Oleh: Sitihajar
“Lena, sebentar ke sini, Mak mau
bicara denganmu,” kata Mak.
“Bentar ya, Mak,” jawabku sambil
menutup Al-Qur'an dan melipat mukena.
“Ada apa, Mak? Kelihatannya
serius sekali,” tanyaku seraya duduk di samping Mak. Aku menggelayut di
pergelangan tangan Mak seraya memilin ujung dasternya. Aku senang dengan posisi
itu.
Mak dan Ayah saling berpandangan,
seakan sedang mengadu suit untuk menentukan siapa yang akan memulai
pembicaraan.
“Lena,” akhirnya Mak membuka
suara. “Kan kamu sudah tamat SMA. Mak dan Ayah tidak sanggup membiayai
kuliahmu. Penghasilan dari warung kita hanya cukup buat makan dan sekolah
adik-adikmu, Fadli dan Fadlan. Mak dan Ayah berencana menjodohkanmu dengan
Husnul,” kata Mak serius.
“Apa, Mak?” Pelan kucerna apa
yang baru saja kudengar. Aku tidak menyangka akan secepat ini. Sering memang
Mak bilang bahwa mak dan ayah tidak mampu membiayai kuliahku, keadaan ekomnomi
keluarga kami pas-pasan.
"Mak, tapi aku ingin kerja
dan membuka usaha catering."
Mak diam saja mendengar
kata-kataku.
Bang Husnul sudah tua, Mak,” lanjutku
lagi.
Aku tidak menyangka pilihan orang
tuaku jatuh pada Bang Husnul.
“Memang kenapa dengan Husnul? Apa
yang salah dengan dia?” tanya Mak, membuatku diam.
Bang Husnul usianya sekarang 38
tahun, sedangkan aku baru tamat SMA. Belum pun ijazahku diambil dari sekolah.
Mak betul-betul tega, mau membuang anaknya. Aku sedih. Tidak ada sayang sedikit
pun untuk anaknya. Mak benar-benar tega. Mengapa Bang Husnul tidak menikah saja
dengan Kak Husna? Kak Husna juga belum menikah. Aku pernah dengar mereka dulu
sepermainan. Kak Husna dan Bang Husnul juga kuliah di IPB Bogor dulu. Kabarnya,
mereka pernah dekat, pacaran, gitulah. Tapi entahlah, aku tidak mau mereka-reka
sesuatu yang aku tidak paham.
Aku juga kadang berpikir, untuk
apa kuliah? Yang kuliah saja kadang menganggur setelahnya. Tidak ada lowongan
pekerjaan. Habis kuliah nanti, kerja di kebun kopi atau menikah, lalu mengurus
anak. Habis-habisin uang saja menurutku.
Tetapi, ada juga anaknya Wak
Murna, Kak Saleha. Lulus kuliah FKIP, sekarang mengajar bahasa Inggris di SMA
kami dulu. Minggu lalu kabarnya dia lulus PNS sebagai guru bahasa Inggris di
sekolah itu. Kak Saleha memang pintar. Aku? Untung saja naik kelas setiap
tahun. Ranking kelas mah jauh. Aku malah khawatir kemarin enggak lulus UN. Tapi
alhamdulillah, kami semuanya lulus.
Dan sekarang Mak dan Ayah akan
segera menikahkanku. Dengan Bang Husnul pula. Bang Husnul jauh sekali dari kata
ganteng menurutku. Tingginya pas-pasan, sekitar seratus lima puluh senti, tidak
lebih. Untung kulitnya lumayan putih. Tubuhnya sedikit gendut menurutku. Kalau
tingginya sedikit lagi, mungkin tidak akan terlihat gendut. Kepalanya botak,
dan hidungnya pesek. Oh no! Ya Allah.
Dibandingkan denganku, rasanya
benar-benar bertolak belakang. Tinggiku 160 cm, belum lagi kupakai high heels.
Kulitku mulus sawo matang—kan orang Indonesia! Batinku sambil tersenyum bangga
sekaligus bersyukur. Badanku ramping dan hidungku lumayan mancung. Ini warisan
genetik Ayahku, yang katanya buyut-buyut kami keturunan Arab. Makin
kubandingkan, makin jauh sekali perbedaan antara aku dan Bang Husnul.
Tapi Bang Husnul sudah punya
usaha yang mantap. Di daerah tempat kami tinggal, minimarket pertama pemiliknya
adalah Bang Husnul. Bang Husnul jauh-jauh pulang kuliah di Bogor untuk jualan.
Setidaknya ada yang keren dari Bang Husnul, pemilik minimarket di kampungku.
Tadinya, orang tua Bang Husnul
berharap setamat kuliah, dia bisa melanjutkan usaha kebun kopi milik Ayahnya.
Tetapi ternyata Bang Husnul tidak mampu. Dia enggak sanggup ke kebun. Bang
Husnul tidak sanggup kerja keras.
Akhirnya, Ayahnya meminta Bang
Husnul mengelola minimarket yang dibuka khusus untuknya. Tetapi konsep
minimarket dan manajemennya, Bang Husnul yang menjadi konseptornya. Minimarket
itu kemudian sah menjadi milik Bang Husnul ketika Ayahnya meninggal. Menjadi
warisan keluarga, sedangkan kakaknya mendapat kebun kopi. Itu gosip yang
kudengar dari kawannya Mak yang singgah di warung dulu itu.
Ada yang lucu tentang Bang Husnul
saat aku masih SMP. Aku termasuk gadis yang liar. Rumah kami terletak di
pinggir sungai di wilayah Uning Pegasing, Kota Takengon. Sudah menjadi
kebiasaan kami warga setempat kalau mandi di sungai. Sungai itu persis di belakang
rumah kami. Rumah kami, Mak jadikan warung pinggir jalan menuju Blang Kolak.
Sedangkan minimarket Bang Husnul terletak di seberang jalan warung kami, selang
tiga warung ke depan.
Bang Husnul juga memiliki
kebiasaan mandi di sungai di belakang rumahku. Saat itu aku bersama dua orang
temanku, Wulan dan Kumala, sedang main di pinggir sungai. Melihat Bang Husnul
mandi, timbul niat iseng kami. Aku kepala gengnya. Kami sepakat menyembunyikan
pakaian Bang Husnul. Setelah kami sembunyikan barang-barangnya, kami
bersembunyi dan mengintip dari belakang dapur rumahku.
Akhirnya, yang kami duga terjadi.
Bang Husnul berteriak memanggil Ibuku.
“Kak Mah! Kak Mah! Tolong, baju
saya hilang, entah siapa yang ambil.”
Melihat penderitaan Bang Husnul,
kami di balik persembunyian terkikik-kikik.
“Kak Mah! Kak Mah! Tolong!” Bang
Husnul kembali memanggil Ibuku.
Makku keluar lewat pintu belakang
yang langsung bisa melihat Bang Husnul.
“Kenapa, Husnul?” tanya Mak.
“Baju saya, Kak Mah, tidak tahu
di mana. Sepertinya ada yang memindahkan,” jawab Bang Husnul masih di dalam air
sungai.
“Wk... wk... wk...” Kami kembali
terkikik.
“Jadi kalian yang menyembunyikan
bajunya Husnul? Kasih balik,” perintah Mak.
Aku menyerahkan baju Bang Husnul
ke Mak dan kami bertiga lari sekencang-kencangnya.
Sejak saat itu, aku jadi takut
kalau ketemu Bang Husnul. Kalau dia ke warung kami, aku bersembunyi di belakang
rak gorengan Mak.
Dan kini, Mak dan Ayah mau
menjodohkanku dengannya. Aku tidak mau! Aku tidak mau! Ini tidak boleh terjadi!
Entah apa yang merasuki,
berhari-hari aku tidak bisa tentang perjodohan ini. Aku merasa orangtuaku
sangatlah kejam. di jaman modern ini masih ada istilah perjodohan, macam zaman
Siti Nurbaya saka.
Melihat kesungguhan Mak dengan
pilihannya. Aku rasanya tidak punya untuk membangkang. Tidak mengapalah Bang
Husnul itu pendek. Aku tidak akan mengenakan sandal hak tinggi waktu jalan
bersamanya.
Tidak mengapalah kalau kepalanya
botak, asalkan isi otaknya adalah mendekatkan diri pada Allah.
Tidak mengapa dia orangnya diam,
tetapi diam-diam semangat cari uang untuk menghidupi keluarga kami.
Tidaklah mengapa usianya sudah
tua, katanya nanti kalau sudah punya anak, perempuan akan terlihat lebih tua.
Tentu sama sekali tidak elok bila suami nampak lebih muda dari istrinya, kan?
Tentang tubuhnya yang sedikit
tambun. Aku akan bisa membuatnya menjaga makanan yang masuk ke dalam perutnya.
Semua rasanya sudah tidak
apa-apa.
Namun, bagaimana dengan
keinginanku untuk menjadi pebisnis kekinian? Aku ingin punya usaha catering.
"Tenang Lena, kamu bisa
ajukan proposal syarat pra nikah kepada Bg Husnul. Kamu boleh minta ini kepada
calon suamimu." batinku.
Pagi itu aku aku menyampaikan
keputusanku kepada Mak. Hatiku mantap menerima pilihan orang tuaku. Aku tahu
mereka menyayangiku dan tidak akan menjerumuskan anak gadisnya.
“Mak, Ayah, Lena mau menikah
dengan Bang Husnul dengan syarat aku diizinkan membuka usaha catering,” kataku
mantap.
Mak terlihat sangat bahagia,
Airmatanya tak terbendung. Ujung lengan daster jadi korbannya, dijadikannya
untuk lap air mata yang tak seberapa itu.
"Terima kasih, Nak!
Insyaallah itu tidak akan masalah dengan Husnul.”
Kini aku hidup berbahagia dan
merasa sangat beruntung. Orang yang dulu kujahilin ternyata kini menjadi orang
yang paling kusayang. Bang Husnul lembut dan penyayang. Dia mengajariku
pemahaman agama dan cara beribadah dengan benar. Dia menjadi panutan bagi
putra-putri kami.
Cerita sukses lainnya adalah, bisnis cateringku berjalan baik dan kini aku sudah memiliki 5 orang karyawan yang membantu usahaku. Alhamdulillah. []