Oleh: Siti Hajar
Pernahkah kamu
membayangkan, di masa lalu, bahwa suatu hari tukang bangunan bisa menghitung
kebutuhan keramik hanya dengan memasukkan ukuran bidang ke sebuah aplikasi?
Atau bahwa seorang mahasiswa bisa menyusun makalah lengkap dalam waktu singkat
hanya dengan bantuan chatbot pintar? Atau bahkan, operasi rumit di ruang bedah
bisa dilakukan dengan bantuan tangan-tangan robot presisi tinggi yang
dikendalikan oleh sistem cerdas?
Itu bukan masa
depan. Itu adalah hari ini.
Artificial
Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan bukan lagi sekadar istilah asing dalam
buku teknologi. Ia telah menyelinap masuk ke dalam gaya hidup kita: dari cara
kita belajar, bekerja, berkomunikasi, hingga merawat kesehatan. Kita hidup di
zaman di mana mesin tidak hanya bisa berpikir, tapi juga belajar, menganalisis,
bahkan mengambil keputusan—tentu saja berdasarkan data.
Mari kita tengok
lebih dekat.
AI, dari
Ruang Tamu hingga Ruang Bedah
Di rumah, kita
mulai terbiasa memanggil asisten virtual: “Hei Google, putar lagu pengantar
tidur,” atau “Alexa, nyalakan lampu dapur.” Di ruang kelas, siswa tak lagi
hanya mengandalkan buku dan guru, tapi juga ChatGPT, YouTube AI-based
tutorials, hingga aplikasi belajar adaptif yang menyesuaikan pelajaran dengan
kemampuan tiap individu.
Di lapangan
kerja, AI hadir bukan hanya dalam wujud mesin-mesin pabrik, tapi juga dalam
bentuk algoritma pintar yang membantu mendesain interior, mengatur stok barang,
memprediksi cuaca, bahkan mengelola keuangan pribadi. Seorang tukang bangunan
yang dahulu harus mengira-ngira jumlah bahan bangunan, kini bisa memasukkan
ukuran bidang ke dalam aplikasi, dan sistem AI akan menghitungkan jumlah
keramik atau cat yang dibutuhkan—cepat dan tepat.
Di rumah sakit,
AI tak sekadar membaca hasil rontgen, tapi juga mulai membantu mendiagnosis
penyakit dengan akurasi yang menyaingi dokter spesialis. Bahkan dalam beberapa
kasus, robot berbasis AI sudah ikut serta dalam ruang bedah. Sementara itu, di
bidang psikologi, chatbot berbasis AI mulai diuji untuk menjadi teman curhat
bagi mereka yang mengalami kecemasan ringan atau butuh respons cepat saat
krisis.
AI dan
Keseharian Kita
Kekhawatiran pun
muncul: “Apakah AI akan menggantikan manusia?” Jawabannya bukan sekadar ya atau
tidak. Yang pasti, AI mengubah cara kita bekerja dan hidup. Tapi
alih-alih memandangnya sebagai ancaman, kita bisa melihatnya sebagai peluang.
AI bisa
menggantikan yang berulang, tapi tidak bisa menggantikan yang bermakna.
Ia bisa memproses data dalam sekejap, tapi tak bisa memahami makna sebuah
pelukan, kata-kata penyemangat, atau keindahan dari puisi yang ditulis dari
hati. Inilah ruang yang hanya bisa diisi oleh manusia.
Belajar Bijak
di Tengah Gelombang Teknologi
Maka, di era
digital ini, manusia dituntut untuk tidak hanya jadi pengguna teknologi,
tapi juga menjadi pengendali. Jangan hanya jadi konsumen AI, tapi pahami cara
kerjanya, manfaatnya, dan juga batasnya. Literasi digital bukan lagi pilihan,
tapi kebutuhan.
Artinya, kita
harus terus belajar—tidak hanya belajar teknologi, tapi juga belajar menjadi
manusia seutuhnya. Mengasah empati, etika, kreativitas, dan nilai-nilai yang
tak bisa diprogram oleh mesin.
Kita Tak
Boleh Kalah
Teknologi akan
terus melaju, mungkin jauh lebih cepat dari yang bisa kita kejar. Tapi bukan
berarti kita harus menyerah. Justru di sinilah tantangannya, bagaimana
manusia bisa bertumbuh sejajar dengan teknologi yang diciptakannya sendiri.
"Kalah berarti punah"
Kita butuh semangat, “Kalau mesin bisa belajar, kenapa manusia tidak?” Kita harus lebih giat
menggali potensi diri, lebih berani beradaptasi, dan lebih bijak menggunakan
teknologi sebagai alat bantu—bukan sebagai pengganti jati diri.
Jangan kalah dengan kecanggihan AI, karena kita punya hati. []