Oleh: Sitihajar
Nissa dan Ali adalah kakak
beradik. Nissa duduk di kelas tiga, sementara Ali di kelas satu Sekolah Dasar.
Mereka akan pulang kampung ke Sigli, kampung halaman Bunda. Hari Minggu, mereka
berangkat pukul 07.00 pagi.
Perjalanan dari Kota Banda Aceh
ke Kota Sigli memakan waktu sekitar tiga jam. Setibanya di rumah Nenek, mereka
disambut oleh Bibi Ema yang melambaikan tangan dari atas manjo (balkon
rumah Aceh).
Bibi Ema adalah adik Bunda. Nissa
dan Ali segera berlari menaiki tangga untuk menemui Nenek. Meskipun usianya
hampir 70 tahun, Nenek masih sehat dan kuat menemani cucu-cucunya bermain.
Rumah Aceh ini dihuni oleh Nenek bersama Bibi Ema dan suaminya.
"Nenek, apa kabar!"
seru Nissa dan Ali sambil menghambur ke pelukan Nenek.
"Alhamdulillah, Nenek
baik," jawab Nenek seraya membalas pelukan mereka dengan hangat.
"Wah, cucu Nenek sudah besar!"
"Alhamdulillah, Nek,"
sahut Bunda yang juga ikut memeluk ibunya.
"Nissa dan Ali sudah makan?
Kebetulan Bibi masak makanan kesukaan kalian," ujar Nenek.
"Hore! Pasti enak. Ada ikan
goreng dan kuah pliek u (kuah khas Aceh), kan, Bik?" tanya Nissa
antusias.
"Iya, sudah Bibi
siapkan," jawab Bibi Ema tersenyum.
Sore harinya, setelah
beristirahat, mereka berkumpul di ruang tengah. Nissa yang penasaran bertanya
kepada Bunda.
"Bunda, kenapa rumah Nenek
berbeda dengan rumah kita di kota?"
"Karena rumah Nenek ini Rumoh
Aceh, rumah adat suku Aceh yang hanya ada di Aceh," jelas Bunda.
"Rumoh Aceh dibangun menghadap ke barat, arah Kota Mekkah."
"Seperti arah salat, ya,
Bunda?" tanya Nissa.
"Betul sekali. Itu
menunjukkan bahwa penghuninya menjalankan perintah agama," jawab Bunda.
"Rumoh Aceh biasanya
memiliki tiga bagian utama. Pertama, seuramoe keu (serambi depan),
biasanya digunakan untuk menerima tamu. Kedua, seuramoe teungoh (serambi
tengah), ruang utama tempat keluarga berkumpul."
"Tempat kita duduk sekarang
ini, serambi tengah, kan, Bunda?" tanya Ali.
"Iya, lah! Ini di tengah,
Ali. Pakai tanya segala," sahut Nissa.
"Ya, aku kan cuma
memastikan, Nissa!" balas Ali cepat, tak mau kalah.
Bunda tersenyum. "Sudah,
sudah. Kalian mau lanjut dengar cerita atau tidak?"
Nissa dan Ali langsung terdiam,
menunggu Bunda melanjutkan ceritanya.
"Bagian terakhir adalah seuramoe
likot (serambi belakang) yang biasanya tersambung dengan dapu
(dapur). Nah, kalian tahu kenapa rumah Aceh memiliki tiang tinggi?"
"Agar tidak kebanjiran, kan,
Bunda?" jawab Nissa dengan yakin.
"Wah, pintar Kak
Nissa," puji Bunda. "Benar, tiang tinggi juga melindungi dari
binatang buas."
"Oooh! Jadi nenek moyang
kita sudah memikirkan segalanya, ya?" kata Nissa kagum.
"Betul! Selain itu, bagian
bawah rumah sering digunakan anak-anak untuk bermain. Kadang juga dijadikan
tempat menenun kain atau menganyam tikar."
"Menenun itu apa,
Bunda?" tanya Ali penasaran.
"Menenun itu proses membuat
kain," jawab Nissa sebelum Bunda sempat berbicara.
"Benar. Di Aceh, ada kain songket
khas Aceh yang sering dipakai dalam acara pernikahan," tambah Bunda.
"Oh, jadi orang Aceh bisa
menenun sendiri, ya?" tanya Nissa.
"Tentu saja!" sahut
Bunda.
"Keren! Masyaallah,"
seru Nissa penuh kekaguman.
"Bunda, di bawah rumah juga
ada alat untuk menumbuk tepung, kan?" tanya Ali, mengingat sesuatu.
"Iya, itu namanya jeungki.
Jeungki digunakan untuk menumbuk padi menjadi beras atau menumbuk beras menjadi
tepung. Kadang juga digunakan untuk menumbuk kopi."
"Oh, pantesan dulu aku
pernah lihat Nenek dan Bik Ema menumbuk tepung di bawah rumah," ujar Ali
senang karena ingatannya benar.
"Sekarang, coba Ali hitung
berapa anak tangga rumah Nenek ini," pinta Bunda.
Ali menghitung dengan saksama.
"Sebelas, Bunda!"
"Bagus! Orang Aceh
menggunakan angka ganjil untuk jumlah anak tangga, biasanya 7, 9, 11, atau
13."
"Oh! Kenapa harus angka
ganjil, Bunda?" tanya Nissa.
"Angka ganjil dianggap
memiliki filosofi dan nilai tersendiri dalam budaya Aceh," jelas Bunda.
"Bagian luar setelah tangga
itu namanya manjo (balkon). Dari sini kita bisa melihat ke halaman
rumah," tambah Bunda.
"Iya, pemandangannya
bagus!" kata Nissa sambil menatap tanaman hias Bibi Ema dan rumput yang
rapi di halaman.
"Bunda berharap, dengan
mengenal Rumoh Aceh, kalian jadi lebih menghargai budaya dan nilai-nilai
leluhur kita."
"Siap, Bunda!" sahut
Nissa dan Ali serempak.
Mereka senang mendengar cerita
Bunda tentang Rumoh Aceh.
Nah, teman-teman! Apakah di daerah kalian ada rumah adat? Yuk, sebutkan nama rumah adat di daerah kalian! []