Si Putih dan Majikannya

Oleh: Siti Hajar

Tak semua kisah cinta hadir dalam rupa manusia. Kadang ia tumbuh diam-diam di kandang kecil, di antara jerami kering dan tatapan teduh seekor sapi yang begitu jinak. Begitu pula kisah antara temanku dan seekor sapi jantan yang dipanggilnya Si Putih.

Empat tahun lamanya Si Putih menjadi bagian dari hidupnya. Ia tumbuh dari anak sapi kurus yang dulu suka bermain lumpur menjadi sapi jantan besar yang gagah dan kuat. Biasanya, bila seekor sapi telah cukup umur dan berat badannya sudah sesuai, maka tibalah saatnya dijual—itulah siklus yang biasa berlaku bagi para peternak. Tapi Si Putih berbeda.

“Tak tega aku menjualnya,” kata temanku waktu itu. “Entah kenapa, rasanya dia bukan sekadar ternak.”

Ayahnya berulang kali menasihati, “Jual saja, Nak. Umurnya sudah cukup. Berat badannya mungkin tak akan bertambah lagi. Untuk apa membuang tenaga terus memberi makan?” Tapi kata jual bagi temanku terasa seperti perpisahan yang terlalu berat untuk diucapkan.

Hingga suatu hari, datang seseorang yang ingin membeli Si Putih untuk keperluan kenduri Maulid di meunasah. Hatinya berperang hebat. Tapi pada akhirnya, ia menyerah pada takdir yang telah digariskan: melepaskan Si Putih.

Namun sejak hari itu, kesunyian aneh menyelinap di rumahnya. Ia merasa seolah ada yang hilang, sesuatu yang biasanya menyambut setiap pagi dengan lenguhan lembut dari kandang belakang.

Ada satu kenangan yang tak pernah bisa ia lupakan—peristiwa ketika tali hidung Si Putih lepas.
Sore itu, dari sawah terdengar suara jeritan ibunya lewat telepon,
“Cepat pulang! Si Putih lepas! Habis sudah padi orang dibuatnya!”

Dengan tergesa ia berlari pulang, napasnya terengah-engah, kausnya basah oleh keringat. Dari kejauhan terlihat Si Putih berlari-lari di tengah hamparan padi muda yang baru saja berisi. Batang padi yang semestinya tegak kini roboh diinjak kakinya yang berat. Ia menunduk, merobek daun padi dengan mulut lebarnya, seolah tengah berpesta di lautan hijau yang luas itu.

“Si Putih! Berhenti, Putih!” teriaknya sambil mengejar. Tapi semakin keras ia memanggil, semakin jauh Si Putih berlari.

Tanah sawah yang becek membuat langkahnya berat. Kakinya terperosok, tubuhnya hampir jatuh. Nafasnya makin pendek. Ia terus berlari, melingkari petakan sawah yang panjang, namun Si Putih lincah seperti anak kecil yang sedang bermain kejar-kejaran.

Hingga akhirnya, temanku berhenti di pematang. Tubuhnya gemetar, keringatnya menetes deras. Ia tak sanggup lagi. Di antara desir angin senja dan gemerisik daun padi, ia duduk lemas, menatap Si Putih yang masih berputar di kejauhan. Dunia terasa hening. Hanya ada suara jangkrik dan degup jantungnya sendiri.

Hampir terlelap ia di situ, tiba-tiba terasa sesuatu menjilat lengannya. Ia membuka mata. Di depannya, Si Putih berdiri tenang, menatapnya dengan mata besar yang lembut. Lidahnya menjilat pelan bahu tuannya. Hanya ingin menyentuh dan membau-i aroma tubuh sang tua. Mungkin juga dia berkata “Maaf sudah membuatmu lelah.”

Entah bagaimana, di antara manusia dan binatang itu, terjalin rasa yang sulit dijelaskan dengan logika. Sejak hari itu, kasih sayang mereka seperti tak terpisahkan.

Dan tibalah pagi Maulid itu. Dari rumahnya, temanku mendengar hiruk-pikuk orang-orang menuju meunasah. Ia enggan pergi. Tak sanggup rasanya melihat Si Putih di sana. Tapi anak kecilnya menarik tangannya, memohon, “Ayah, ayuk kita ke meunasah. Aku nak tengok sapi ayah itu.”

Dengan berat hati, ia menuruti langkah kecil anaknya. Namun baru lima menit di sana, ia tak sanggup lagi. Matanya panas. Ia pulang dengan dada sesak, sementara di belakang, Si Putih mengeluarkan suara lembut disertai air mata yang perlahan menetes di sudut matanya.

Orang-orang mungkin tertawa, menyebutnya hanya kebetulan. Tapi temanku tahu, hewan itu mengenalinya. Si Putih tahu bahwa tuannya ada di sana. Barangkali ia mencium aromanya, barangkali ia merasakan kehadiran yang familiar itu. Yang jelas, di balik tubuh besar dan tatapan polosnya, ada hati yang benar-benar bisa mencintai.

Cinta yang tak berbicara, tapi terasa. Cinta yang mungkin tak pernah dipahami manusia—kecuali mereka yang pernah mengasihi seekor hewan dengan sepenuh hati.

Dan sejak hari itu, setiap kali suara lembu terdengar di kejauhan, temanku hanya menatap langit sambil bergumam, “Putih, semoga engkau bahagia di tempatmu sekarang.”

Mungkin kita terlalu sering menilai hewan hanya dari manfaatnya: berapa berat badannya, berapa harga jualnya, seberapa besar keuntungan yang bisa ia hasilkan. Padahal, di balik mata bening mereka yang diam, ada kejujuran dan kesetiaan yang bahkan sulit kita temukan pada sesama manusia.

Si Putih mengajarkan sesuatu yang sederhana tapi dalam: kasih sayang sejati tak butuh bahasa. Ia hanya butuh ketulusan. Sebab cinta—bahkan dari seekor sapi—bisa menjadi cermin paling jujur tentang bagaimana seharusnya kita memperlakukan kehidupan. Jika kamu punya hewan peliharaan apapun itu, perlakukan mereka dengan baik. Bagaimanapun mereka Adalah makhluk hidup yang butuh kaish sayang. []


Lebih baru Lebih lama