Oleh: Siti Hajar
Ada satu
pelajaran yang sulit kupelajari dalam hidup: bahwa yang paling mungkin
menyakiti kita bukanlah orang asing, melainkan justru mereka yang paling dekat.
Orang-orang yang tahu banyak tentang kita, yang pernah tertawa bersama di
masa-masa hangat, yang dulu kita percaya untuk menyimpan rahasia yang bahkan
keluarga sendiri tidak tahu.
Entah sejak
kapan aku mulai berhati-hati dalam bersahabat. Mungkin sejak merasakan betapa
pedihnya ketika sesuatu yang kita anggap aman tiba-tiba menjadi senjata yang
menusuk balik. Kadang bukan karena niat jahat, tapi karena manusia memang rapuh
dalam menjaga kata. Mulut yang terbiasa terbuka, sering kali tak sadar
menyingkap hal-hal yang seharusnya tetap disimpan.
Ada teman yang
tampak begitu akrab. Kita berbagi cerita, saling memahami, dan dalam momen
tertentu, kita merasa tak ada lagi batas. Tapi di situlah letak bahayanya.
Ketika jarak terlalu hilang, rahasia pun menjadi ringan untuk dibuka. Padahal,
tidak semua yang kita bagi akan tetap aman dalam ingatan orang lain.
Aku belajar
bahwa tidak semua hal layak diceritakan, bahkan kepada sahabat paling dekat
sekalipun. Bukan karena kita tidak percaya, tapi karena manusia berubah. Hari
ini mungkin ia di pihak kita, tapi besok, siapa tahu? Sebuah kesalahpahaman
kecil saja bisa mengubah arah hubungan. Dan rahasia yang dulu kita titipkan
dengan harap, bisa menjadi bumerang yang menyakitkan di saat tak terduga.
Aku pernah tahu kenalanku,
memiliki teman sudah seperti saudara sendiri, mereka saling bercerita tentang masa lalu—tentang sesuatu
yang pernah dilakukan, yang sebenarnya sudah dia sesali dan menutup rapat
tentang kisah itu. Saat itu, Dia merasa lega, seolah bebannya terangkat. Tapi
waktu berjalan, dan dalam satu pertengkaran kecil, cerita tentangnya itu
terucap dari mulut teman dekatknya sendiri. Bukan di depan banyak orang, tapi
cukup untuk membuatnya sadar: kepercayaan tidak selalu punya ruang yang sama di
hati setiap orang. Dia marah, sedih dan kecewa. Pecah dan retaklah hubungan
pertemanan mereka. Itu sakit sekali. Bahkan ornag luar yang tahu tentang itu
ikut merasa perihnya hal ini.
Hari ini aku
belajar diam. Bukan berarti aku tidak percaya pada siapa pun, tapi aku memilih
menyimpan hal-hal tertentu hanya antara aku dan Tuhan. Ada rahasia yang justru
lebih aman ketika tetap di dalam doa. Ada luka yang lebih tenang ketika hanya
disembuhkan dengan air mata, bukan dengan telinga orang lain.
Kita sering
lupa, bahwa kedekatan tidak selalu berarti keamanan. Bahkan hubungan yang
paling hangat pun bisa berubah dingin ketika waktu dan ego mulai bekerja. Oleh
karena itu, menjaga jarak bukan tanda kita dingin atau tertutup, melainkan cara
kita menjaga diri agar tidak hancur di kemudian hari.
Ada kalanya kita
ingin bicara—dan itu wajar. Tapi belajarlah menimbang kepada siapa. Tidak semua
pendengar punya niat baik, dan tidak semua yang tersenyum di depan kita
benar-benar ingin melihat kita pulih. Beberapa hanya ingin tahu lebih banyak,
sementara yang lain mungkin menunggu momen untuk merasa lebih baik dengan
mengetahui kita pernah lebih buruk.
Maka,
berhati-hatilah kepada teman yang terlalu dekat. Dekat bukan berarti ia harus
tahu segalanya. Kedekatan sejati justru terletak pada saling menghormati batas,
bukan pada seberapa banyak rahasia yang dibagi.
Aku pernah
membaca kalimat indah:
“Simpanlah
masa lalumu di antara engkau dan Tuhanmu. Biarkan manusia mengenalmu dari
kebaikanmu hari ini, bukan dari kesalahanmu kemarin.”
Dan aku rasa, di
situlah letak kebijaksanaan yang sering kita abaikan. Tidak semua luka perlu
diceritakan, tidak semua kejujuran harus diumbar. Kadang, kedamaian datang
bukan dari berbagi, tapi dari kemampuan untuk menyimpan dengan tenang.
Pada akhirnya, kita akan menemukan bahwa diam pun bisa menjadi bentuk perlindungan. Sebab, dalam dunia yang penuh telinga tapi sedikit empati, menjaga rahasia diri adalah salah satu bentuk cinta yang paling dalam—cinta pada diri sendiri. Tentu semua orang punya rahasia.
Jika kamu ingin berkhianat menceritakan keburukan orang lain, coba kamu memposisikan diri di tempat orang yang menjadi korban. Tentu akan kita merasa akan sangat tidak nyaman. Maka tutuplah aib saudaramu, maka Allah akan menutup aibmu sendiri. Wallahu’alam bisshawab. []