Oleh: Siti
Hajar
Dalam hidupmu
mungkin kamu sadar akan sosok ayah. Mungkin ayahmu ada, tapi jarang di rumah.
Atau mungkin ia di rumah, tapi hatinya jauh. Ada juga yang sejak kecil bahkan
tak sempat mengenal sosok itu sama sekali. Kamu belajar banyak hal sendirian —
tentang bagaimana menjadi kuat, bagaimana menahan tangis, dan bagaimana tetap
berjalan meski ada bagian dalam dirimu yang terasa kosong.
Hari ini adalah
Hari Ayah Nasional. Dan tulisan ini bukan tentang merayakan sosok yang
sempurna, tapi tentang memahami luka yang ditinggalkan oleh ketidakhadiran itu.
Tentang bagaimana kita, yang tumbuh dengan kehilangan, bisa tetap menyembuhkan
diri dan menciptakan makna baru.
Karena tidak
semua anak punya kesempatan untuk berkata “Ayah” dengan ringan. Tapi setiap
anak berhak untuk tumbuh dengan kasih sayang, bahkan jika kasih itu harus
dipelajari dengan cara yang berbeda.
Tidak semua anak
tumbuh dengan sosok ayah yang benar-benar hadir — entah karena fisiknya jauh,
emosinya dingin, atau karena orang tuanya berpisah. Meski ibu telah berjuang
keras menambal peran itu, tetap ada ruang kosong yang sulit dijelaskan: rasa
ingin dilihat, disayangi, dan diakui oleh ayah.
Anak yang tumbuh
tanpa kehadiran ayah biasanya menghadapi beberapa tantangan emosional saat
memasuki masa remaja. Mereka bisa merasa kehilangan arah, mudah bimbang dalam
membangun kepercayaan, atau memiliki keraguan tentang nilai diri mereka
sendiri. Namun, luka itu bukan akhir. Ia bisa menjadi pintu menuju kedewasaan
dan kekuatan — asalkan disadari dan diolah dengan baik.
Berikut beberapa
hal yang bisa dilakukan anak (remaja) untuk menghadapi kondisi itu dengan lebih
sehat dan kuat:
- Sadari bahwa kehilangan ini nyata, dan tidak
perlu disangkal. Tidak semua duka berbentuk kematian. Kadang, duka itu
hadir dalam bentuk “kehadiran yang tidak hadir”. Mengakui rasa kecewa,
marah, atau sedih terhadap ayah bukan tanda durhaka — itu bagian dari
proses menyembuhkan diri.
- Beri ruang bagi sosok ayah dalam diri. Setiap
anak membawa setengah gen ayahnya. Walau sang ayah tak hadir, kualitas
baiknya tetap hidup di dalam diri anak — mungkin dalam cara berpikir,
bakat, atau cara memandang dunia. Mengenali sisi ini bisa membantu anak
merasa lebih utuh.
- Bangun figur pengganti yang sehat. Kadang,
kehadiran seorang guru, paman, pelatih, atau sahabat keluarga bisa memberi
kehangatan yang dulu tak sempat diberikan ayah. Sosok-sosok ini membantu
anak mengenal nilai-nilai maskulinitas positif: tanggung jawab, keteguhan,
dan kasih sayang yang tegas.
- Pelajari cara mencintai tanpa pola lama. Banyak
remaja dengan luka ayah tanpa sadar mengulang pola yang sama saat
berelasi: takut ditolak, sulit percaya, atau berusaha keras mencari
validasi. Mengenali pola ini penting, agar ia bisa belajar mencintai tanpa
luka yang diwariskan.
- Jangan ragu untuk mencari bantuan profesional. Konseling
atau terapi bukan untuk orang “lemah”. Justru, itu langkah paling berani
untuk memahami diri. Remaja yang tumbuh tanpa figur ayah sering kali
membutuhkan panduan dalam mengelola emosi, membangun identitas, dan
menemukan arah hidup.
- Bersyukur kepada ibu tanpa menuntutnya jadi
ayah. Banyak anak tanpa sadar menuntut ibu menambal semua kekosongan
itu. Padahal, ibu juga punya batas. Belajar mencintai ibu sebagai ibu —
bukan menggantikan ayah — akan membuat hubungan lebih sehat.
- Gunakan luka itu sebagai bahan bakar untuk
tumbuh. Beberapa orang hebat justru lahir dari kehilangan. Mereka
belajar mandiri, berempati, dan bijak sejak dini. Ketika rasa sakit diolah
menjadi makna, ia berubah menjadi kekuatan yang melahirkan kedewasaan
sejati.
Kehadiran ayah memang tidak bisa digantikan, tapi ketidakhadirannya
pun bisa menumbuhkan kesadaran baru: bahwa setiap anak punya kuasa untuk
menulis ulang kisahnya.
Tidak semua yang tumbuh dari luka akan patah — sebagian justru mekar dengan
lebih lembut dan kuat. Dan itu kamu. Tersenyum dan berbahagialah. []
