Oleh: Siti Hajar
Pernahkah kamu
menyesali sebuah kata yang terlanjur terucap? Kata yang meluncur begitu saja di
tengah amarah, kecewa, atau saat egomu disentil. Kata yang akhirnya menjadi
seperti belati, tak hanya menusuk orang lain, tapi juga mencabik dirimu
sendiri.
Pepatah lama
bilang, "Mulutmu harimaumu." Dulu aku mengira ini hanya
peringatan biasa. Tapi hidup dan pengalaman membuktikan, kadang harimau yang
buas itu bukan di hutan, melainkan bersembunyi di balik lidah kita sendiri. Dan
sekali ia mengaum dalam bentuk kata-kata, kita tak bisa menariknya kembali.
Pepatah lama ini tak pernah lekang oleh Waktu.
Sama seperti
odol yang sudah keluar dari tube-nya. Tak peduli seberapa hati-hati kita
berusaha memasukkannya kembali, tetap saja tak akan bisa. Begitulah kata-kata:
ia meninggalkan jejak. Kadang jejaknya membekas, kadang justru jadi luka
permanen di hati seseorang.
Di Aceh, kami
mengenal istilah bahasa teumeunak—bahasa sumpah serapah, kata-kata kasar
yang biasanya keluar di tengah-tengah amarah, atau saat harga diri tersentil.
Kata-kata yang dilontarkan tanpa pikir panjang, hanya karena ingin menumpahkan
sakit hati, atau membuktikan siapa yang lebih kuat. Tapi anehnya, setelah itu
pun tak selalu lega. Yang ada justru rasa bersalah, sesal, dan hubungan yang
mungkin tak lagi bisa diperbaiki.
Islam pun
mengajarkan agar kita menjaga lisan. Rasulullah ﷺ bersabda:
"Barang
siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata baik
atau diam."
(HR. Bukhari dan Muslim)
Diam, dalam
banyak keadaan, bukan tanda lemah. Justru itu bentuk kekuatan tertinggi. Diam
memberi ruang bagi hati untuk merenung, bagi pikiran untuk tenang, dan bagi
jiwa untuk kembali waras. Dalam diam, kita menyusun kata-kata lebih hati-hati.
Dalam diam, kita menahan lidah agar tak menjadi pisau bagi orang lain.
Karena
sejatinya, kata-kata adalah tanggung jawab. Setiap huruf yang keluar, akan
dimintai pertanggungjawaban. Allah mengingatkan:
"Tiada
suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas
yang selalu siap (mencatat). "(QS. Qaf: 18)
Maka jika ada
satu adab yang paling layak kita jaga dalam hidup, mungkin itu adalah adab
berbicara. Sebab luka dari ucapan sering kali lebih sulit sembuh dibanding luka
dari perbuatan. Dan sekali lisan berkhianat, reputasi, hubungan, bahkan hidup
bisa berubah selamanya.
Hari ini kita
melihat sendiri—betapa banyaknya para artis, tokoh publik, hingga pesohor yang
akhirnya harus meminta maaf di media sosial karena salah bicara. Kata-kata yang
semula dianggap enteng, ternyata menyulut amarah banyak orang. Kadang hanya
karena candaan yang tak pada tempatnya, atau opini yang tak sensitif, mereka
berhadapan dengan gelombang kritik, kecaman, bahkan tuntutan hukum.
Yang tersakiti
meminta keadilan. Maaf harus diumumkan secara publik. Dan mereka yang salah
ucap tak hanya menanggung rasa malu—tapi juga kehilangan kepercayaan. Malu
bukan lagi sebatas rasa, tapi bisa jadi aib yang beredar lama di jagat maya.
Sedih sudah pasti. Tapi nasi sudah menjadi bubur.
Keadaan seperti
ini harusnya tak terulang. Maka siapapun kita—baik orang biasa maupun tokoh
ternama—hati-hatilah dalam berucap. Niatnya bercanda, ternyata menjadi luka.
Niatnya main-main, tahu-tahu sampai ke hadapan hakim.
Aku mengenal
banyak orang yang memiliki ilmu yang dalam, tapi justru memilih diam. Mereka
bukan tak mampu berbicara, tapi memilih hanya menyampaikan saat diminta. Tak
sedikit dari mereka yang mengatakan: di situlah letak tingginya ilmu.
Karena semakin seseorang berilmu, semakin ia tahu bahwa tidak semua harus
dikomentari, tidak semua perlu ditanggapi.
Allah
menciptakan kita dengan satu mulut dan dua telinga—itu bukan tanpa alasan.
Seolah memberi isyarat, bahwa kita seharusnya dua kali lebih banyak mendengar
daripada berbicara. Bahwa diam itu bukan kekalahan, tapi kebijaksanaan. Bahwa
menahan diri untuk tidak bicara bisa jadi lebih berat—dan lebih mulia—daripada
meluapkan semuanya dalam satu tarikan emosi. Kemudian kita menyesalinya sampai
akhir hayat.
Disclaimer ya
teman-teman,
Tulisan ini bukan untuk menghakimi siapa pun. Ini adalah pengingat, pertama-tama untuk diriku sendiri, lalu bagi siapa saja yang sedang belajar menahan diri agar tidak kalah oleh lidahnya sendiri. Karena sejatinya, bukan hanya hati yang harus dijaga, tapi juga apa yang keluar dari mulut kita. Berhati-hatilah karena semua akan Allah minta pertanggunggungjawabannya di akhirat nanti. Wallahu’alam Bisshawab. []