentuk cintanya berbeda — dia tidak berkata "aku cinta
kamu" setiap hari, tapi dia akan memeriksa tekanan ban motorku
sebelum aku pergi.
- Dia
belajar bahwa dunia emosiku butuh ruang untuk berbicara, dan kadang cukup
didengarkan saja.
Kami juga menyepakati hal-hal praktis:
- Kalau
aku mau berbagi ide besar dan loncat-loncat topik, aku akan memberi tahu
dulu, “Aku cuma mau cerita ya, bukan minta solusi.”
- Kalau
dia ingin waktu tenang, dia akan memberi kode: “Boleh nanti malam aja
ngobrolnya?”
Hal-hal sepele seperti itu justru menyelamatkan
banyak percakapan dari konflik.
Pelan-pelan, kami belajar tumbuh
Aku belajar bahwa tidak semua perbedaan harus
disamakan. Kadang justru dari perbedaan itulah kami bisa saling melengkapi. Dia
mengajarkanku disiplin dan kestabilan. Aku memberinya warna dan ruang untuk
melihat dunia dari sisi yang tak biasa.
Kami saling menyesuaikan, bukan untuk menjadi
serupa, tapi agar bisa berdampingan lebih nyaman.
Yang paling melegakan adalah ketika kami berhenti
merasa, “aku lebih baik darimu.” Kami mulai melihat pasangan bukan sebagai
lawan argumen, tapi sebagai sekutu pertumbuhan. Dan ketika perbedaan
datang, bukan lagi sebagai ancaman, tapi peluang untuk memahami bahwa cinta
tidak harus seragam.
Jika kamu juga sedang hidup bersama seseorang yang
kepribadiannya bertolak belakang, mungkin ini kabar baik: perbedaan itu bisa
jadi hadiah, bukan kutukan. Asal kamu mau menyelami, bukan menyeragamkan.
Karena di balik setiap keheningan ISTJ, bisa
tersembunyi cinta yang tenang. Dan di balik semangat eksplorasi seorang ENFP,
selalu ada kerinduan untuk dipahami — bukan dihakimi.
Dan kami? Kami masih belajar, hari demi hari. Tapi
setidaknya, kami belajar dengan saling menggenggam, bukan saling menjauh. Tentu
kami belum sempurna, masih tetap ada riak-riak kecil diantara kami setiap hari.
Namun, kami mungkin juga sama dengan kalian terus berusaha menjadi lebih baik
danri hari ke hari. []