Covid 19, Ingatan Tentang Dunia yang Nyaris Hening

 

Oleh: Siti Hajar

Pada Desember 2019, dunia pertama kali mendengar kabar tentang sebuah penyakit aneh dari Wuhan, Tiongkok. Virus itu belum bernama saat itu, hanya disebut sebagai "pneumonia misterius".

Tak butuh waktu lama, ia diberi nama resmi Coronavirus Disease 2019 atau disingkat COVID-19. Dalam hitungan minggu, virus ini menyebar lintas benua, menyeberangi lautan, dan menginfeksi dunia tanpa permisi.

Indonesia mengumumkan dua kasus pertama pada tanggal 2 Maret 2020. Setelah itu, hidup kita tak pernah sama. Jalanan menjadi sunyi, sekolah-sekolah ditutup, dan udara terasa asing—terlalu tenang untuk dunia yang biasanya bising.

Pemerintah menerapkan berbagai kebijakan darurat. Salah satu yang paling kontroversial adalah program vaksinasi massal yang diwajibkan, khususnya kepada kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN). ASN menjadi kelompok yang paling mudah “diatur”. Mereka memiliki Nomor Induk, status administratif, dan posisi dalam sistem yang membuat kontrol dan pengawasan lebih efisien. Banyak yang menilai bahwa kebijakan vaksinasi bagi ASN, yang dijalankan dengan pendekatan top-down, lebih mirip perintah daripada ajakan. Pilihan menjadi sempit—antara divaksin atau menerima sanksi.

Namun di luar kebijakan yang bisa diperdebatkan, yang tak bisa kita tolak adalah kenyataan bahwa masa itu menakutkan. Dunia seakan-akan dihentikan oleh tombol tak terlihat, dan kita, manusia modern yang terbiasa bergerak cepat, mendadak lumpuh.

Pernahkah kau berjalan di jalan raya yang kosong, di siang hari bolong, dan mendengar suara detak jantungmu sendiri lebih keras daripada deru kendaraan?

Aku pernah. Kita semua pernah. Dunia pernah. Dan kita tak boleh lupa.

Kita menyaksikan ambulans berlalu lalang bukan lagi sebagai pemandangan luar biasa, tapi sebagai pengingat bahwa kematian bisa datang kapan saja. Kita melihat orang-orang tercinta pergi tanpa pelukan terakhir. Bahkan tangisan pun dibatasi. Ada ibu yang harus berpamitan pada anaknya lewat layar video. Ada anak yang tak sempat mencium kening ayahnya sebelum tubuhnya dibungkus plastik.

Dan lebih dari itu—kita harus jujur—ada yang terasa keji dalam cara dunia memperlakukan lansia dan orang sakit.

Bayangkan, orangtua kita yang selama ini hanya batuk ringan saat kelelahan, tiba-tiba harus diswab karena protokol. Jika hasilnya positif, maka ia harus dirawat, diisolasi. Tanpa pendamping. Tanpa anak-anaknya. Padahal saat itu, yang paling dibutuhkan oleh mereka adalah ditemani. Disentuh tangannya. Ditemani ngobrol. Dikuatkan.

Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Mereka digiring masuk ke ruang isolasi seperti tersangka penyakit. Kita hanya bisa menatap dari balik layar. Menunggu kabar. Dan tiba-tiba, kabar itu datang, “Beliau telah berpulang.”

Tidak ada pelukan perpisahan. Tidak ada doa di telinga terakhir. Tidak ada penguburan yang layak dengan keluarga lengkap. Hanya peti tertutup dan kabar duka. Itu pun dari jauh.

Tidakkah itu sangat keji?

Kita tahu, saat itu, para tenaga kesehatan bekerja siang malam. Kita tahu, risiko penularan tinggi. Kita paham protokol. Tapi memahami tak sama dengan membenarkan. Protokol medis tanpa empati adalah kekejaman yang diam-diam. Dan luka itu masih tersimpan di dada banyak anak yang kehilangan ayah ibunya dalam kesendirian yang dingin.

Namun di tengah semua itu, manusia belajar. Kita menyadari bahwa ada kekuatan dalam diam, ada solidaritas dalam keterbatasan, dan ada pertanyaan besar tentang siapa yang benar-benar diuntungkan dalam krisis ini.

Kita tahu bahwa vaksin menyelamatkan banyak jiwa. Tapi kita juga berhak bertanya, siapa yang mengendalikan distribusinya? Siapa yang mengambil untung? Dan kenapa sebagian orang bisa menolak, sementara sebagian lain seperti tak diberi ruang untuk menimbang?

Hari ini, ketika masker mulai kita lepas dan suara tawa kembali terdengar di ruang-ruang publik, kita berada di ambang bahaya baru yaitu lupa kita seakan hilang ingatan.

Dan kini mereka sedang Menyusun kembali bagaimana industri vaksi kembali menyerang Masyarakat dunia, yang dengan itu mengeruk keuntungan yang angkanya tak berbilang. Bisnis yang menghancurkan tatanan kehidupan penduduk dunia. Tidakkah mereka jahat?

Lupa bahwa dunia pernah berhenti. Lupa bahwa anak-anak pernah tumbuh dalam sunyi. Lupa bahwa yang sakit tak selalu hanya tubuh—tapi juga jiwa yang takut dan hati yang sepi.

Sejarah pandemi harus mencatat ini. Bukan untuk menyebar amarah, tapi agar kita tidak lupa betapa banyak jiwa yang pergi dengan cara yang tidak manusiawi. Dan agar kelak, jika krisis serupa datang lagi, kita tahu bahwa prosedur medis tanpa empati adalah kekejaman yang diam-diam. []

Lebih baru Lebih lama