Oleh: Siti Hajar
Ada masa ketika kita tahu hubungan itu tak lagi
sehat, tapi hati tetap sulit melepaskan. Kita sadar bahwa cinta seharusnya
menenangkan, bukan membuat gelisah. Namun entah mengapa, ada bagian dari diri
yang masih ingin bertahan, masih berharap, dan masih percaya bahwa suatu hari
semuanya bisa berubah. Padahal, dalam diam, jiwa kita justru perlahan
lelah.
- Masih
Terhubung Secara Digital — “Dia Masih Ada di Layar.” Dulu, putus cinta berarti berhenti
bertemu. Kini, ia masih muncul di timeline, di story, di
komentar teman-teman bersama. Hanya satu klik untuk mengintip
kehidupannya. Ini membuat luka yang seharusnya sembuh malah terus disayat
perlahan.
Contoh: Rina berulang kali berjanji tak akan membuka akun
Instagram mantannya, tapi setiap kali melihat notifikasi baru, rasa ingin
tahunya menang. Ia lihat mantannya berfoto dengan orang baru — dan malamnya tak
bisa tidur.
- Mencari
Validasi di Dunia Maya. Setelah putus, banyak yang merasa kehilangan identitas. Mereka mulai
memposting kebahagiaan palsu, berharap mantan melihat dan menyesal. Namun,
justru itu membuat mereka makin terikat pada bayangan masa lalu, karena
seluruh tindakan masih berpusat pada mantan, bukan diri sendiri.
Contoh: Dika sering mengunggah foto dirinya dengan
caption “I’m fine” padahal masih menangis tiap malam. Validasi “like” menjadi
pelarian dari kehilangan yang belum benar-benar disembuhkan.
- FOMO
Emosional — Takut Mantan Lebih Bahagia. Di era media sosial, kebahagiaan orang lain
mudah terlihat, bahkan sering kali dibuat-buat. Melihat mantan tertawa
dengan orang lain bisa terasa seperti kegagalan pribadi. Padahal,
bisa jadi tawa itu hanya topeng digital.
Contoh: Maya merasa hancur saat melihat mantannya healing
trip ke Bali. Ia lupa bahwa foto bisa dipilih, caption bisa dibuat — tapi
perasaan yang sebenarnya tidak selalu seperti yang terlihat.
- Trauma
Bonding yang Tak Disadari. Hubungan toksik sering diselingi fase “kasih sayang luar biasa”
setelah pertengkaran besar. Pola naik-turun ini membuat otak kecanduan
adrenalin dan dopamin. Meskipun menyakitkan, sensasi itu membuat seseorang
merasa hidup.
Contoh: Niko sering bilang, “Aku tahu dia nyakitin aku,
tapi cuma sama dia aku merasa berarti.” Ia tidak sadar bahwa yang ia rindukan
bukan orangnya, tapi drama emosionalnya.
- Harapan
Akan Perubahan — “Dia Bisa Jadi Lebih Baik.” Banyak orang menunggu versi ideal dari
pasangannya. Mereka terjebak antara cinta dan ilusi. Harapan itu menjadi
rantai halus yang mengikat, membuat seseorang menunda kebebasannya
sendiri.
Contoh: Lila bertahan karena mantannya berjanji akan
berubah setelah lebaran. Tapi setiap tahun janji itu kembali tanpa
hasil, sementara hatinya makin lelah.
- Kurangnya
Dukungan Sosial yang Sehat. Di tengah dunia yang serba terbuka, banyak orang justru merasa
sendirian. Teman-teman lebih sibuk dengan kehidupannya sendiri, sementara
media sosial sering kali penuh komentar seperti, “Udah sih, move on aja.”
Padahal yang dibutuhkan bukan nasihat, tapi pelukan dan ruang untuk
bercerita.
Contoh: Tia menulis curahan hati di Twitter, tapi justru
dijadikan bahan lelucon. Sejak itu, ia memendam semuanya sendiri — dan luka itu
jadi berlarut-larut.
- Ketergantungan
Emosional dan Ketakutan Akan Sepi. Dunia digital membuat kita selalu
“terhubung”, tapi banyak yang sebenarnya takut benar-benar sendirian. Jadi
ketika hubungan berakhir, kekosongan itu terasa menakutkan. Bukan karena
kehilangan orangnya, tapi kehilangan rasa diisi.
Contoh: Andre sering kembali mengirim pesan pada
mantannya saat malam minggu, hanya karena takut makan malam sendirian.
- Perbandingan
Diri dengan Orang Lain. Media sosial memperlihatkan begitu banyak pasangan bahagia. Seseorang
yang baru keluar dari hubungan toksik akan cenderung membandingkan dirinya
— merasa gagal, merasa tidak cukup. Akhirnya, ia malah rindu hubungan
lamanya, seolah itu satu-satunya yang pernah membuatnya “punya cerita.”
Contoh: Shinta melihat unggahan pasangan temannya yang
merayakan ulang tahun bareng. Ia teringat bagaimana dulu mantannya juga
melakukan itu. Padahal ia lupa, setelah pesta, yang tersisa hanyalah tangis.
- Identitas
yang Terserap dalam Hubungan. Dalam hubungan toksik, seseorang bisa kehilangan dirinya. Setelah
berpisah, ia merasa kosong karena selama ini hidupnya berputar di sekitar
pasangan. Ia tak tahu siapa dirinya tanpa “kami”.
Contoh: Selama tiga tahun, Fani selalu mengenalkan diri
sebagai “pasangan Rio”. Setelah putus, ia merasa kehilangan arah, seolah tak
tahu harus jadi siapa.
- Belum
Selesai Memaafkan — Termasuk Memaafkan Diri Sendiri. Kadang bukan mantan yang sulit
dimaafkan, tapi diri sendiri. Rasa bersalah karena pernah membiarkan diri
disakiti, karena tetap bertahan saat tahu harus pergi. Selama luka itu
belum disembuhkan, seseorang akan terus menatap ke belakang.
Contoh: Rara sering berkata, “Aku bodoh banget dulu.” Ia
belum sadar bahwa menyembuhkan diri dimulai dengan berhenti menyalahkan diri
sendiri.
Move on dari
hubungan toksik bukan sekadar berhenti mencintai seseorang, melainkan proses
panjang untuk menemukan kembali dirimu sendiri. Tidak perlu tergesa. Luka yang dalam memang tidak bisa sembuh dalam
semalam, tapi ia akan perlahan memudar saat kamu mulai memilih dirimu di atas
segalanya.
Jangan merasa lemah hanya karena masih menangis,
masih rindu, atau masih ingin tahu kabarnya. Itu manusiawi. Namun, jadikan
setiap rasa itu sebagai pengingat bahwa kamu pernah berjuang — dan kini sedang
belajar untuk bangkit.
Ingatlah, cinta sejati tidak membuatmu merasa
kecil, takut, atau tidak cukup. Cinta sejati menumbuhkan, bukan melukai. Dan
kadang, cinta terbesar justru hadir ketika kamu berani berkata, “Aku pantas
bahagia, bahkan tanpa dia.”
Dunia ini luas. Di luar sana ada kedamaian yang
menunggumu, ada versi dirimu yang lebih kuat, lebih tenang, dan lebih mencintai
hidup. Peluk dirimu hari ini — karena keberanianmu melepaskan adalah awal dari
perjalanan baru menuju kebebasan yang sejati. 🌷