Oleh: Siti Hajar
Aku mencoba mengenal diriku sendiri sebelum memahami siapa diriku. Yang aku tahu adalah seorang perempuan paruh baya. Sekali-kali aku mengira bahwa aku sudah tua. Tentu saja, karena usiaku saat ini 40++, artinya tidak lama lagi aku akan berkepala lima dan bisa saja tidak lama lagi meninggalkan dunia, meninggalkan kalian semua.Aku seorang perempuan, seorang istri, seorang
kakak bagi adik-adikku, dan tentu juga seorang adik bagi kakak-kakakku.
Selebihnya aku pernah sekolah dasar, sekolah
menengah, serta menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Selebihnya lagi, aku
adalah seorang tetangga, seorang karyawan di tempatku bekerja, dan semoga aku
juga teman yang baik bagi beberapa teman-temanku—yang karena berbagai alasan,
kami berteman.
Namun seperti halnya kamu, mungkin, aku belum
benar-benar paham siapa aku ini sesungguhnya. Sebagai hamba Allah, apakah aku
sudah melakukan kewajibanku sepenuhnya kepada Sang Pencipta? Bagaimana dengan
tanggung jawabku sebagai khalifah di muka bumi ini?
Kali ini, aku ingin mengajak kamu—ya, kamu yang
sedang membaca tulisan ini—dan siapa pun yang tersesat atau menemukan tulisanku
entah bagaimana caranya, untuk sama-sama menyelami satu hal yang sering kita
abaikan: mengenal diri sendiri. Mari kita mulai.
Mengenal Diri Itu Bukan Menghafal Biodata
Mengenal diri bukan soal bisa menjawab pertanyaan
di KTP atau CV. Bukan soal tahu apa pekerjaan kita, status pernikahan, atau
hobi di waktu luang. Tapi lebih dalam dari itu: bagaimana kita menyikapi
kegagalan, bagaimana kita menenangkan diri saat marah, apa yang membuat kita
bersyukur atau merasa hidup ini sia-sia?
Pernahkah kamu berhenti sejenak dan bertanya pada
dirimu sendiri: Sebenarnya aku ini siapa? Untuk apa aku hidup? Apa yang
membuatku berarti?
Pertanyaan-pertanyaan itu sulit dijawab dengan
cepat. Tapi di situlah letak pintunya. Pintu masuk menuju pemahaman yang lebih
utuh tentang siapa kita sebenarnya.
Mulai dari Mendengarkan Diri Sendiri
Terlalu lama kita sibuk mendengar suara orang
lain: tuntutan, ekspektasi, komentar, bahkan pujian. Tapi bagaimana dengan
suara hatimu sendiri?
Cobalah sediakan waktu untuk duduk dalam
keheningan. Tutup mata, rasakan napasmu. Apa yang kamu rasakan? Apa yang
diam-diam kamu pikirkan tapi tak pernah kamu beri tempat untuk didengar?
Tulislah. Walau hanya satu paragraf setiap malam.
Jadikan jurnal itu ruang aman untuk berdialog dengan diri sendiri. Lama-lama,
kamu akan terkejut dengan betapa banyaknya hal yang ingin disampaikan oleh
dirimu sendiri selama ini.
Berdamai dengan Masa Lalu, Memeluk Masa
Kini
Siapa kita hari ini adalah hasil dari segala yang
kita alami kemarin. Luka-luka kecil yang tak sempat kita rawat, seringkali
menjelma jadi ketakutan yang tak kita mengerti. Jika ingin mengenal diri,
jangan takut membuka lembar-lembar lama. Bukan untuk menyesali, tapi
untuk memahami dan memaafkan.
Sambil itu, jangan lupa memeluk masa kini. Lihat
dirimu hari ini: dengan segala pencapaian, keterbatasan, cinta, dan keraguan.
Semua itu adalah kamu. Dan itu baik-baik saja.
Kala kamu melakukan ini jika ingin menangis, maka
menangis lah. Kamu tidak sendiri, aku pun demikian. Mereka juga demikia. Kita
melakukan ini dengan hati dan teknik kita masing-masing.
Semua yang kita lalui hari ini karena takdir yang sudah
Allah tetapkan pada kita. Jangan menyesal terlalu dalam, karena kita kuat, karena
kita belajar dari apa yang telah kita lalui. Nikmat maupun ujian adalah cara
Allah untuk membuat kita selalu lulus dan naik tingkat. Aku dan kamu hebat
karena sudah berjuang. Kita tidak menyerah pada keadaan. Kita tetapi berjalan
dengan kepala tegak dan melangkah lurus ke depan. Semangat ya!
Apa Nilai yang Kamu Pegang?
Kadang kita tersesat bukan karena jalan yang
salah, tapi karena kita lupa apa yang sebenarnya penting bagi kita. Maka
tanyakan: Apa nilai hidup yang paling aku yakini? Bisa jadi itu
kejujuran, kasih sayang, kebebasan, atau tanggung jawab. Lalu lihat hidupmu
hari ini—sudahkah selaras dengan nilai-nilai itu?
Jika belum, tak perlu panik. Menyesuaikan arah
hidup bukan tanda gagal, tapi justru bukti bahwa kamu sedang tumbuh. Tidak ada
yang langsung baik, hebat, sempurna. Semua pernah gagal dankehilangan arah
hingga kita menemukan, oh ini ternyata rahasia Allah. Berliku dulu agar
mengambal hikmah dari perjalanan yang berliku itu.
Kita Tak Perlu Terburu-Buru
Kita tidak perlu menemukan semua jawaban hari ini.
Mengenal dan memahami diri bukan lomba cepat-cepatan. Ia adalah perjalanan yang
pelan, tapi pasti. Setiap hari adalah kesempatan baru untuk sedikit lebih
mengenal siapa dirimu, apa yang kamu cintai, apa yang kamu perjuangkan.
Di tengah hiruk-pikuk dunia ini, mari kita beri
hadiah kecil untuk diri sendiri: waktu dan keberanian untuk benar-benar
mengenal siapa kita.
Aku menulis ini sambil mengenali diriku. Kamu
membacanya mungkin sambil mencari dirimu. Semoga, dalam keheningan malam nanti,
atau saat sedang menyeduh teh sore hari, kamu bisa tersenyum kecil dan berkata,
“Aku memang belum sepenuhnya tahu siapa aku… tapi aku sedang menuju ke sana.”
Dan itu, teman, adalah awal yang sangat baik.
Dan pada akhirnya, mengenal diri bukan soal
menemukan jawaban-jawaban pasti, melainkan soal berani terus-menerus bertanya,
menyelami, dan menerima. Kita ini makhluk yang tak selesai dalam sekali lihat,
tak selesai dalam sekali hidup. Ada bagian-bagian dari diri kita yang terus
berubah, ada pula bagian yang diam-diam tetap, tapi tak pernah benar-benar kita
sadari keberadaannya.
Sering kali kita mencari validasi dari luar,
berharap orang lain bisa menegaskan siapa kita, memberi label yang menenangkan
hati. Tapi semakin jauh melangkah, semakin terasa bahwa satu-satunya suara yang
paling layak kita dengarkan adalah suara batin sendiri—yang lirih, yang sering
kita abaikan, tapi setia menunggu untuk diakui.
Mengenal diri adalah tentang pulang. Bukan ke
rumah yang berbatu bata, tapi ke ruang batin yang lama kita tinggalkan. Di
sana, ada kesedihan yang tak sempat kita urai, harapan-harapan kecil yang
nyaris padam, juga kekuatan yang terpendam dan menunggu kita sadari. Di sanalah
kita bisa memeluk sisi-sisi rapuh kita tanpa malu, menepuk bahu sendiri dan
berkata, “Aku menerima diriku—dengan semua luka dan cintanya.”
Jika hari ini kamu merasa tak tahu siapa dirimu,
tak apa. Jika besok kamu merasa kehilangan arah lagi, juga tak mengapa. Karena
perjalanan ini bukan soal tiba, tapi soal terus bergerak, terus menepi, lalu
kembali lagi ke tengah samudra hidup, dengan kesadaran yang sedikit lebih utuh.
Dan siapa tahu, di ujung yang jauh sana, kita akan
tersenyum, dan berkata, "Ternyata aku selalu cukup. Aku
hanya lupa mengenalnya.
Maafkan, wahai diri. Aku dan juga kamu bisa lebih
baik dari ini. Jangan menyerah ya! []