Anak Jalanan di Banda Aceh-Cerminan Kota yang Semakin Tak Berdaya?

 


Oleh: Siti Hajar

Bagi siapa saja yang sering menghabiskan waktu di warung kopi di Banda Aceh, mungkin pernah menyadari sesuatu yang belakangan ini semakin mencolok. Jumlah pengemis dan anak jalanan tampaknya semakin bertambah, terutama di kawasan Darussalam, Prada, Lingke, dan Lamprit. Fenomena ini bukan hanya sekadar pemandangan biasa, tetapi cerminan dari realitas sosial yang kian mengkhawatirkan. Apakah ini menandakan bahwa wajah kota semakin tak berdaya?

Banyak yang langsung menduga bahwa faktor sosial dan ekonomi memainkan peran besar dalam persoalan ini. Memang, meningkatnya jumlah anak jalanan bukanlah masalah baru. Pemerintah melalui dinas terkait telah berupaya menangani persoalan ini dengan berbagai cara. Namun, ada banyak faktor yang membuat masalah ini seolah tidak pernah benar-benar selesai.

Salah satu faktor utama adalah kondisi ekonomi yang sulit. Pandemi yang melanda beberapa tahun lalu masih menyisakan dampaknya, dan banyak keluarga yang belum sepenuhnya bangkit. Di tengah kesulitan tersebut, anak-anak menjadi korban. Beberapa dari mereka terpaksa turun ke jalan untuk mencari nafkah, mengamen, menjual tisu, atau sekadar meminta belas kasihan. Lebih menyedihkan lagi, ada kasus di mana mereka dipaksa oleh orang tua mereka sendiri untuk mengemis.

Selain itu, Banda Aceh sebagai pusat pendidikan dan ekonomi menarik banyak pendatang dari berbagai daerah. Mereka datang dengan harapan menemukan kehidupan yang lebih baik, tetapi tidak semua memiliki keterampilan atau sumber penghasilan yang cukup. Akibatnya, anak-anak mereka ikut terseret dalam kehidupan jalanan. Meskipun mereka terlihat di jalan-jalan Banda Aceh, banyak dari mereka sebenarnya berasal dari berbagai kabupaten di Aceh seperti Pidie, Bireuen, Aceh Utara, hingga Aceh Timur.

Namun, tidak semua anak jalanan adalah tunawisma. Banyak dari mereka masih memiliki rumah dan keluarga, tetapi kurangnya pengawasan orang tua menjadi faktor lain yang mendorong mereka berkeliaran di jalanan. Sebagian dari mereka kecanduan gadget, membutuhkan uang untuk membeli paket data, atau bahkan ingin membeli ponsel baru. Ketika orang tua tak mampu memenuhi kebutuhan ini, mereka mencari cara sendiri untuk mendapatkan uang, termasuk dengan turun ke jalan.

Budaya warung kopi yang begitu kuat di Banda Aceh juga berperan dalam fenomena ini. Warung kopi bukan sekadar tempat menikmati secangkir kopi, tetapi juga menjadi tempat berkumpul bagi berbagai kalangan. Anak-anak dan remaja yang kurang pengawasan sering kali menjadikan warung kopi sebagai tempat nongkrong tanpa tujuan jelas. Dari sini, mereka bisa saja terpengaruh untuk terlibat dalam aktivitas jalanan atau sekadar menghabiskan waktu tanpa arah.

Yang lebih mengkhawatirkan, ada juga sisi gelap dari kehidupan jalanan ini. Anak-anak yang terbiasa hidup di jalan rentan menjadi korban eksploitasi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Beberapa dari mereka dipaksa mengemis, mengamen, atau bahkan terlibat dalam aktivitas ilegal. Sudah ada beberapa kasus di Banda Aceh di mana anak-anak jalanan yang terjaring razia mendapatkan pembinaan, diberikan keterampilan, bahkan penguatan akidah agar tidak kembali ke jalan. Namun, tanpa penanganan yang menyeluruh, risiko eksploitasi dan kriminalitas tetap mengintai mereka.

Pemerintah Kota Banda Aceh sebenarnya telah melakukan berbagai langkah untuk menangani persoalan ini. Dinas Sosial telah memberikan pembinaan dan pelatihan keterampilan bagi anak jalanan dan gelandangan agar mereka bisa lebih mandiri. Selain itu, pemerintah juga telah melakukan pemulangan bagi mereka yang berasal dari luar kota. Bahkan, masyarakat diimbau untuk tidak memberikan uang secara langsung kepada pengemis dan anak jalanan, melainkan menyalurkannya melalui lembaga resmi seperti Baitul Mal agar bantuan yang diberikan tidak malah memperpanjang ketergantungan mereka pada kehidupan jalanan.

Namun, meskipun berbagai upaya telah dilakukan, fenomena anak jalanan tetap menjadi tantangan yang belum terselesaikan. Dibutuhkan lebih dari sekadar kebijakan dan razia untuk mengatasi masalah ini. Perlu ada kerja sama antara pemerintah, masyarakat, dan berbagai pihak terkait untuk menciptakan solusi yang lebih berkelanjutan. Bagaimanapun, anak-anak ini adalah bagian dari masa depan kita. Jika kita ingin melihat Banda Aceh sebagai kota yang lebih baik, sudah saatnya kita tidak hanya menjadi penonton, tetapi juga mengambil peran dalam mengubah keadaan mereka.

 

Lebih baru Lebih lama