Era digital
seperti sekarang, hampir setiap momen kehidupan bisa dibagikan dalam bentuk
gambar, video, atau status yang berkilau. Media sosial menjadi panggung raksasa
tempat jutaan orang berlomba menampilkan potongan terbaik dari hidup mereka.
Sayangnya, di balik gemerlapnya, banyak dari kita yang justru merasa semakin
terpuruk. Kita melihat teman lama sudah punya rumah impian, selebgram muda
melancong ke luar negeri, atau bahkan tetangga yang tak pernah terdengar
kabarnya kini viral karena pernikahan mewahnya. Tanpa sadar, kita mulai
membandingkan. Dan dari membandingkan, lahirlah rasa iri, julid, bahkan luka
batin yang tak terlihat.
Stres karena
media sosial bukan hanya soal banyaknya notifikasi atau layar yang terlalu
terang. Tapi karena di balik scrolling yang tampaknya santai, kita sedang
mengukur diri kita dengan kehidupan orang lain—yang seringkali hanya potret
terbaik, hasil kurasi yang disaring sedemikian rupa. Kalau kamu pernah merasa
hidupmu tidak cukup hebat setelah membuka Instagram, atau tiba-tiba merasa
uring-uringan setelah melihat story teman, kamu tidak sendirian.
Artikel ini akan
mengulas bagaimana mengurangi paparan media sosial bisa membantu mengatasi
stres, sekaligus menyembuhkan hati dari rasa iri dan julid yang mmebuat hati
tidak tenang. Kita manusia alamiah mengalami ini, jangan menyalahkan diri sendiri.
1. Sadari
bahwa media sosial hanyalah potongan kecil kehidupan, bukan keseluruhan cerita
Kita sering lupa
bahwa apa yang ditampilkan orang di media sosial adalah versi terbaik dari
hidup mereka. Jarang ada yang membagikan kegagalan, rasa sepi, atau
kekhawatiran mendalam. Jadi saat kamu melihat temanmu liburan mewah, jangan
lupa bahwa bisa jadi mereka juga sedang berjuang dalam aspek lain yang tidak
tampak. Menyadari ini bisa menjadi langkah awal untuk berhenti membandingkan
dan mulai menerima ritme hidupmu sendiri.
2. Batasi
waktu harian untuk bermain media sosial
Fitur ‘Screen
Time’ atau ‘Digital Wellbeing’ di ponsel bisa membantumu mengatur waktu
berinteraksi dengan media sosial. Coba mulai dengan membatasi hanya 30 menit
hingga 1 jam per hari. Gunakan waktu yang tersisa untuk hal-hal yang lebih
membangun koneksi nyata—berbincang dengan keluarga, membaca buku, atau sekadar
menikmati udara pagi. Saat kamu memberi jeda pada otak dari notifikasi yang
terus berdatangan, tubuh dan pikiranmu perlahan akan merasa lebih tenang.
3. Unfollow
akun-akun yang memicu rasa iri atau merusak suasana hati
Jangan ragu
untuk menyaring siapa yang kamu ikuti. Jika ada akun yang secara konsisten
membuatmu merasa tidak cukup, bukan karena mereka jahat, tapi karena kamu
sedang tidak berada dalam kondisi sehat untuk menerimanya—maka beranilah
menekan tombol unfollow atau mute. Kesehatan mentalmu lebih penting dari
sekadar menjaga ‘pertemanan digital’.
4. Ganti
waktu scrolling dengan aktivitas fisik atau kreatif
Setiap kali
tanganmu reflek ingin membuka Instagram atau TikTok, alihkan ke aktivitas lain
yang memicu endorfin—berjalan kaki, menggambar, menulis jurnal, atau memasak
resep baru. Aktivitas ini bukan hanya mengalihkan perhatian, tapi juga
memberimu rasa pencapaian yang nyata. Rasa puas itu akan membantumu berhenti
mengukur nilai hidup dari jumlah like dan komentar.
5. Lakukan
detoks media sosial secara berkala
Ambil
waktu—seminggu, beberapa hari, atau bahkan hanya satu hari dalam seminggu—untuk
tidak membuka media sosial sama sekali. Gunakan waktu ini untuk menyentuh dunia
nyata: berbincang dengan teman tanpa ponsel di tengah meja, duduk di taman,
atau menulis surat untuk diri sendiri. Semakin sering kamu terhubung dengan
kehidupan di luar layar, semakin kecil ruang bagi rasa iri dan stres untuk
bersembunyi.
Ketika Julid
dan Iri Mengintip dari Layar
Banyak orang
merasa malu mengakui bahwa mereka iri atau julid saat melihat kesuksesan orang
lain di media sosial. Tapi perasaan itu manusiawi. Iri muncul karena kita
merasa kekurangan sesuatu, dan julid sering menjadi pelampiasan dari rasa tak
puas yang tak bisa diungkap secara langsung. Yang penting bukan menyalahkan
diri karena merasa iri, tapi menyadari dari mana datangnya rasa itu. Apakah
karena kita tidak bersyukur? Karena kita lelah? Atau karena kita belum
menyadari nilai diri kita sendiri? Saat kita berani menghadapi rasa itu tanpa
menghakimi, kita bisa mulai menyembuhkannya perlahan.
Mengurangi
paparan media sosial bukan berarti menutup diri dari dunia, tapi memberi
kesempatan untuk benar-benar hidup di dalamnya. Saat kita berhenti
membandingkan dan mulai menerima ritme hidup kita, rasa iri pun mulai luluh,
dan stres berubah menjadi ruang tenang yang penuh penerimaan. Ingat, hidupmu
tidak harus seperti feed siapa pun. Kamu punya perjalanan sendiri yang sah
untuk dirayakan—dengan pelan, tapi pasti.
Jika kamu pernah
merasa tertinggal, tak cukup menarik, atau tak sekaya orang lain di layar
ponselmu, izinkan diri untuk menarik napas dalam-dalam. Dunia nyata menantimu,
dengan segala keindahan dan ketulusannya—jauh dari filter, jauh dari algoritma.
[]