Merasa Cukup dan Belajar Menerima Diri Sendiri

 

Oleh: Siti Hajar

Kadang, perjalanan hidup terasa berat bukan karena dunia yang kejam, tapi karena suara kecil dalam diri kita yang terus bertanya, “Apakah aku sudah cukup?” Di tengah tuntutan dan perbandingan yang tak henti, kita sering lupa bahwa rasa cukup itu bukan soal pencapaian atau kesempurnaan. Merasa cukup berarti menerima siapa kita hari ini — dengan segala kelebihan dan kekurangan.

Artikel ini mengajak kita untuk menengok lebih dalam, mengurai rasa takut, dan menemukan kedamaian dalam menerima diri sendiri. Karena di situlah kekuatan sejati dimulai.

Seringkali  aku merasa lelah dengan apa yang telah kulewati. Hidupku terasa biasa saja, seakan tidak bertumbuh, tidak ada pencapaian, dan sama sekali tidak ada prestasi. Aku sangat setuju dengan kalimat bijak bahwa sama sekali tidak penting membandingkan hidup kita dengan yang lain. Semua sudah ada porsinya masing-masing.

Time line kita berbeda, right? Namun, aku pikir satu hal saat ini. Aku berada di titik ini, dengan penuh ketenangan, kedamaian yang hanya aku dan diriku sendiri yang paham. Aku telah mengalami banyak kegundahan, kegalauan, keputus-asaan. Alhamdulillah aku mampu melewati semuanya. Hari ini aku merasa baik-baik saja, dengan segala kekurangan yang kumiliki.

Sangat sering aku mendengar suara kecil dalam diri yang berkata, "I'm not enough..."—aku tidak cukup pintar, tidak cukup kuat, tidak cukup baik, tidak cukup berani. Suara itu kadang menggelayuti, merayu untuk menyerah, atau menyembunyikan diri agar tidak terluka lebih dalam.

Namun, aku sadar bahwa suara itu bukanlah kebenaran mutlak. Ia hanyalah gema dari rasa takut dan luka lama yang diam-diam mengendap. Banyak dari kita yang hidup di antara kata-kata “tidak cukup” itu. Kita takut menjadi diri sendiri karena bayangan bahwa diri kita tak akan diterima, tak akan cukup bagi dunia luar.

Kita belajar menyamarkan diri, menutup rapat luka, agar tidak terlihat lemah. Tapi di balik semua itu, ada satu kenyataan yang tak bisa kita abaikan: ketakutan untuk menjadi diri sendiri seringkali menjadi akar dari kelelahan mental, kecemasan, bahkan kesepian yang mendalam.

Ada yang tumbuh dengan percaya diri yang tegak, dan ada yang berubah ke arah yang lebih baik walau dengan bisik-bisik ragu yang tak henti mengganggu. Kita bisa menyaksikan orang-orang di sekitar kita membawa tubuhnya ke banyak tempat, tapi tidak pernah benar-benar sampai ke dirinya sendiri.

Mereka terlihat menjalani hidup, tapi seringkali dengan rasa gamang: “Apa aku cukup?” Kalimat ini terdengar sederhana, tapi di dalamnya ada luka yang dalam, warisan dari harapan-harapan yang tak pernah sepenuhnya menjadi milik kita.

Rasa tidak cukup itu datang dalam banyak bentuk. Ada yang merasa tidak cukup pintar sehingga tak pernah mengangkat tangan di kelas atau forum. Ada yang merasa tak cukup cantik, tak cukup kaya, tak cukup tenang, tak cukup sukses, tak cukup tahu cara bersosialisasi, tak cukup berani, tak cukup punya relasi, atau bahkan tak cukup layak dicintai.

Dan anehnya, semua itu bisa bersemayam di tubuh orang yang justru paling sering dipuji. Kita kadang tak tahu bahwa seseorang yang tampak percaya diri di luar, menyimpan perasaan kecil dan tak berarti di dalam. Karena "tidak cukup" itu sering kali bukan soal kenyataan, tapi soal narasi yang lama didengungkan — dari rumah, dari sekolah, dari media, dari lingkungan, bahkan dari diri sendiri.

Banyak orang takut menjadi dirinya sendiri bukan karena mereka tak tahu siapa dirinya, tapi karena mereka pernah menunjukkan sepotong diri dan ditertawakan. Mereka pernah jujur lalu disalahpahami. Pernah mengungkapkan mimpi lalu dianggap lucu.

Ada juga yang pernah menunjukkan luka lalu dianggap lemah. Maka dari itu, mereka belajar menyembunyikan apa yang paling jujur. Mereka belajar bahwa menjadi diri sendiri adalah risiko. Risiko untuk ditolak, untuk tidak disukai, untuk dianggap berbeda. Dan kita tahu, dalam masyarakat yang gemar menyeragamkan, menjadi berbeda itu bisa terasa sangat menakutkan.

Ada yang tidak banyak dibicarakan adalah bagaimana rasa “tidak cukup” ini sering kali menjadi akar dari banyak gangguan mental. Perasaan rendah diri yang terus dipelihara bisa menjelma menjadi kecemasan akut. Rasa malu yang berkepanjangan bisa berubah menjadi depresi.

Ketakutan untuk gagal membuat seseorang menghindari tantangan, lalu membenci dirinya sendiri karena merasa mandek. Kita hidup dalam zaman yang membanggakan pencapaian dan kecepatan, tapi tak menyediakan ruang yang cukup untuk kegagalan dan pelan-pelan. Tak heran jika banyak orang merasa kehilangan arah. Mereka merasa aneh hanya karena tak mampu mengikuti ritme yang dipaksakan dunia.

Namun barangkali yang paling menyedihkan adalah ketika seseorang terus merasa tidak cukup, bahkan setelah ia bekerja sekeras mungkin. Ia sudah berusaha, tapi tetap merasa kurang. Ia sudah memperbaiki banyak hal, tapi masih merasa ada yang salah. Itu karena masalahnya bukan lagi pada prestasi atau kemampuan, tapi pada luka lama yang belum disembuhkan. Perasaan tidak cukup itu tinggal di tempat terdalam, di ruang yang tak bisa dijangkau hanya dengan motivasi sesaat.

Dalam kondisi seperti ini, penting bagi kita untuk memeluk diri kita sendiri lebih erat dari sebelumnya. Untuk menyadari bahwa menjadi cukup bukan soal menyamai orang lain, melainkan tentang menerima bahwa siapa pun kita hari ini adalah bagian dari perjalanan.

Menjadi cukup bukan soal sempurna, tapi soal jujur dan terus bertumbuh. Kita bisa kecewa pada diri sendiri tanpa kehilangan kasih. Kita bisa ingin berubah tanpa harus membenci yang sekarang.

Menjadi diri sendiri memang tidak selalu nyaman. Tapi itu satu-satunya cara untuk hidup yang utuh. Sebab hidup yang terlalu sibuk menyenangkan orang lain hanya akan membuat kita kehilangan diri sendiri. Kita menjadi aktor dalam panggung yang tak kita pilih, mengucapkan dialog yang bukan dari hati, memainkan peran agar tetap diterima. Lalu di malam hari, kita lelah dan tak tahu mengapa, karena ternyata jadi orang lain itu menguras segalanya.

Maka jika hari ini kamu merasa tak cukup, aku ingin kamu tahu bahwa kamu tidak sendirian. Kita semua pernah ada di titik itu. Tapi kita juga bisa belajar, pelan-pelan, untuk mempercayai diri kita lagi. Kita bisa mulai dengan langkah kecil: mengenali luka, memeluk yang tak selesai, memberi ruang bagi kegagalan, dan memperlakukan diri sendiri seperti sahabat terdekat yang sedang patah hati.

Menjadi cukup tidak selalu berarti kita harus membuktikan sesuatu. Kadang cukup berarti kita hadir. Kita mencoba. Kita jujur. Kita bertahan. Dan itu sudah lebih dari cukup.[]

Lebih baru Lebih lama