Didedikasikan untuk kamu, Yang Tidak Benar-Benar Merasakan Kehadiran Ayah

Oleh: Siti Hajar

Dalam hidupmu mungkin kamu sadar akan sosok ayah. Mungkin ayahmu ada, tapi jarang di rumah. Atau mungkin ia di rumah, tapi hatinya jauh. Ada juga yang sejak kecil bahkan tak sempat mengenal sosok itu sama sekali. Kamu belajar banyak hal sendirian — tentang bagaimana menjadi kuat, bagaimana menahan tangis, dan bagaimana tetap berjalan meski ada bagian dalam dirimu yang terasa kosong.

Hari ini adalah Hari Ayah Nasional. Dan tulisan ini bukan tentang merayakan sosok yang sempurna, tapi tentang memahami luka yang ditinggalkan oleh ketidakhadiran itu. Tentang bagaimana kita, yang tumbuh dengan kehilangan, bisa tetap menyembuhkan diri dan menciptakan makna baru.

Karena tidak semua anak punya kesempatan untuk berkata “Ayah” dengan ringan. Tapi setiap anak berhak untuk tumbuh dengan kasih sayang, bahkan jika kasih itu harus dipelajari dengan cara yang berbeda.

Tidak semua anak tumbuh dengan sosok ayah yang benar-benar hadir — entah karena fisiknya jauh, emosinya dingin, atau karena orang tuanya berpisah. Meski ibu telah berjuang keras menambal peran itu, tetap ada ruang kosong yang sulit dijelaskan: rasa ingin dilihat, disayangi, dan diakui oleh ayah.

Anak yang tumbuh tanpa kehadiran ayah biasanya menghadapi beberapa tantangan emosional saat memasuki masa remaja. Mereka bisa merasa kehilangan arah, mudah bimbang dalam membangun kepercayaan, atau memiliki keraguan tentang nilai diri mereka sendiri. Namun, luka itu bukan akhir. Ia bisa menjadi pintu menuju kedewasaan dan kekuatan — asalkan disadari dan diolah dengan baik.

Berikut beberapa hal yang bisa dilakukan anak (remaja) untuk menghadapi kondisi itu dengan lebih sehat dan kuat:

  1. Sadari bahwa kehilangan ini nyata, dan tidak perlu disangkal. Tidak semua duka berbentuk kematian. Kadang, duka itu hadir dalam bentuk “kehadiran yang tidak hadir”. Mengakui rasa kecewa, marah, atau sedih terhadap ayah bukan tanda durhaka — itu bagian dari proses menyembuhkan diri.
  2. Beri ruang bagi sosok ayah dalam diri. Setiap anak membawa setengah gen ayahnya. Walau sang ayah tak hadir, kualitas baiknya tetap hidup di dalam diri anak — mungkin dalam cara berpikir, bakat, atau cara memandang dunia. Mengenali sisi ini bisa membantu anak merasa lebih utuh.
  3. Bangun figur pengganti yang sehat. Kadang, kehadiran seorang guru, paman, pelatih, atau sahabat keluarga bisa memberi kehangatan yang dulu tak sempat diberikan ayah. Sosok-sosok ini membantu anak mengenal nilai-nilai maskulinitas positif: tanggung jawab, keteguhan, dan kasih sayang yang tegas.
  4. Pelajari cara mencintai tanpa pola lama. Banyak remaja dengan luka ayah tanpa sadar mengulang pola yang sama saat berelasi: takut ditolak, sulit percaya, atau berusaha keras mencari validasi. Mengenali pola ini penting, agar ia bisa belajar mencintai tanpa luka yang diwariskan.
  5. Jangan ragu untuk mencari bantuan profesional. Konseling atau terapi bukan untuk orang “lemah”. Justru, itu langkah paling berani untuk memahami diri. Remaja yang tumbuh tanpa figur ayah sering kali membutuhkan panduan dalam mengelola emosi, membangun identitas, dan menemukan arah hidup.
  6. Bersyukur kepada ibu tanpa menuntutnya jadi ayah. Banyak anak tanpa sadar menuntut ibu menambal semua kekosongan itu. Padahal, ibu juga punya batas. Belajar mencintai ibu sebagai ibu — bukan menggantikan ayah — akan membuat hubungan lebih sehat.
  7. Gunakan luka itu sebagai bahan bakar untuk tumbuh. Beberapa orang hebat justru lahir dari kehilangan. Mereka belajar mandiri, berempati, dan bijak sejak dini. Ketika rasa sakit diolah menjadi makna, ia berubah menjadi kekuatan yang melahirkan kedewasaan sejati.

Kehadiran ayah memang tidak bisa digantikan, tapi ketidakhadirannya pun bisa menumbuhkan kesadaran baru: bahwa setiap anak punya kuasa untuk menulis ulang kisahnya.
Tidak semua yang tumbuh dari luka akan patah — sebagian justru mekar dengan lebih lembut dan kuat. Dan itu kamu. Tersenyum dan berbahagialah. []

Lebih baru Lebih lama