Oleh: Siti Hajar
Kisah 1
Rezeki Tidak
Pernah Salah Alamat
Namanya Ibu
Sari. Seorang ibu rumah tangga sederhana, dengan tiga anak dan suami yang
bekerja serabutan. Hidup mereka tak selalu kekurangan, tapi juga jauh dari kata
cukup. Dan seperti banyak keluarga lainnya, badai itu datang tak terduga.
Suaminya
tiba-tiba kehilangan pekerjaan karena tempat ia bekerja bangkrut. Uang simpanan
perlahan habis untuk kebutuhan pokok. Satu per satu barang di rumah mulai
digadaikan. Hingga akhirnya, mereka benar-benar hanya punya dapur kosong dan
sisa beras seadanya.
Waktu itu, Ibu
Sari hanya duduk di ruang tengah rumah mungil mereka. Tak ada yang bisa ia
lakukan selain menangis diam-diam agar anak-anaknya tidak tahu. Tapi di tengah
tangis itu, ia bangkit, mengambil air wudhu, dan duduk menghadap sajadah.
“Ya Allah, aku
sudah tak tahu harus minta ke siapa. Aku malu jika harus meminta-minta. Tapi
aku yakin, Engkau tak pernah tidur. Aku yakin, Engkau Maha Melihat, Maha
Mengetahui, dan Maha Membolak-balikkan keadaan. Jika ini ujian, izinkan aku
lulus darinya.”
Tak ada yang
berubah hari itu. Tapi malamnya, seorang tetangga yang jarang bertegur sapa
tiba-tiba datang membawa beberapa kantong sembako.
“Entah kenapa,
Bu, saya merasa harus ke sini. Mumpung ada rezeki lebih,” katanya.
Keesokan
harinya, sebuah pesan WhatsApp masuk dari teman lama yang dulu pernah dibantu
Ibu Sari di acara kampung. “Bu, saya butuh orang yang bisa bantu masak harian
buat katering kecil-kecilan. Mau, Bu?”
Dari satu
pesanan kecil, perlahan nama Ibu Sari dikenal. Hari demi hari, rezekinya
kembali mengalir. Suaminya pun akhirnya mendapat pekerjaan tetap. Anak-anaknya
bisa kembali sekolah dengan layak.
Saat ditanya apa
rahasianya, Ibu Sari hanya tersenyum sambil mengusap matanya yang basah. “Saya
cuma minta ke Allah. Saya tidak punya siapa-siapa. Tapi saya yakin, kalau saya
bersandar hanya pada-Nya, pertolongan itu pasti datang. Dan ternyata benar, badai
itu memang ada akhirnya.”
Kisah 2
Saat Harapan Nyaris
Pupus
Mia tidak pernah
menyangka bahwa hidup bisa sesempit itu. Setelah puluhan tahun menjadi pegawai
di sebuah kantor kecil, tiba-tiba perusahaan gulung tikar. Mia, yang masih
harus membiayai sekolah dua anaknya dan cicilan rumah, terpaksa pulang tanpa
pesangon. Tabungan yang ada hanya cukup untuk sebulan.
Hari-hari Mia
setelah itu seperti kabut. Ia mencoba melamar ke sana-sini, tapi usia 40-an
dianggap terlalu tua untuk posisi staf, dan terlalu muda untuk pensiun. Ia
mulai menjual apa yang bisa dijual. Lemari kecil warisan ibunya, laptop bekas,
hingga emas kawin.
Mia ingat
sekali, malam itu listrik padam karena token habis. Uang di dompet tinggal dua
ribu. Ia duduk memeluk anak-anaknya yang tertidur, dalam gelap, sambil menangis
tanpa suara.
“Ya Allah... aku
benar-benar tidak tahu harus bagaimana. Tapi aku tahu Engkau tahu. Aku yakin
Engkau mendengar. Aku tidak minta banyak, aku hanya ingin bisa bertahan. Aku
ingin anak-anakku tetap makan. Itu saja, ya Rabb.”
Paginya, Mia
bangun dengan mata sembab. Tapi saat ia membuka ponsel lamanya, ada satu pesan
dari seseorang yang dulu pernah ikut kelas menulis daring yang Mia adakan
secara gratis saat pandemi dulu.
“Bu Mia, saya
ingat Ibu pernah bantu saya waktu susah. Sekarang saya lagi buka media lokal
dan butuh editor lepas. Saya belum bisa bayar besar, tapi kalau Ibu mau bantu,
honor langsung saya transfer mingguan.”
Mia gemetar. Ia
hanya bisa menutup wajah dan sujud syukur. Dari satu pekerjaan lepas itu, ia
kembali dikenal sebagai penulis dan editor. Kini, ia bahkan punya jasa
penulisan dan pelatihan sendiri dari rumah. Cicilan rumah selesai, listrik tak
pernah padam lagi, dan yang lebih penting: hatinya kini lebih penuh.
“Dulu aku kira
aku hancur,” kata Mia. “Ternyata aku sedang dibentuk ulang.”
Ya, begitulah
kadang cara Allah bekerja. Saat semua pintu tertutup, Ia bukakan jendela kecil
yang tak terduga. Saat semua merasa tak mungkin, Ia datangkan mungkin dari arah
yang bahkan tak kita pikirkan.
Jika kamu sedang
di ujung harapan, mungkin kamu tak perlu tahu bagaimana, cukup percaya kepada
siapa. Dan seperti Mia, kamu akan tahu—badai itu tak selamanya. Dan nikmat
setelahnya, sungguh tak terkira.
Kisah 3
Ketika Hidup
Hampir Usai
Ia seorang CEO
muda yang dulu dipuja banyak orang. Keputusan-keputusannya berani, visinya
tajam, dan perusahaannya tumbuh pesat dalam waktu singkat. Tapi seperti roda
yang terus berputar, hidup tak selamanya di atas. Satu keputusan keliru, satu
kesalahan investasi yang tak diperhitungkan matang, membuat perusahaannya
ambruk. Ia harus membayar kerugian besar. Tak hanya kehilangan posisi, ia harus
menjual semua aset yang dulu ia banggakan demi menyelamatkan yang bisa
diselamatkan. Namun tetap saja, ia harus keluar. Diberhentikan. Ditanggalkan
dari segala gelar dan gengsi.
Hari-harinya
menjadi kosong. Sunyi. Ia bukan hanya kehilangan pekerjaan, tapi juga
kehilangan alasan untuk bangun di pagi hari. Ia menjauh dari teman, dari
keluarga. Lalu pada suatu malam yang hening, ketika tak ada lagi harapan yang
bisa dipegang, ia menyalakan lilin aroma terapi, mengisi bathtub dengan air
hangat, dan bersiap menjalani “ritual” terakhirnya.
Namun justru di
saat ia merasa benar-benar sendiri, bel pintu rumahnya berbunyi. Berkali-kali.
Dengan sisa
tenaga dan setengah enggan, ia membuka pintu. Ternyata seorang teman lama
berdiri di sana, terengah dan menggenggam dokumen di tangannya.
“Aku baru
ingat,” katanya dengan mata berbinar. “Beberapa tahun lalu kamu pernah menanam
modal kecil di bisnis start-up ku, ingat? Bisnisku berkembang. Dan sekarang
kita baru dapat investor besar. Sahammu sekarang nilainya berkali-lipat. Ini
laporan dan undangan untuk bergabung di dewan direksi.”
Ia terpaku. Air
mata yang tadinya karena putus asa, kini mengalir karena sesuatu yang belum ia
rasakan lama: harapan.
Hari itu
segalanya berubah. Bukan karena uang semata, tapi karena ia tahu: ternyata
Tuhan tidak meninggalkannya. Ia hanya menundanya. Ia menyembunyikan hadiah di
balik proses yang menyakitkan.
Kini, ia bekerja
bukan hanya untuk sukses, tapi untuk hidup dengan hati yang lebih dalam, lebih
peka, lebih bijak. Ia tahu, di titik terendah hidup, ternyata Tuhan sedang
menyiapkan kejutan terbaik.
Karena kadang, saat hidup terasa gelap dan tak ada satu pun cahaya, bukan berarti itu akhir dari cerita. Bisa jadi, itu hanya jeda—sebelum keajaiban datang dengan cara yang paling tak terduga. Maka, jika kamu pernah merasa seperti itu, ingatlah: Tuhan tak pernah benar-benar jauh.[]