Oleh: Siti Hajar
Hari-hari
menjelang Idul Adha selalu mengajak kita kembali menengok kisah-kisah agung
yang menjadi pondasi ibadah qurban. Tapi sejatinya, qurban bukan sekadar
menyembelih hewan. Ia adalah tentang menyembelih ego, melepas keterikatan, dan
menyerahkan yang paling berharga kepada Allah dengan penuh keikhlasan.
Dalam kisah Nabi
Ibrahim dan putranya, Ismail, kita belajar tentang kepatuhan yang tak tersisa.
Bayangkan, seorang ayah yang menanti anak selama bertahun-tahun justru diminta
Allah untuk mengorbankannya. Dan bayangkan seorang anak muda, Ismail, yang menerima
keputusan itu dengan penuh ketundukan:
“Wahai
Ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Insya Allah engkau akan
mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (QS. Ash-Shaffat: 102)
Tapi Allah bukan
Tuhan yang kejam. Di balik perintah berat itu, ada pelajaran yang jauh lebih
besar: jika kita ikhlas memberi yang paling berharga karena Allah, maka Allah
akan menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik dan abadi. Ismail tidak
jadi disembelih. Allah menggantinya dengan seekor domba. Dan sejak itu, setiap
tahun, umat Islam di seluruh dunia memperingatinya dengan menyembelih hewan
qurban sebagai simbol ketaatan dan cinta kepada Tuhan.
Namun makna
qurban tak berhenti di situ.
Mari kita
menengok langkah-langkah penuh keyakinan seorang perempuan, Siti Hajar, yang
ditinggal di padang pasir bersama bayi kecilnya, Ismail. Di tengah kesunyian
dan kegersangan Makkah, ia berlari kecil antara dua bukit—Shafa dan Marwa—tujuh
kali. Bukan karena tradisi, bukan karena olahraga. Tapi karena haus, karena
cinta, karena harapan.
Dari kegigihan
itu, Allah menghadirkan keajaiban. Dari hentakan kaki bayi Ismail, memancarlah
air dari tanah yang kering. Air zam-zam. Air yang tak pernah kering, walau
jutaan manusia mengambil darinya setiap tahun. Seolah Allah berkata,
“Jika engkau
terus berlari kepada-Ku, engkau tak akan pernah kehabisan rahmat.”
Berqurban:
Saat Jiwa Kita Melangkah Seperti Ibrahim dan Berlari Seperti Hajar
Qurban bukan
sekadar ritual. Ia adalah bentuk perjalanan jiwa.
Seperti Nabi
Ibrahim yang siap menyerahkan anaknya, kita pun diminta untuk menyerahkan
sebagian dari yang kita cintai. Entah itu harta, waktu, kenyamanan, atau
keinginan pribadi. Dan seperti Siti Hajar yang terus berlari tanpa tahu jawaban
di mana, qurban juga adalah ketekunan dalam ibadah, sabar dalam menunggu, dan
percaya bahwa Allah melihat setiap langkah kecil kita.
Maka ketika
seseorang berqurban, ia sedang mengatakan kepada Allah,
“Ya Rabb, ini
sebagian dari hartaku. Tapi lebih dari itu, ini adalah bukti bahwa Engkau lebih
aku cintai daripada dunia dan isinya.”
Dan Allah tidak
membiarkan cinta hamba-Nya berbalas kosong. Dalam Al-Qur’an (QS. Al-Hajj: 37),
Allah menegaskan:
“Daging-daging
unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah,
tetapi ketakwaan dari kalian-lah yang dapat mencapainya...”
Allah menerima niat,
ketulusan, dan ketakwaan—bukan semata daging atau jumlahnya. Dan seperti air
zam-zam yang mengalir tanpa henti, keberkahan qurban pun akan mengalir dalam
hidup orang yang memberinya. Barangkali tak selalu berupa balasan materi. Tapi
dalam bentuk kelapangan hati, terkabulnya doa, dibukanya jalan-jalan rezeki,
dan keberkahan yang tak terlihat namun nyata terasa.
Mengapa Kita
Berqurban?
Karena kita
ingin meneladani Ibrahim, yang rela mengorbankan cinta dunia demi cinta Ilahi.
Karena kita ingin meneladani Hajar, yang tidak berhenti berlari, karena yakin
pertolongan Allah pasti datang. Karena kita ingin mengatakan:
“Ya Allah,
aku percaya bahwa setiap yang aku serahkan di jalan-Mu, tak akan pernah
sia-sia.
Qurban Bukan
tentang Daging, Tapi tentang Hati
Pada akhirnya,
qurban adalah tentang jiwa yang rela berkorban, bukan hanya tentang hewan yang
disembelih. Qurban adalah tentang iman yang terus mencari ridha Allah, seperti
Siti Hajar yang tak pernah berhenti berlari. Dan qurban adalah tentang keikhlasan
melepas sesuatu yang kita cintai, seperti Ibrahim melepas Ismail.
Bagi yang hendak berqurban tahun ini, jangan ragu. Lakukanlah dengan sepenuh cinta, dan yakinlah bahwa Allah tidak pernah menyia-nyiakan hamba yang menyerahkan harta terbaiknya di jalan-Nya. Sebab, dari tanah yang kering pun, Allah bisa mengalirkan air yang tak pernah habis. Dan dari pengorbanan yang ikhlas, Allah bisa melimpahkan berkah yang tak pernah terputus kepada kita hambaNya dan seluruh makhluk ciptaanNya. []