10 Kemungkinan Mengapa Seseorang Gagal Move On dari Hubungan Toksik di Era Media Sosial

Oleh: Siti Hajar

Ada masa ketika kita tahu hubungan itu tak lagi sehat, tapi hati tetap sulit melepaskan. Kita sadar bahwa cinta seharusnya menenangkan, bukan membuat gelisah. Namun entah mengapa, ada bagian dari diri yang masih ingin bertahan, masih berharap, dan masih percaya bahwa suatu hari semuanya bisa berubah. Padahal, dalam diam, jiwa kita justru perlahan lelah.

  1. Masih Terhubung Secara Digital — “Dia Masih Ada di Layar.” Dulu, putus cinta berarti berhenti bertemu. Kini, ia masih muncul di timeline, di story, di komentar teman-teman bersama. Hanya satu klik untuk mengintip kehidupannya. Ini membuat luka yang seharusnya sembuh malah terus disayat perlahan.

Contoh: Rina berulang kali berjanji tak akan membuka akun Instagram mantannya, tapi setiap kali melihat notifikasi baru, rasa ingin tahunya menang. Ia lihat mantannya berfoto dengan orang baru — dan malamnya tak bisa tidur.

  1. Mencari Validasi di Dunia Maya. Setelah putus, banyak yang merasa kehilangan identitas. Mereka mulai memposting kebahagiaan palsu, berharap mantan melihat dan menyesal. Namun, justru itu membuat mereka makin terikat pada bayangan masa lalu, karena seluruh tindakan masih berpusat pada mantan, bukan diri sendiri.

Contoh: Dika sering mengunggah foto dirinya dengan caption “I’m fine” padahal masih menangis tiap malam. Validasi “like” menjadi pelarian dari kehilangan yang belum benar-benar disembuhkan.

  1. FOMO Emosional — Takut Mantan Lebih Bahagia. Di era media sosial, kebahagiaan orang lain mudah terlihat, bahkan sering kali dibuat-buat. Melihat mantan tertawa dengan orang lain bisa terasa seperti kegagalan pribadi. Padahal, bisa jadi tawa itu hanya topeng digital.

Contoh: Maya merasa hancur saat melihat mantannya healing trip ke Bali. Ia lupa bahwa foto bisa dipilih, caption bisa dibuat — tapi perasaan yang sebenarnya tidak selalu seperti yang terlihat.

  1. Trauma Bonding yang Tak Disadari. Hubungan toksik sering diselingi fase “kasih sayang luar biasa” setelah pertengkaran besar. Pola naik-turun ini membuat otak kecanduan adrenalin dan dopamin. Meskipun menyakitkan, sensasi itu membuat seseorang merasa hidup.

Contoh: Niko sering bilang, “Aku tahu dia nyakitin aku, tapi cuma sama dia aku merasa berarti.” Ia tidak sadar bahwa yang ia rindukan bukan orangnya, tapi drama emosionalnya.

  1. Harapan Akan Perubahan — “Dia Bisa Jadi Lebih Baik.” Banyak orang menunggu versi ideal dari pasangannya. Mereka terjebak antara cinta dan ilusi. Harapan itu menjadi rantai halus yang mengikat, membuat seseorang menunda kebebasannya sendiri.

Contoh: Lila bertahan karena mantannya berjanji akan berubah setelah lebaran. Tapi setiap tahun janji itu kembali tanpa hasil, sementara hatinya makin lelah.

  1. Kurangnya Dukungan Sosial yang Sehat. Di tengah dunia yang serba terbuka, banyak orang justru merasa sendirian. Teman-teman lebih sibuk dengan kehidupannya sendiri, sementara media sosial sering kali penuh komentar seperti, “Udah sih, move on aja.” Padahal yang dibutuhkan bukan nasihat, tapi pelukan dan ruang untuk bercerita.

Contoh: Tia menulis curahan hati di Twitter, tapi justru dijadikan bahan lelucon. Sejak itu, ia memendam semuanya sendiri — dan luka itu jadi berlarut-larut.

  1. Ketergantungan Emosional dan Ketakutan Akan Sepi. Dunia digital membuat kita selalu “terhubung”, tapi banyak yang sebenarnya takut benar-benar sendirian. Jadi ketika hubungan berakhir, kekosongan itu terasa menakutkan. Bukan karena kehilangan orangnya, tapi kehilangan rasa diisi.

Contoh: Andre sering kembali mengirim pesan pada mantannya saat malam minggu, hanya karena takut makan malam sendirian.

  1. Perbandingan Diri dengan Orang Lain. Media sosial memperlihatkan begitu banyak pasangan bahagia. Seseorang yang baru keluar dari hubungan toksik akan cenderung membandingkan dirinya — merasa gagal, merasa tidak cukup. Akhirnya, ia malah rindu hubungan lamanya, seolah itu satu-satunya yang pernah membuatnya “punya cerita.”

Contoh: Shinta melihat unggahan pasangan temannya yang merayakan ulang tahun bareng. Ia teringat bagaimana dulu mantannya juga melakukan itu. Padahal ia lupa, setelah pesta, yang tersisa hanyalah tangis.

  1. Identitas yang Terserap dalam Hubungan. Dalam hubungan toksik, seseorang bisa kehilangan dirinya. Setelah berpisah, ia merasa kosong karena selama ini hidupnya berputar di sekitar pasangan. Ia tak tahu siapa dirinya tanpa “kami”.

Contoh: Selama tiga tahun, Fani selalu mengenalkan diri sebagai “pasangan Rio”. Setelah putus, ia merasa kehilangan arah, seolah tak tahu harus jadi siapa.

  1. Belum Selesai Memaafkan — Termasuk Memaafkan Diri Sendiri. Kadang bukan mantan yang sulit dimaafkan, tapi diri sendiri. Rasa bersalah karena pernah membiarkan diri disakiti, karena tetap bertahan saat tahu harus pergi. Selama luka itu belum disembuhkan, seseorang akan terus menatap ke belakang.

Contoh: Rara sering berkata, “Aku bodoh banget dulu.” Ia belum sadar bahwa menyembuhkan diri dimulai dengan berhenti menyalahkan diri sendiri.

 

Move on dari hubungan toksik bukan sekadar berhenti mencintai seseorang, melainkan proses panjang untuk menemukan kembali dirimu sendiri. Tidak perlu tergesa. Luka yang dalam memang tidak bisa sembuh dalam semalam, tapi ia akan perlahan memudar saat kamu mulai memilih dirimu di atas segalanya.

Jangan merasa lemah hanya karena masih menangis, masih rindu, atau masih ingin tahu kabarnya. Itu manusiawi. Namun, jadikan setiap rasa itu sebagai pengingat bahwa kamu pernah berjuang — dan kini sedang belajar untuk bangkit.

Ingatlah, cinta sejati tidak membuatmu merasa kecil, takut, atau tidak cukup. Cinta sejati menumbuhkan, bukan melukai. Dan kadang, cinta terbesar justru hadir ketika kamu berani berkata, “Aku pantas bahagia, bahkan tanpa dia.”

Dunia ini luas. Di luar sana ada kedamaian yang menunggumu, ada versi dirimu yang lebih kuat, lebih tenang, dan lebih mencintai hidup. Peluk dirimu hari ini — karena keberanianmu melepaskan adalah awal dari perjalanan baru menuju kebebasan yang sejati. 🌷

Lebih baru Lebih lama