3 Kisah Menginspirisi di Kala Sulit, Bertahanlah

 

Oleh: Siti Hajar

Kisah 1

Rezeki Tidak Pernah Salah Alamat

Namanya Ibu Sari. Seorang ibu rumah tangga sederhana, dengan tiga anak dan suami yang bekerja serabutan. Hidup mereka tak selalu kekurangan, tapi juga jauh dari kata cukup. Dan seperti banyak keluarga lainnya, badai itu datang tak terduga.

Suaminya tiba-tiba kehilangan pekerjaan karena tempat ia bekerja bangkrut. Uang simpanan perlahan habis untuk kebutuhan pokok. Satu per satu barang di rumah mulai digadaikan. Hingga akhirnya, mereka benar-benar hanya punya dapur kosong dan sisa beras seadanya.

Waktu itu, Ibu Sari hanya duduk di ruang tengah rumah mungil mereka. Tak ada yang bisa ia lakukan selain menangis diam-diam agar anak-anaknya tidak tahu. Tapi di tengah tangis itu, ia bangkit, mengambil air wudhu, dan duduk menghadap sajadah.

“Ya Allah, aku sudah tak tahu harus minta ke siapa. Aku malu jika harus meminta-minta. Tapi aku yakin, Engkau tak pernah tidur. Aku yakin, Engkau Maha Melihat, Maha Mengetahui, dan Maha Membolak-balikkan keadaan. Jika ini ujian, izinkan aku lulus darinya.”

Tak ada yang berubah hari itu. Tapi malamnya, seorang tetangga yang jarang bertegur sapa tiba-tiba datang membawa beberapa kantong sembako.

“Entah kenapa, Bu, saya merasa harus ke sini. Mumpung ada rezeki lebih,” katanya.

Keesokan harinya, sebuah pesan WhatsApp masuk dari teman lama yang dulu pernah dibantu Ibu Sari di acara kampung. “Bu, saya butuh orang yang bisa bantu masak harian buat katering kecil-kecilan. Mau, Bu?”

Dari satu pesanan kecil, perlahan nama Ibu Sari dikenal. Hari demi hari, rezekinya kembali mengalir. Suaminya pun akhirnya mendapat pekerjaan tetap. Anak-anaknya bisa kembali sekolah dengan layak.

Saat ditanya apa rahasianya, Ibu Sari hanya tersenyum sambil mengusap matanya yang basah. “Saya cuma minta ke Allah. Saya tidak punya siapa-siapa. Tapi saya yakin, kalau saya bersandar hanya pada-Nya, pertolongan itu pasti datang. Dan ternyata benar, badai itu memang ada akhirnya.”

Kisah 2

Saat Harapan Nyaris Pupus

Mia tidak pernah menyangka bahwa hidup bisa sesempit itu. Setelah puluhan tahun menjadi pegawai di sebuah kantor kecil, tiba-tiba perusahaan gulung tikar. Mia, yang masih harus membiayai sekolah dua anaknya dan cicilan rumah, terpaksa pulang tanpa pesangon. Tabungan yang ada hanya cukup untuk sebulan.

Hari-hari Mia setelah itu seperti kabut. Ia mencoba melamar ke sana-sini, tapi usia 40-an dianggap terlalu tua untuk posisi staf, dan terlalu muda untuk pensiun. Ia mulai menjual apa yang bisa dijual. Lemari kecil warisan ibunya, laptop bekas, hingga emas kawin.

Mia ingat sekali, malam itu listrik padam karena token habis. Uang di dompet tinggal dua ribu. Ia duduk memeluk anak-anaknya yang tertidur, dalam gelap, sambil menangis tanpa suara.

“Ya Allah... aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana. Tapi aku tahu Engkau tahu. Aku yakin Engkau mendengar. Aku tidak minta banyak, aku hanya ingin bisa bertahan. Aku ingin anak-anakku tetap makan. Itu saja, ya Rabb.”

Paginya, Mia bangun dengan mata sembab. Tapi saat ia membuka ponsel lamanya, ada satu pesan dari seseorang yang dulu pernah ikut kelas menulis daring yang Mia adakan secara gratis saat pandemi dulu.

“Bu Mia, saya ingat Ibu pernah bantu saya waktu susah. Sekarang saya lagi buka media lokal dan butuh editor lepas. Saya belum bisa bayar besar, tapi kalau Ibu mau bantu, honor langsung saya transfer mingguan.”

Mia gemetar. Ia hanya bisa menutup wajah dan sujud syukur. Dari satu pekerjaan lepas itu, ia kembali dikenal sebagai penulis dan editor. Kini, ia bahkan punya jasa penulisan dan pelatihan sendiri dari rumah. Cicilan rumah selesai, listrik tak pernah padam lagi, dan yang lebih penting: hatinya kini lebih penuh.

“Dulu aku kira aku hancur,” kata Mia. “Ternyata aku sedang dibentuk ulang.”


Ya, begitulah kadang cara Allah bekerja. Saat semua pintu tertutup, Ia bukakan jendela kecil yang tak terduga. Saat semua merasa tak mungkin, Ia datangkan mungkin dari arah yang bahkan tak kita pikirkan.

Jika kamu sedang di ujung harapan, mungkin kamu tak perlu tahu bagaimana, cukup percaya kepada siapa. Dan seperti Mia, kamu akan tahu—badai itu tak selamanya. Dan nikmat setelahnya, sungguh tak terkira.

Kisah 3

Ketika Hidup Hampir Usai

Ia seorang CEO muda yang dulu dipuja banyak orang. Keputusan-keputusannya berani, visinya tajam, dan perusahaannya tumbuh pesat dalam waktu singkat. Tapi seperti roda yang terus berputar, hidup tak selamanya di atas. Satu keputusan keliru, satu kesalahan investasi yang tak diperhitungkan matang, membuat perusahaannya ambruk. Ia harus membayar kerugian besar. Tak hanya kehilangan posisi, ia harus menjual semua aset yang dulu ia banggakan demi menyelamatkan yang bisa diselamatkan. Namun tetap saja, ia harus keluar. Diberhentikan. Ditanggalkan dari segala gelar dan gengsi.

Hari-harinya menjadi kosong. Sunyi. Ia bukan hanya kehilangan pekerjaan, tapi juga kehilangan alasan untuk bangun di pagi hari. Ia menjauh dari teman, dari keluarga. Lalu pada suatu malam yang hening, ketika tak ada lagi harapan yang bisa dipegang, ia menyalakan lilin aroma terapi, mengisi bathtub dengan air hangat, dan bersiap menjalani “ritual” terakhirnya.

Namun justru di saat ia merasa benar-benar sendiri, bel pintu rumahnya berbunyi. Berkali-kali.

Dengan sisa tenaga dan setengah enggan, ia membuka pintu. Ternyata seorang teman lama berdiri di sana, terengah dan menggenggam dokumen di tangannya.

“Aku baru ingat,” katanya dengan mata berbinar. “Beberapa tahun lalu kamu pernah menanam modal kecil di bisnis start-up ku, ingat? Bisnisku berkembang. Dan sekarang kita baru dapat investor besar. Sahammu sekarang nilainya berkali-lipat. Ini laporan dan undangan untuk bergabung di dewan direksi.”

Ia terpaku. Air mata yang tadinya karena putus asa, kini mengalir karena sesuatu yang belum ia rasakan lama: harapan.

Hari itu segalanya berubah. Bukan karena uang semata, tapi karena ia tahu: ternyata Tuhan tidak meninggalkannya. Ia hanya menundanya. Ia menyembunyikan hadiah di balik proses yang menyakitkan.

Kini, ia bekerja bukan hanya untuk sukses, tapi untuk hidup dengan hati yang lebih dalam, lebih peka, lebih bijak. Ia tahu, di titik terendah hidup, ternyata Tuhan sedang menyiapkan kejutan terbaik.

Karena kadang, saat hidup terasa gelap dan tak ada satu pun cahaya, bukan berarti itu akhir dari cerita. Bisa jadi, itu hanya jeda—sebelum keajaiban datang dengan cara yang paling tak terduga. Maka, jika kamu pernah merasa seperti itu, ingatlah: Tuhan tak pernah benar-benar jauh.[]

Lebih baru Lebih lama