Tenang Menggunakan Media Sosial: Like dan Love Bukanlah Apa-apa

Oleh: Siti Hajar

Salah satu hal paling berpengaruh terhadap kesehatan mental manusia modern hari ini adalah media sosial. Hampir setiap detik, kita terhubung dengan dunia yang tak pernah tidur. Di layar kecil itu, jutaan orang berlomba menunjukkan hal terbaik dari hidup mereka: senyum yang dipoles, perjalanan yang indah, pencapaian yang mengagumkan. Semua tampak begitu sempurna, hingga tanpa sadar banyak yang merasa kehidupannya sendiri tertinggal jauh di belakang.

Awalnya, media sosial diciptakan untuk mendekatkan yang jauh, menyebarkan ide, berbagi inspirasi, bahkan menjadi wadah ekspresi diri. Namun seiring waktu, arah itu perlahan bergeser. Budaya “pengakuan digital” membuat banyak orang terjebak pada kebutuhan untuk terlihat sempurna. Tombol like dan love menjadi semacam ukuran nilai diri, seolah jumlahnya bisa menggambarkan seberapa berarti hidup seseorang.

Padahal, tidak ada yang benar-benar tahu kehidupan seperti apa yang tersembunyi di balik unggahan yang tampak indah itu. Banyak orang menata gambarnya, memilih sudut terbaik, menulis kata yang paling memikat—sementara di balik layar, bisa jadi ia sedang merasa hampa, kesepian, atau bahkan lelah.

Namun algoritma tidak mengenal perasaan. Ia hanya menilai apa yang sering kita lihat, apa yang sering kita sukai, dan terus menggiring kita untuk menginginkan lebih. Lebih cantik, lebih sukses, lebih populer. Kita pun tanpa sadar mulai membandingkan diri dengan orang lain. Jika unggahan kita tak mendapat banyak like, hati menjadi cemas. Jika postingan orang lain lebih ramai, muncul rasa iri. Dan perlahan, keaslian diri mulai memudar.

Bahaya sesungguhnya muncul ketika seseorang mulai mengaitkan harga dirinya dengan angka-angka digital—jumlah pengikut, tanda suka, atau komentar. Media sosial yang seharusnya menjadi sarana komunikasi dan inspirasi justru berbalik menjadi sumber tekanan batin.

Karena itu, perlu kesadaran baru: bahwa nilai diri tidak pernah ditentukan oleh reaksi orang lain di dunia maya. Kebahagiaan sejati lahir dari hal-hal yang tidak bisa diukur dengan like atau komentar. Media sosial seharusnya menjadi alat untuk berbagi makna, bukan panggung pencitraan. Saat kita mampu menempatkannya dengan bijak, ia justru bisa menjadi ruang untuk tumbuh—bukan tempat kita kehilangan arah.

Aku sering berbicara hal ini kepada Dara, anak gadisku.“Setelah posting sesuatu di Instagram, lupakan. Tidak perlu melihat berapa yang menyukai. Kalau ada yang berkomentar, balas secukupnya. Selebihnya biarkan saja. Toh niatnya untuk menyimpan kenangan, bukan mencari pujian.”

Nasihat sederhana itu bukan sekadar untuk anak muda, tapi juga untuk kita semua yang hidup dalam arus digital. Sebab yang membuat seseorang mudah stres bukanlah media sosial itu sendiri, melainkan cara kita memperlakukannya.

Media sosial bisa menjadi sahabat yang menguatkan jika kita menggunakannya dengan kesadaran penuh. Tapi ia juga bisa menjadi sumber luka jika dibiarkan mengatur cara kita memandang diri sendiri. Menggunakannya secara sehat berarti tahu kapan harus terhubung, dan kapan harus berhenti.

Berikut beberapa cara agar tetap memiliki jiwa yang tenang saat menggunakan media sosial, tanpa kehilangan arah dan keseimbangan hidup:

  1. Gunakan dengan niat yang jelas. Sebelum membuka atau memposting sesuatu, tanyakan: “Untuk apa aku melakukan ini?” Jika tujuannya untuk berbagi makna, lakukan dengan tulus. Jangan biarkan angka digital menentukan nilai kebaikanmu.
  2. Batasi waktu dan frekuensi.Dunia maya dapat menelan waktu tanpa terasa. Tetapkan batasan: gunakan di jam-jam tertentu saja, lalu letakkan ponselmu dan fokus pada kehidupan nyata di sekitarmu. Tidak semua notifikasi butuh respon cepat.
  3. Berhenti membandingkan diri. Ingat, media sosial hanyalah potongan terbaik dari kehidupan orang lain. Kita tidak tahu sisi lain yang tidak terlihat di layar. Tak perlu merasa kalah dalam perlombaan yang sebenarnya tidak pernah ada.
  4. Lupakan angka validasi.Seperti pesan untuk Dara: setelah posting, biarkan ia berjalan sendiri. Jika niatmu tulus, konten itu akan menemukan jalannya—meski tak viral. Yang penting, kamu tetap damai dan jujur pada dirimu sendiri.
  5. Syukuri kehidupan nyata.  Dunia maya sering membuat kita lupa bahwa kebahagiaan sejati ada pada hal-hal sederhana: tawa keluarga, percakapan ringan, waktu bersama orang yang kita cintai, atau momen kecil yang mungkin tidak diunggah, tapi justru paling bermakna.
  6. Kurasi apa yang kamu konsumsi. Isi lini masa dengan hal-hal yang membangun. Ikuti akun yang memberi energi baik, ilmu, atau inspirasi. Hapus atau mute yang menimbulkan kegelisahan. Sama seperti makanan, apa yang kamu konsumsi di dunia digital akan memengaruhi kesehatan mentalmu.
  7. Kembali pada kendali diri. Jika mulai merasa gelisah, berhentilah sejenak. Tarik napas, berjalan, membaca, atau berbincang dengan seseorang yang kamu percaya. Tidak ada salahnya menjauh sebentar dari layar untuk menemukan keseimbangan pikiran.

Media sosial hanyalah alat—kitalah yang menentukan apakah ia akan menjadi sumber inspirasi atau sumber stres. Maka, gunakan ia dengan kesadaran, dengan kasih, dan dengan hati yang tenang. Karena pada akhirnya, ketenangan bukanlah sesuatu yang kita cari dari luar, melainkan sesuatu yang tumbuh dari dalam diri yang damai. []

Lebih baru Lebih lama