Kenapa Orang Mudah Marah Saat
Lapar? Penjelasan Psikologis dan Perspektif Islam
Oleh: Siti Hajar
Hai, tahukah kamu bahwa lapar itu
bisa memengaruhi emosi seseorang? Dalam keadaan lapar, seseorang sering kali
sulit diajak bicara dengan tenang. Bukan karena ia sengaja bersikap buruk,
tetapi karena tubuh dan pikirannya sedang tidak berada dalam kondisi seimbang.
Emosi menjadi lebih sensitif, kesabaran menipis, dan respons yang keluar sering
kali tidak seperti biasanya dan di luar dugaan.
Aku baru benar-benar tersadar
setelah psikologku mengatakan satu hal yang sangat sederhana: lapar bisa
membuat seseorang tertekan. Jujur, sebelumnya aku tidak pernah menganggap
serius hal ini. Aku lebih sering mengira marah, kesal, atau emosi yang tiba-tiba
muncul itu karena capek, banyak pikiran, atau tekanan hidup yang menumpuk.
Ternyata, kadang penyebabnya sesederhana perut yang kosong.
Dalam keadaan lapar, seseorang
bisa memberi respons yang tidak biasa. Hal kecil terasa berat. Perkataan
sederhana bisa terdengar menyebalkan. Emosi jadi pendek, dan amarah mudah
muncul tanpa kita benar-benar tahu apa pemicunya. Aku melihat itu pada diriku
sendiri. Saat pulang ke rumah dalam kondisi lapar, suasana hatiku sering tidak
baik. Nada bicara meninggi, wajah tegang, dan tanpa sadar keluargakulah yang
menjadi sasaran.
Pengaruh
lapar terhadap emosi juga dipengaruhi oleh kondisi individu. Orang dengan
riwayat gangguan kecemasan, depresi, atau masalah regulasi emosi cenderung
lebih rentan mengalami perubahan emosi saat lapar. Demikian pula pada
anak-anak, remaja, dan lansia, yang kemampuan regulasi emosinya belum atau
tidak lagi optimal.
AL-Qur’an
Surah Maryam ayat 26, Allah berfirman (maknanya): “Maka makanlah,
minumlah, dan bersenang hatilah engkau.”
Ayat ini
ditujukan kepada Maryam dalam kondisi yang sangat berat—sendirian, kelelahan,
baru saja melahirkan, dan berada di bawah tekanan batin yang luar biasa.
Menariknya, sebelum Maryam diminta berbicara atau menghadapi manusia, Allah
justru memerintahkannya untuk makan, minum, dan menenangkan hati.
Ini pesan
yang dalam sekali. Allah seakan mengajarkan bahwa dalam kondisi emosi yang
rapuh, yang dibutuhkan pertama kali bukan penjelasan, pembelaan, atau
perdebatan, tetapi pemulihan diri. Tubuh harus dikuatkan dulu, hati ditenangkan
dulu. Baru setelah itu seseorang siap menghadapi situasi yang berat.
Ayat ini
selaras dengan ungkapan sederhana yang sering kita dengar: “isi dulu
perutmu, baru ajak bicara.” Ternyata, ini bukan sekadar logika manusia
modern atau nasihat psikologi, tapi juga nilai yang ada dalam Al-Qur’an. Islam
sangat memahami manusia sebagai makhluk yang utuh—punya tubuh, emosi, dan jiwa.
Ketika tubuh lelah dan lapar, emosi mudah goyah. Maka Allah tidak menuntut di
luar kemampuan hamba-Nya.
Dalam konteks
tertentu—misalnya saat berpuasa—pengaruh ini dapat diminimalkan jika seseorang
memiliki kesiapan mental, makna spiritual, dan pola makan yang baik saat sahur
dan berbuka.
Kesadaran ini
membuatku kaget. Bukan karena aku merasa orang yang paling salah, tapi karena
aku baru paham bahwa emosi tidak selalu soal mental atau kepribadian. Tubuh
punya peran besar. Ketika kebutuhan dasarnya tidak terpenuhi, wajar jika emosi
ikut goyah. Sayangnya, kita sering menuntut diri sendiri untuk selalu sabar,
tanpa bertanya apakah tubuh kita sudah cukup diberi perhatian.
Dari sini aku mulai memandang
puasa dengan cara yang berbeda. Menahan lapar ternyata bukan perkara sepele.
Dalam kondisi tidak makan dan minum, emosi benar-benar diuji. Menahan amarah
terasa lebih berat, menjaga sikap jadi lebih menantang. Mungkin itulah sebabnya
puasa menjadi ibadah yang pahalanya begitu istimewa. Karena yang ditahan bukan
hanya makan dan minum, tapi juga ego, emosi, dan reaksi spontan. Dan semua itu
hanya Allah dan orang yang berpuasa yang benar-benar tahu.
Dalam kehidupan sehari-hari,
kesadaran ini perlu diterapkan secara nyata. Psikologku memberi saran yang
sangat masuk akal “Sebelum sampai ke rumah, ada baiknya makan dulu. Tidak perlu
makanan berat. Cukup satu atau dua potong biskuit. Simpan di tas atau di
kendaraan.”
Tujuannya sederhana, agar tubuh
tidak terlalu kosong dan emosi tidak terlalu rapuh saat masuk ke rumah.
Sejak itu aku belajar satu hal
bahwa rumah bukan tempat membuang sisa emosi dari luar. Rumah adalah tempat
beristirahat, menenangkan diri, dan menghangatkan keluarga. Maka sebelum
membuka pintu, pastikan diri kita sudah sedikit lebih siap—secara fisik dan
emosional. Kadang, satu atau dua potong biskuit bisa membuat perbedaan besar.
Bukan soal makanannya, tapi soal kesadaran bahwa menjaga emosi juga berarti
merawat tubuh, demi diri sendiri dan orang-orang yang kita cintai. []
Semoga ini bermanfaat, terima kasih buat kalian yang sudah membaca sampai akhir… Aku tidak ada artinya tanpa kamu…
