Oleh: Siti Hajar
Ada satu emosi
yang kerap kita sembunyikan demi menjaga suasana, hubungan, atau harga diri: amarah.
Kita menahannya dalam diam, menggertak diri sendiri agar “tetap kuat”, seolah
diam adalah jawaban atas semua konflik. Tapi benarkah demikian? Apa yang
sebenarnya terjadi saat kita memilih menahan marah?
Bahaya
Menahan Amarah dalam Diam
Secara fisik,
menahan amarah bisa berdampak buruk pada tubuh. Emosi yang tidak diekspresikan
atau dikelola dengan sehat akan menumpuk sebagai stres kronis, yang
memengaruhi sistem saraf, kekebalan tubuh, dan bahkan organ vital.
Dalam dunia
psikosomatik, amarah yang terpendam dikaitkan dengan masalah seperti tekanan
darah tinggi, gangguan pencernaan, hingga penyakit ginjal dan jantung. Sebuah
studi bahkan menunjukkan bahwa emosi negatif yang tertahan berkontribusi pada
peradangan organ internal karena tubuh memproduksi hormon stres (kortisol)
secara terus-menerus.
Namun bukan
berarti kita harus meluapkan amarah tanpa kendali. Kuncinya bukan pada
“meledak” atau “menahan”, melainkan mengelola. Islam tidak melarang
marah. Justru marah bisa menjadi tanda bahwa ada sesuatu yang tidak beres—bahwa
kita sedang dilanggar, dikecewakan, atau tidak dihargai. Yang penting adalah apa
yang kita lakukan dengan emosi itu.
8 Cara Bijak
Mengelola Amarah
Berikut adalah
langkah-langkah mengelola amarah secara sehat dan terhormat, yang berpijak pada
psikologi modern dan dibimbing oleh ajaran Islam:
1. Sadari
Emosi dan Tarik Napas
Tubuh selalu
lebih dulu tahu sebelum pikiran menyadari. Detak jantung yang cepat, dada yang
sesak, dan napas yang memburu adalah tanda-tanda bahwa amarah sedang datang.
Dalam Islam, ini momen untuk berhenti sejenak dan mengambil wudhu.
Rasulullah SAW
bersabda: “Sesungguhnya marah itu dari setan, dan setan itu diciptakan dari
api. Api dapat dipadamkan dengan air. Maka jika salah seorang dari kalian
marah, hendaklah ia berwudhu.” (HR. Abu Dawud)
Menarik napas
dalam dan perlahan seperti teknik 4-7-8 adalah upaya spiritual dan biologis
untuk menenangkan sistem saraf.
2. Tunda
Respons, Jangan Langsung Reaksi
Amarah menggoda
kita untuk bereaksi spontan. Tapi Islam mengajarkan sebaliknya: diam.
“Jika salah
seorang dari kalian marah, maka diamlah.” (HR. Ahmad)
Menunda bukan
berarti mengabaikan. Ini soal memberi ruang bagi logika dan iman untuk bicara.
Bisa jadi kita tak sedang benar-benar marah pada orang lain, tapi sedang lelah,
lapar, atau sedang menghadapi luka lama yang belum sembuh.
3. Tuliskan
dalam Jurnal: Wadah Emosi yang Aman
Menulis adalah
bentuk muhasabah, sebuah refleksi diri yang diperintahkan dalam Islam.
Ketika kamu duduk dengan kertas kosong dan menulis:
“Hari ini aku
marah karena merasa tidak dihargai…”
…kamu sedang
memberi ruang bagi hatimu untuk bicara tanpa takut dihakimi.
Ali bin Abi
Thalib pernah berkata:
“Orang yang
tidak melakukan muhasabah setiap hari, maka ia bukan dari golongan kami.”
Dengan menulis,
kita membuka pintu menuju penyembuhan, bukan hanya pelampiasan.
4. Berdoa dan
Menenangkan Diri di Hadapan Allah
Marah
mengaburkan pandangan. Tapi saat kita duduk sendiri, berdoa dalam lirih,
sesuatu mulai berubah.
Doa Nabi saat
marah: “A’udzu billahi minasy-syaithanir-rajiim.” (HR. Bukhari dan
Muslim)
Shalat dua
rakaat, mengambil wudhu, atau cukup berzikir “Ya Allah, tenangkan aku” bisa
memutus siklus amarah. Karena pada akhirnya, tidak ada tempat pulang yang lebih
teduh selain pangkuan-Nya.
Kenali Akar
Emosinya, Bukan Hanya Permukaannya
Amarah bukanlah
emosi tunggal. Ia sering menyamar. Di balik marah, ada rasa sakit, kecewa,
ketakutan, atau luka batin lama. Kita marah karena merasa ditinggalkan,
diremehkan, atau tidak aman.
Islam
mengajarkan untuk mengenali penyakit hati, seperti riya’, ujub, takabur, atau
cinta dunia berlebihan. Saat kita menyelami akar amarah, kita sedang berjalan
dalam jalur tazkiyatun nafs—penyucian jiwa.
6. Bicara
dengan Adab: Irit Tapi Tegas
Mengungkapkan
emosi adalah hak kita. Tapi dalam Islam, itu harus dibingkai dalam adab.
Allah berfirman:
“Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku agar mereka mengucapkan perkataan yang
lebih baik.” (QS. Al-Isra: 53)
Cobalah kalimat
seperti:
- “Aku merasa kecewa saat kamu…”
- “Aku butuh waktu sejenak sebelum membahas ini.”
Bicara dengan
tenang bukan berarti lemah, tapi tanda bahwa iman dan akal telah mengambil alih
kendali.
7. Salurkan
Energi Amarah Secara Positif
Amarah adalah
energi. Bila disimpan, ia bisa menjadi racun. Tapi jika disalurkan, ia bisa
menjadi kekuatan. Nabi SAW memberi panduan fisik:
“Jika salah
seorang dari kalian marah saat berdiri, hendaklah ia duduk. Jika masih marah,
hendaklah ia berbaring.” (HR. Abu Dawud)
Kita bisa
memperluasnya ke aktivitas seperti berjalan kaki, membersihkan rumah, menulis
puisi, berkebun, atau mencuci piring dengan dzikir. Semua bisa jadi bentuk
ibadah jika diniatkan untuk menenangkan hati dan menghindari dosa lisan.
8. Latihan
Harian: Syukur dan Zikir sebagai Penenang Jiwa
Mengelola amarah
bukan soal satu kali praktik, tapi latihan batin yang terus-menerus.
Nabi SAW
bersabda: “Orang yang kuat bukanlah yang menang bergulat, tapi yang mampu
menahan diri saat marah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Biasakan menulis
tiga hal yang disyukuri setiap hari. Atau cukup duduk di subuh hari sambil
berzikir “Laa hawla wa laa quwwata illa billah.”
Dengan ini, hati
kita tidak lagi reaktif, tapi reflektif.
Marah Itu
Fitrah, Mengelolanya Adalah Jalan Lurus
Islam tidak
menyuruh kita menjadi robot tanpa emosi. Tapi Islam mengajarkan kita untuk menghadapi
emosi dengan kesadaran dan kebijaksanaan, bukan menekannya atau meledakkannya.
Setiap kali kamu
berhasil menahan marah—bukan karena takut, tapi karena iman—itu adalah jihad
batin yang sangat dimuliakan. Dan setiap tetes sabar itu tidak pernah sia-sia.
“Barang siapa
menahan amarah padahal ia mampu melampiaskannya, Allah akan memanggilnya di
hadapan seluruh makhluk pada hari kiamat dan memberinya pilihan bidadari mana
yang ia kehendaki.” (HR. Abu Dawud,
Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
Semoga Allah
menjadikan kita termasuk orang-orang yang kuat bukan karena tinju dan suara
keras, tetapi karena kelembutan hati yang menahan diri demi kebaikan dunia dan
akhirat. []