Mengapa Kita Bereaksi Berbeda terhadap Stres? Empat Temperamen Kepribadian dalam Psikologi


Oleh: Siti Hajar

Sejak manusia mulai menyadari bahwa tekanan hidup tidak pernah dialami dengan cara yang sama, muncul pertanyaan mendasar: mengapa satu peristiwa bisa melahirkan reaksi yang begitu berbeda pada tiap orang? Mengapa ada yang tertawa ketika tertekan, ada yang marah, ada yang tenggelam dalam renungan, dan ada pula yang memilih diam demi ketenangan.

Akar teorinya berasal dari Hippocrates (460–370 SM), bapak ilmu kedokteran, lalu dikembangkan oleh Galen (129–216 M). Jauh sebelum istilah “regulasi emosi” atau “respons stres” dikenal, Hippocrates dan Galen mencoba membaca pola ini melalui tubuh, lewat konsep empat cairan: darah, empedu kuning, empedu hitam, dan lendir. Dari sanalah lahir teori empat temperamen yang hingga kini masih digunakan sebagai peta awal memahami kepribadian.

Dalam perspektif bio-psikologi modern, teori ini tidak lagi dipahami secara harfiah sebagai cairan tubuh, melainkan sebagai pola biologis–psikologis (bio-psikologis) yang memengaruhi cara otak memproses emosi, stres, dan ancaman. Dengan kata lain, yang dulu disebut “keseimbangan cairan” kini dipahami sebagai keseimbangan sistem saraf, emosi, dan fungsi kognitif.

Temperamen sanguinis, yang diasosiasikan dengan dominasi darah, mencerminkan sistem psikologis yang sangat responsif terhadap rangsangan sosial dan emosi positif. Dalam kerangka bio-psikologi, individu sanguinis cenderung memiliki sistem afektif yang cepat aktif dan cepat reda. Ketika stres datang, otak mereka mencari regulasi melalui interaksi, humor, dan ekspresi emosi terbuka. Mereka menggunakan relasi sebagai penyangga biologis terhadap tekanan. Namun, karena fokusnya pada peredaan cepat, stres sering tidak diproses secara mendalam. Ketika tekanan berlangsung lama, mekanisme ini bisa menjadi rapuh karena emosi negatif hanya dialihkan, bukan diintegrasikan.

Koleris, yang dalam teori klasik dikaitkan dengan empedu kuning, merepresentasikan sistem psikologis yang berorientasi pada kontrol dan dominasi lingkungan. Dalam bio-psikologi, ini berkaitan dengan aktivasi kuat sistem respons stres yang mendorong tindakan cepat dan fokus pada penyelesaian masalah. Koleris menghadapi tekanan dengan mengaktifkan fungsi eksekutif otak: merencanakan, memerintah, dan mengambil keputusan. Mereka unggul dalam kondisi krisis, tetapi rentan ketika stres bersifat kronis dan tidak bisa dikendalikan. Ketika kontrol gagal, sistem emosi mereka mudah beralih ke iritabilitas dan agresi, menandakan bahwa regulasi emosi lebih banyak dilakukan lewat tindakan daripada refleksi.

Melankolis, yang secara simbolik dikaitkan dengan empedu hitam, sering dianggap paling dekat dengan dunia batin. Dari sudut pandang bio-psikologi, melankolis memiliki sensitivitas tinggi terhadap pemrosesan emosi dan evaluasi diri. Otak mereka cenderung aktif dalam wilayah reflektif—menghubungkan peristiwa dengan makna, nilai, dan identitas diri. Saat menghadapi stres, melankolis tidak buru-buru meredakannya, melainkan mencoba memahami, menimbang, dan menafsirkan. Inilah kekuatan sekaligus kerentanannya. Ketika refleksi berjalan sehat, stres menjadi pintu pertumbuhan psikologis. Namun ketika regulasi emosi terganggu, refleksi berubah menjadi ruminasi, pikiran berulang yang justru memperpanjang penderitaan.

Plegmatis, yang dikaitkan dengan lendir, menggambarkan sistem psikologis yang mengutamakan stabilitas dan ketenangan. Dalam kerangka bio-psikologi, plegmatis cenderung memiliki respons stres yang lebih teredam. Mereka secara alami menurunkan intensitas emosi demi menjaga harmoni internal dan eksternal. Saat tekanan datang, strategi utama mereka adalah penerimaan dan penyesuaian. Ini membuat mereka tampak tenang dan kuat, tetapi sekaligus berisiko memendam konflik emosional. Ketika ekspresi emosi terlalu lama ditekan, stres tidak hilang, melainkan berpindah ke bentuk kelelahan psikologis yang samar dan sulit dikenali.

Yang menarik, bio-psikologi modern menegaskan bahwa tidak ada satu temperamen pun yang bekerja sendiri. Kepribadian adalah hasil interaksi antara predisposisi biologis dan pengalaman hidup. Apa yang dulu disebut ketidakseimbangan cairan, kini dipahami sebagai ketidakseimbangan cara otak mengatur emosi, perhatian, dan respons terhadap stres. Kesehatan mental bukanlah tentang menghilangkan satu temperamen dan menggantinya dengan yang lain, melainkan tentang fleksibilitas psikologis—kemampuan meminjam strategi dari temperamen lain ketika dibutuhkan.

Sanguinis belajar dari melankolis bagaimana memaknai luka. Melankolis belajar dari plegmatis bagaimana melepaskan beban yang tidak perlu. Koleris belajar dari sanguinis bahwa tidak semua masalah harus ditaklukkan. Plegmatis belajar dari koleris bahwa ketenangan juga butuh batas dan keberanian. Di titik itulah teori lama dan bio-psikologi modern bertemu: bukan pada cairannya, melainkan pada kesadaran bahwa manusia sehat adalah manusia yang seimbang—di tubuh, emosi, dan cara berpikirnya.

Pada titik ini, aku mulai menyadari bahwa memahami empat temperamen bukan sekadar membaca teori lama atau menambah kosa kata psikologi, melainkan sedang membaca diriku sendiri. Sebagai seorang melankolis yang kini duduk di bangku semester awal Psikologi, aku sering merasa kepalaku terlalu penuh oleh pikiran. Peristiwa-peristiwa kecil dalam aktivitas harian—kalimat seseorang, ekspresi wajah, nada suara, bahkan keheningan—tidak pernah benar-benar lewat begitu saja. Semuanya berhenti sebentar di dalam diriku, ditimbang, dimaknai, lalu diputar ulang dalam refleksi yang kadang melelahkan.

Overthinking yang kerap kualami pelan-pelan kupahami bukan semata kelemahan, tetapi ciri dari cara otakku bekerja. Sebagai melankolis, aku memang cenderung memproses hidup secara mendalam. Dalam bahasa bio-psikologi, aku sedang menyaksikan bagaimana pikiranku berusaha mengintegrasikan emosi, pengalaman, dan identitas diri. Namun di sinilah tantangannya: refleksi yang seharusnya membawa pemahaman, sering bergeser menjadi ruminasi yang menguras energi mental. Aku belajar bahwa tidak setiap pikiran harus diselesaikan hari itu juga, dan tidak semua pertanyaan batin menuntut jawaban segera.

Belajar Psikologi memberiku kacamata baru untuk berdamai dengan diriku sendiri. Aku mulai memahami bahwa keseimbangan bukan berarti mematikan sifat melankolisku, melainkan memberi ruang bagi strategi lain untuk hadir.

Ada kalanya aku perlu belajar dari sanguinis untuk melepaskan pikiran lewat percakapan ringan. Ada saatnya aku perlu meminjam ketegasan koleris untuk berhenti berputar dan mengambil keputusan. Dan ada waktunya aku meniru plegmatis, membiarkan sesuatu mengalir tanpa harus kupahami sepenuhnya.

Mungkin inilah perjalanan awal seorang mahasiswa Psikologi yang juga sedang mempelajari dirinya sendiri. Setiap teori yang kubaca bukan lagi sekadar materi ujian, melainkan cermin yang memantulkan kegelisahan, harapan, dan proses tumbuh.

Sebagai melankolis, aku tahu aku akan selalu merenung. Tetapi kini aku belajar bahwa merenung tidak harus berarti tenggelam. Ia bisa menjadi jalan mengumpulkan ilmu—aku harus ingat untuk sesekali berhenti, bernapas, dan membiarkan hidup berjalan tanpa harus selalu kupahami sepenuhnya.  Ayo kita sama-sama mengenali diri agar bisa membantu orang lain. []

 

Lebih baru Lebih lama