Stres Akar dari Banyak Masalah Kesehatan

Oleh: Siti Hajar

Kita sering mendengar nasihat sederhana, “jangan stres, nanti sakit.” Mungkin terdengar klise, bahkan dianggap sebagai basa-basi penghibur. Namun, semakin banyak bukti ilmiah menunjukkan bahwa kalimat itu bukan sekadar ungkapan kosong. Ia adalah peringatan halus tentang sebuah kenyataan yang serius—bahwa stres bukan hanya persoalan emosional, tapi akar yang perlahan menumbuhkan berbagai penyakit dalam tubuh.

Saat kita berada dalam tekanan—baik karena pekerjaan yang menumpuk, konflik pribadi, kehilangan orang tercinta, atau rasa terasing dalam kesepian—otak kita merespons seolah-olah sedang berada dalam situasi darurat. Sistem saraf simpatik langsung aktif, dan hormon stres seperti kortisol serta adrenalin dilepaskan. Reaksi ini sebenarnya normal dan bermanfaat jika berlangsung singkat.

Tubuh menjadi lebih waspada dan siaga untuk bertahan. Namun, jika keadaan ini berlangsung terus-menerus tanpa jeda, tubuh seperti hidup dalam mode siaga yang tak pernah padam. Inilah yang menggerogoti kesehatan kita secara perlahan.

Ketika tubuh terus-menerus menerima sinyal bahaya, sistem-sistem penting dalam tubuh menjadi kelelahan. Kortisol yang tinggi dalam jangka panjang dapat meningkatkan tekanan darah, mengacaukan kadar gula darah, dan memicu peradangan kronis.

Organ-organ yang sebelumnya bekerja dengan ritme alami kini terpaksa mengikuti irama kecemasan yang tidak kunjung reda. Jantung, misalnya, tidak hanya berdetak untuk memompa darah, tetapi juga ikut berdegup kencang menanggapi gelombang stres yang tak terlihat. Tekanan darah meningkat, ritme jantung menjadi tak stabil, dan risiko penyakit jantung koroner ikut membayangi.

Otak pun tidak luput dari dampaknya. Stres kronis dapat merusak hippocampus, bagian otak yang bertanggung jawab terhadap memori dan pembelajaran. Tak heran jika seseorang yang sedang stres berat sering mengeluh pelupa, sulit fokus, bahkan merasa pikirannya hampa.

Sistem pencernaan yang sensitif terhadap perubahan emosi juga merespons tekanan ini. Mual, perut kembung, sakit ulu hati, atau diare, kerap muncul tanpa penyebab fisik yang jelas—semuanya adalah manifestasi dari ketegangan dalam pikiran yang mencari jalan keluar melalui tubuh.

Tak hanya itu, sistem imun yang seharusnya menjadi pelindung utama dari berbagai penyakit justru ikut melemah. Dalam keadaan stres yang berkepanjangan, tubuh menjadi lebih rentan terhadap infeksi, luka menjadi lebih lama sembuh, dan bahkan risiko penyakit autoimun pun meningkat. Metabolisme tubuh pun ikut berubah.

Banyak orang yang mengalami stres tanpa sadar mulai mengonsumsi makanan tinggi gula atau lemak sebagai pelarian emosional. Bersamaan dengan itu, kortisol memperlambat metabolisme dan mendorong penimbunan lemak, sehingga berat badan naik dan risiko diabetes pun meningkat.

Salah satu organ yang sangat terpengaruh namun sering terlupakan adalah ginjal. Ketika stres menyebabkan lonjakan tekanan darah dan kadar gula, ginjal pun menerima beban tambahan. Laju filtrasi ginjal dapat menurun, dan mikrokerusakan yang terjadi berulang kali bisa mengarah pada penurunan fungsi ginjal dalam jangka panjang. Sering kali ini berlangsung dalam diam, tanpa gejala yang jelas, hingga tiba-tiba seseorang divonis menderita gangguan ginjal.

Namun, di balik semua gejala fisik yang tampak, ada luka yang tak kalah menyakitkan: luka dalam kesehatan mental. Stres yang terus dipendam bisa membuka pintu bagi depresi, kecemasan berlebih, dan kelelahan emosional yang membuat seseorang merasa mati rasa.

Dunia terasa hampa, hal-hal yang dulu menyenangkan tidak lagi menumbuhkan gairah. Hubungan menjadi renggang, semangat kerja hilang, dan seseorang mulai meragukan nilai dirinya sendiri. Ini bukan kelemahan; ini adalah sinyal dari tubuh dan jiwa yang memohon untuk didengarkan.

Tentu saja, kita tidak bisa menghapus stres dari kehidupan. Tekanan akan selalu datang dalam berbagai bentuk. Tapi tubuh dan pikiran kita butuh ruang untuk bernapas, untuk memulihkan diri. Mengelola stres bukan berarti menolak semua kesulitan, melainkan belajar menyambutnya dengan cara yang lebih sehat. Kita bisa mulai dari hal-hal sederhana: tidur cukup setiap malam, makan dengan teratur bukan hanya ketika lapar atau saat sudah terlalu kenyang, dan membiasakan diri berjalan kaki di pagi hari untuk menyapa matahari. Menulis jurnal, berbicara dari hati dengan orang yang dipercaya, atau menyepi dalam doa yang khusyuk juga bisa menjadi cara untuk merawat luka batin.

Bahkan mengatur napas dengan pelan dan sadar bisa memberi kelegaan di tengah kepanikan. Dan yang terpenting: tidak perlu malu untuk mencari bantuan. Psikolog, psikiater, atau dokter bukanlah hakim; mereka adalah sahabat dalam pemulihan.

Tubuh kita selalu berbicara. Kadang lewat kelelahan yang tak kunjung hilang, kadang lewat detak jantung yang tiba-tiba cepat, atau air mata yang tumpah tanpa sebab. Dengarkanlah. Jangan tunggu sampai suara tubuh berubah menjadi jeritan yang muncul dalam bentuk penyakit. Karena meskipun stres tak kasatmata, dampaknya sungguh nyata. Dan saat kita mulai memilih untuk peduli—pada tidur, napas, dan ketenangan pikiran—itulah awal dari penyembuhan.

Namun, ketahuilah—semua ini belum terlambat. Tak ada tubuh yang benar-benar lupa cara sembuh. Tak ada jiwa yang kehilangan arah sepenuhnya. Bahkan ketika kamu merasa sudah terlalu jauh terseret dalam kelelahan, ketegangan, dan ketakutan yang tak kau pahami, tubuhmu masih setia. Ia tidak menyerah, ia hanya menunggu disapa. Disentuh dengan kasih. Diberi izin untuk istirahat, untuk menangis, untuk bernapas perlahan tanpa harus menjawab dunia.

Mungkin selama ini kamu terlalu sibuk menjaga semua hal di luar dirimu, sampai lupa bahwa dirimu sendiri juga perlu dijaga. Tapi hari ini, saat membaca ini, mungkin adalah momen kecil yang dipilih semesta untuk mengingatkanmu—bahwa memilih pulih adalah keputusan paling berani. Bahwa merawat diri bukan tanda egois, melainkan bentuk tertinggi dari syukur dan tanggung jawab terhadap hidup yang telah Tuhan percayakan.

Jadi, pelan-pelan saja. Tarik napas dalam-dalam. Pegang dadamu, dan dengarkan degup itu—masih ada harapan di sana. Masih ada kesempatan untuk memulai kembali. Karena selama kamu masih hidup, selalu ada ruang untuk sembuh. Selalu ada jalan pulang menuju tubuh dan jiwamu yang tenang.[]

 

Lebih baru Lebih lama