Oleh: Siti Hajar
Akhir November lalu, Aceh kembali
diuji oleh hujan yang turun nyaris tanpa jeda. Sungai meluap, genangan merayap
masuk ke rumah-rumah, dan banyak warga harus berjaga sepanjang malam. Dalam
berbagai laporan cuaca, nama Siklon Sinyar disebut sebagai salah satu pemicu
kondisi cuaca ekstrem tersebut. Bagi sebagian orang, istilah ini terdengar
asing dan jauh. Namun bagi mereka yang merasakan langsung dampaknya, badai
bukan sekadar istilah, melainkan pengalaman yang membekas secara fisik dan
emosional.
Badai dan banjir selalu datang
membawa pesan. Ia tidak pernah hadir hanya untuk merusak, tetapi juga untuk
mengingatkan. Terlebih ketika peringatan cuaca menyebutkan bahwa potensi hujan
ekstrem dan dampak siklon belum sepenuhnya berakhir. Di titik inilah
kewaspadaan menjadi penting, bukan sebagai bentuk ketakutan, melainkan sebagai
wujud kebijaksanaan.
Apa Itu Siklon Sinyar?
Siklon Sinyar adalah sistem
tekanan rendah yang terbentuk di wilayah laut hangat dan memicu cuaca ekstrem
berupa hujan lebat, angin kencang, serta gelombang tinggi. Meski pusat siklon
biasanya tidak berada tepat di atas wilayah Indonesia, dampaknya tetap terasa
luas. Awan-awan hujan yang ditarik oleh sistem siklon dapat menyebabkan curah
hujan meningkat drastis di wilayah sekitarnya, termasuk Sumatra dan Aceh.
Siklon bukanlah badai yang datang
tiba-tiba tanpa sebab. Ia terbentuk melalui proses alamiah yang melibatkan suhu
laut, pergerakan angin, dan perbedaan tekanan udara. Namun ketika intensitasnya
meningkat, dampaknya menjadi nyata bagi kehidupan manusia—terutama bagi wilayah
yang memiliki banyak sungai, dataran rendah, dan sistem drainase yang terbatas.
Mengapa Siklon Bisa Berdampak
di Indonesia dan Asia Tenggara?
Indonesia berada di wilayah
tropis yang dikelilingi oleh perairan hangat. Kondisi ini membuat atmosfer di
kawasan Asia Tenggara sangat dinamis. Meski Indonesia jarang menjadi titik
lahir siklon tropis besar, posisinya yang dekat dengan wilayah pembentukan
siklon menyebabkan dampaknya tetap terasa. Curah hujan meningkat, angin bertiup
lebih kencang, dan cuaca menjadi sulit diprediksi dalam waktu singkat.
Perubahan iklim global juga
membuat pola cuaca semakin ekstrem. Musim hujan tidak lagi datang dengan pola
yang mudah ditebak. Hujan bisa turun lebih lama, lebih deras, dan dengan
intensitas yang tidak biasa. Inilah sebabnya mengapa kewaspadaan tidak bisa
lagi bersifat musiman, tetapi harus menjadi kebiasaan.
Siklon adalah Fenomena Alam,
Deforestasi adalah Ulah Manusia
Siklon seperti Sinyar terbentuk
di laut akibat suhu permukaan laut yang hangat dan dinamika atmosfer. Ia adalah
peristiwa alam. Namun ketika siklon membawa hujan ekstrem ke daratan, kondisi
daratanlah yang menentukan apakah hujan itu akan menjadi berkah atau bencana.
Di sinilah deforestasi berperan.
Sumatra dahulu dikenal sebagai
pulau dengan hutan hujan tropis lebat yang berfungsi sebagai “penyangga alam”.
Hutan menyerap air hujan, menahan aliran permukaan, menjaga kestabilan tanah,
dan mengatur siklus air. Ketika hutan berkurang drastis akibat pembalakan, alih
fungsi lahan, dan ekspansi perkebunan, kemampuan alam untuk meredam hujan
ekstrem ikut hilang.
Saat Siklon Bertemu Daratan
yang Telanjang
Ketika hujan deras akibat
pengaruh siklon turun di wilayah yang hutannya masih utuh, sebagian besar air
akan diserap tanah dan dilepas perlahan ke sungai. Namun di Sumatra hari ini,
banyak wilayah sudah kehilangan penutup hutan alaminya. Tanah menjadi padat,
gundul, dan kehilangan daya serap.
Akibatnya, hujan deras yang
seharusnya meresap justru langsung mengalir ke permukaan. Sungai-sungai
menerima limpahan air dalam waktu singkat, lalu meluap. Banjir pun terjadi,
bukan karena hujannya semata, tetapi karena alam tidak lagi punya ruang
untuk menahan air.
Deforestasi Mempercepat dan
Memperparah Dampak Siklon
Deforestasi juga meningkatkan
risiko longsor saat hujan ekstrem. Akar pohon yang seharusnya mengikat tanah
sudah tidak ada. Lereng menjadi rapuh. Ketika hujan deras datang berhari-hari
akibat pengaruh siklon, tanah mudah runtuh dan menutup aliran sungai,
menciptakan banjir bandang yang datang tiba-tiba.
Dengan kata lain, siklon
adalah pemicu, deforestasi adalah penguat bencana. Tanpa deforestasi,
dampaknya bisa lebih terkendali. Dengan deforestasi, hujan ekstrem berubah
menjadi tragedi.
Perubahan Iklim, Deforestasi,
dan Siklon: Rantai yang Saling Menguatkan
Hutan Sumatra juga berperan besar
dalam menyerap karbon. Ketika hutan ditebang, karbon dilepaskan ke atmosfer,
mempercepat perubahan iklim. Perubahan iklim ini kemudian meningkatkan
frekuensi dan intensitas cuaca ekstrem, termasuk hujan lebat yang diperkuat
oleh sistem siklon.
Maka terbentuklah lingkaran yang saling menguatkan:
hutan hilang → iklim makin ekstrem → hujan makin intens → bencana makin sering
→ manusia makin rentan.
Pelajaran Penting yang Perlu
Kita Sadari
Menghubungkan Siklon Sinyar
dengan deforestasi bukan untuk menyalahkan alam, melainkan untuk mengingatkan
manusia. Kita tidak bisa menghentikan siklon, tetapi kita bisa mengurangi
kerusakan yang ditimbulkannya dengan menjaga hutan, sungai, dan ruang hidup
alam.
Banjir Aceh dan wilayah Sumatra
lainnya mengajarkan bahwa kewaspadaan tidak cukup hanya dengan memantau cuaca.
Ia harus dibarengi dengan kesadaran ekologis. Selama ramalan cuaca ekstrem
belum berakhir dan hutan belum pulih, kewaspadaan harus menjadi sikap
bersama—bukan hanya saat badai datang, tetapi jauh sebelum awan gelap
berkumpul.
Belajar Menghadapi Badai
dengan Bijak
Bijak menghadapi badai tidak
selalu berarti memiliki semua perlengkapan darurat yang lengkap, meski itu
penting. Kebijaksanaan sering kali dimulai dari sikap mental: mau mendengar
peringatan, tidak meremehkan hujan yang terus turun, dan tidak menunda keputusan
penting seperti mengamankan barang atau berpindah ke tempat yang lebih aman.
Banjir Aceh mengajarkan bahwa
kesiapsiagaan menyelamatkan banyak hal—bukan hanya harta benda, tetapi juga
ketenangan. Menyimpan dokumen penting di tempat aman, mengenali jalur evakuasi,
memastikan anak-anak dan lansia lebih dulu terlindungi, serta menjaga
komunikasi antarwarga adalah langkah-langkah kecil yang berdampak besar ketika
air mulai naik.
Komunitas sebagai Kekuatan di
Tengah Bencana
Satu hal yang selalu terasa kuat
saat bencana adalah solidaritas. Ketika air naik, yang pertama datang sering
kali bukan sirene atau kendaraan besar, melainkan tetangga. Ada yang mengetuk
pintu, membantu mengangkat barang, atau sekadar memastikan orang lain tidak
sendirian. Dari sini kita belajar bahwa menghadapi badai bukan hanya soal
bertahan secara individu, tetapi tentang bagaimana manusia saling menjaga.
Kepedulian ini menjadi penting,
terutama ketika ramalan cuaca menunjukkan bahwa potensi hujan ekstrem masih
ada. Waspada bersama jauh lebih kuat daripada waspada sendirian.
Belajar Setelah Air Surut
Setiap bencana menyisakan
pertanyaan. Bagaimana kita memperlakukan sungai? Apakah kita memberi ruang bagi
air untuk mengalir? Apakah pembangunan dan kebiasaan hidup kita sudah cukup
ramah terhadap alam? Banjir jarang berdiri sendiri; ia sering kali merupakan
akumulasi dari banyak hal yang diabaikan terlalu lama.
Bijak menghadapi badai berarti
belajar sebelum, selama, dan setelahnya. Bersiap sebelum hujan datang, tetap
tenang saat badai terjadi, dan mengambil pelajaran setelah semuanya berlalu.
Mengajarkan anak-anak untuk tidak panik, menumbuhkan empati kepada mereka yang
terdampak lebih parah, dan menumbuhkan kesadaran bahwa alam perlu dihormati,
bukan ditaklukkan.
Badai akan berlalu, seperti
biasa. Air akan surut, lumpur akan dibersihkan, dan kehidupan akan berjalan
kembali. Namun pelajaran seharusnya tinggal lebih lama. Siklon Sinyar dan
banjir Aceh bukan hanya tentang cuaca ekstrem, tetapi tentang cara manusia hidup
di tengah alam yang terus berubah. Selama ramalan belum sepenuhnya aman,
kewaspadaan adalah bentuk kasih sayang—pada diri sendiri, pada sesama, dan pada
masa depan yang sedang kita jaga bersama.
