Tas dan Identitas-Antara Gaya dan Esensi Diri

 


Oleh: Siti Hajar

Tas, bagi sebagian besar perempuan, bukan sekadar alat fungsional untuk membawa barang-barang pribadi. Ia telah menjelma menjadi simbol status, gaya hidup, bahkan identitas. Tidak jarang kita mendengar ungkapan, "Jika ingin melihat seberapa keren seorang perempuan, lihatlah tas yang dikenakannya." Dalam budaya konsumerisme, tas bermerek mahal sering kali dikaitkan dengan keberhasilan, status sosial, dan selera fashion seseorang.

Namun, apakah nilai seorang perempuan benar-benar terletak pada merek tas yang ia bawa? Apakah gaya hidup dan estetika lebih berharga daripada kecerdasan, kebijaksanaan, dan ketulusan?

Sebagai seseorang yang lebih menghargai kesederhanaan dan esensi diri, saya melihat bahwa daya tarik seseorang tidak ditentukan oleh fashion yang dikenakan, tetapi oleh bagaimana ia berpikir, bagaimana ia merespons kehidupan, serta bagaimana ia mengelola emosinya. Dunia saat ini terlalu sibuk mengagungkan citra luar hingga sering kali melupakan apa yang ada di dalam diri seseorang.

Tas mahal bisa menarik perhatian sesaat, tetapi kemampuan berbicara dengan baik, empati, serta kecerdasan dalam mengambil keputusan adalah hal-hal yang membangun kesan jangka panjang. Sayangnya, model penilaian berdasarkan tampilan ini telah menjadi standar sosial yang sulit dihindari. Akibatnya, banyak orang yang merasa perlu tampil dalam balutan barang mewah agar dianggap memiliki nilai lebih.

Kesenjangan sosial juga sering muncul dari perbedaan tas yang dimiliki seseorang. Ada orang yang merasa tidak percaya diri menghadiri acara tertentu hanya karena ia tidak memiliki tas yang "keren" atau bermerek. Sebaliknya, ada pula yang datang ke suatu acara justru karena ingin memamerkan tas mahal yang baru saja dibeli.

Kebiasaan seperti ini menciptakan tekanan sosial untuk terus mengoleksi tas mahal dari merek luar negeri yang hanya segelintir orang miliki. Padahal, jika kita pikirkan lebih dalam, banyak dari tas-tas mahal ini dibuat di pabrik yang sama dengan tas berharga ratusan ribu rupiah. Materialnya pun bisa jadi tidak jauh berbeda, hanya saja nama merek yang membuatnya terlihat eksklusif.

Sebaliknya, hidup dengan prinsip low budget dan mindfulness mengajarkan kita untuk tidak terjebak dalam pusaran konsumtif. Memilih tas bukan berdasarkan harga dan merek, tetapi karena fungsinya yang praktis dan sesuai kebutuhan. Dengan pola pikir ini, seseorang tidak lagi dikuasai oleh keinginan untuk tampil mewah, melainkan oleh kesadaran akan apa yang benar-benar bernilai dalam hidupnya.

Barang yang berkualitas sejatinya tidak harus bermerek atau berharga selangit. Kualitas sejati terletak pada ketahanan, kenyamanan, dan kesesuaian dengan kebutuhan. Ada banyak produk dengan harga terjangkau yang tetap memiliki kualitas tinggi tanpa embel-embel nama besar. Pada akhirnya, kita memilih yang sederhana, tetapi tetap berkualitas, karena nilai sejati bukan terletak pada merek, melainkan pada manfaat dan kenyamanan yang kita dapatkan.

Tas memang bisa menjadi bagian dari identitas, tetapi ia tidak seharusnya menjadi tolok ukur utama dalam menilai seseorang. Justru, bagaimana seseorang berpikir, bertindak, dan menghadapi kehidupanlah yang seharusnya menjadi standar utama dalam menilai kualitas seorang perempuan.

Say no to flexing! Karena pada akhirnya, yang membuat seseorang benar-benar "keren" bukanlah tas yang ia genggam, tetapi pemikiran, prinsip, dan kepribadiannya yang berkelas.[]

Lebih baru Lebih lama