Memaknai Hari Pahlawan Menuju Ruang Digital yang Bermartabat


Oleh: Siti Hajar

Hari Pahlawan selalu menjadi momen ketika kita menengok kembali keberanian para pejuang yang mempertaruhkan segalanya demi masa depan bangsa. Mereka berjuang melawan penjajahan yang datang dengan senjata dan kekuatan fisik. Namun hari ini, bentuk ancamannya berbeda—lebih halus, lebih cepat, dan lebih mempengaruhi cara generasi kita berpikir. Ancaman itu datang dari cara kita menggunakan media sosial tanpa kendali dan tanpa kebijaksanaan.

Kita sering menganggap media sosial sebagai ruang yang bebas, tempat kita bisa menjadi siapa saja dan mengatakan apa saja. Namun, kebebasan yang tidak diiringi tanggung jawab justru menjadi bumerang. Anak-anak dan remaja tumbuh dalam dunia digital yang tidak selalu ramah. Tanpa pendampingan dan literasi digital yang kuat, mereka terseret arus konten yang merusak moral, melemahkan karakter, dan mengikis rasa hormat yang selama ini menjadi bagian penting dari nilai-nilai bangsa.

Bukan hanya anak-anak, orang dewasa pun kerap terjebak dalam perilaku digital yang tidak sehat—mudah marah, mudah menebar hoaks, dan mudah tersulut provokasi. Kita membiarkan diri dipengaruhi algoritma yang selalu mendorong sensasi, bukan kebenaran. Ketika kita tidak bijak dalam bermedia sosial, kita ikut berkontribusi pada rusaknya tatanan sosial: munculnya budaya saling merendahkan, saling menghina, dan saling menyerang tanpa mempertimbangkan dampaknya. Ruang digital menjadi arena chaos, tempat emosi melampaui akal sehat.

Dampak dari ketidakbijaksanaan ini sangat serius. Generasi muda bisa kehilangan kompas moral karena terlalu sering menyerap konten yang menormalisasi kekerasan, pornografi, dan perilaku tidak etis. Mereka juga berisiko mengalami krisis identitas karena terus membandingkan diri dengan standar palsu yang dibangun di dunia maya.

Yang lebih mengkhawatirkan, tatanan sosial bisa melemah ketika rasa hormat terhadap guru, orang tua, dan otoritas semakin pudar. Opini publik menjadi mudah digiring oleh hoaks dan misinformasi, membuat masyarakat terbelah dan penuh kecurigaan.

Inilah bentuk penjajahan baru—penjajahan terhadap hati dan pikiran. Dan penjajahan seperti ini jauh lebih berbahaya, karena ia tidak terlihat namun sangat mempengaruhi arah masa depan bangsa. Jika kita membiarkan media sosial membentuk karakter anak-anak kita tanpa filter, maka kita sedang membiarkan generasi kita direbut oleh kekuatan yang tidak peduli pada nilai, agama, atau masa depan mereka.

Di sinilah relevansi Hari Pahlawan menjadi sangat terasa. Pahlawan masa lalu melawan penjajah demi menjaga kedaulatan tanah air. Pahlawan hari ini harus berjuang menjaga kedaulatan moral dan akhlak generasi. Kita tidak lagi memegang bambu runcing, tetapi memegang ponsel; dan keputusan kita dalam menggunakannya menentukan arah kehidupan banyak orang.

Semangat Hari Pahlawan seharusnya mengingatkan kita bahwa perjuangan tidak selalu berbentuk pertempuran fisik. Kadang, perjuangan itu berupa kemampuan menahan diri dari menyebarkan hoaks, kemampuan memilih konten yang benar, kemampuan menegur dengan baik, dan kemampuan membimbing anak-anak dalam dunia digital yang rumit. Hari Pahlawan mengajak kita menjadi lebih bijak, lebih sadar, dan lebih bertanggung jawab.

Karena hari ini, bentuk kepahlawanan yang paling dibutuhkan adalah kemampuan menjaga ruang digital agar tetap aman dan bermartabat. Jika kita mampu menjadi pengguna media sosial yang bijak, maka kita sedang mengambil bagian dalam perjuangan besar menjaga masa depan bangsa. Dan itulah makna paling sederhana, namun paling penting, dari menjadi pahlawan di zaman ini. []

Lebih baru Lebih lama