Menulis Budaya, Cara Anak Muda Aceh Merawat Jati Diri di Era Digital


 Oleh: Siti Hajar

Di tengah riuh rendahnya konten viral dan tren digital yang silih berganti, ada sebuah gerakan senyap namun penting yang kini mulai menggeliat di Aceh: anak muda menulis tentang budaya mereka sendiri. Pemerintah Aceh pun tak tinggal diam. Melalui berbagai program, seperti Bimbingan Teknis Kepenulisan Konten Budaya, pemerintah melibatkan pelajar, mahasiswa, guru, hingga pegiat literasi untuk ikut merawat kekayaan budaya lewat tulisan.

Tapi mengapa menulis budaya menjadi sesuatu yang penting—bahkan mendesak—hari ini?

🌱 Menjaga Warisan dari Lenyapnya Ingatan

Budaya bukan sekadar tarian dan pakaian adat yang ditampilkan saat festival. Ia adalah cara hidup, cara berpikir, bahkan cara merasa dari sebuah masyarakat. Namun sayangnya, banyak dari itu semua perlahan hilang—bukan karena dilupakan, tapi karena tak sempat dituliskan.

Dengan menulis, kita menyelamatkan memori kolektif yang mungkin hanya hidup dalam cerita nenek atau kisah lisan di surau kampung. Saat seorang siswa menulis kembali legenda Putroe Neng, atau seorang mahasiswa mengulas filosofi rumah Aceh, mereka sedang menyalakan obor kecil yang bisa menerangi jalan bagi generasi berikutnya.

📸 Mengimbangi Konten Populer dengan Cerita Berakar

Di media sosial, setiap hari kita dibanjiri video hiburan, gosip selebritas, atau tren TikTok yang hanya bertahan seminggu. Di tengah banjir itu, tulisan-tulisan budaya bisa menjadi jangkar. Ia menjadi pengingat bahwa kita punya akar, punya cerita, dan punya makna.

Saat anak muda menulis tentang kehidupan nelayan di pesisir Aceh, upacara peusijuek, atau jejak Majapahit di Manyak Payed- Aceh Tamiang. Mereka tidak hanya sedang belajar menulis, tetapi lebih dari itu adalah semangat dan kecintaannya terhadap Bumi Aceh yang kaya akan tradisi, seni dan budaya.

Ada pula tulisan tentang Eungkot Paya yang memiliki nilai gizi dan protein yang tinggi. Hal ini baik untuk ibu-ibu sehabis operasi melahirkan, Kue Keukarah yang masih tetap jadi kue adat yang disediakan pada acara tueng dara baro, dan kenduri tujuh bulanan. Sementara itu di beberapa rumah kue ini selalu ada saat Hari Raya Idul Fitri atau yang daerah lain menyebutnya kue sarang burung.

Selain itu juga tradisi peucicap sira saka-- ini tradisi untuk bayi, pertama kali singgah di rumah kerabat atau tetangganya yang memiliki makna yang mendalam berupa harapan yang baik untuk si bayi. Essay ini ikut menjadi fokus salah satu peserta Bimtek kepenulisan yang dilaksanakan oleh Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Aceh (DPKA).

Mereka para peserta kegiatan bimtek ini adalah anak muda dan pegiat literasi yang sedang menanamkan rasa bangga dan kepemilikan atas sejarahnya sendiri.

✍️ Belajar Menjadi Penutur, Bukan Sekadar Penonton

Program-program seperti Bimtek Kepenulisan bukan sekadar pelatihan teknis. Ia adalah ruang tumbuh. Di sana, anak muda dilatih untuk:

  • Menemukan sudut pandang yang segar,
  • Mewawancarai tokoh budaya lokal,
  • Merangkai narasi yang menggugah dan akurat,
  • Mengelola konten agar bisa dinikmati lintas platform—dari blog, media daring, hingga video pendek.

Dengan keterampilan ini, mereka tak lagi menjadi penonton yang pasif, tetapi penutur yang aktif. Mereka bisa menjadi jurnalis budaya, penulis cerita rakyat, atau konten kreator yang membawa identitas lokal ke ranah global.

🌏 Dari Lokal ke Global: Diplomasi Budaya Generasi Z

Menulis budaya bukan hanya urusan lokal. Tulisan-tulisan ini bisa menjadi diplomasi lunak. Saat seorang pelajar Aceh menulis blog tentang kuliner kuah beulangong atau tradisi peumulia jamee, tulisan itu bisa dibaca oleh siapa saja di dunia. Bisa jadi, seseorang di luar negeri tergerak untuk datang ke Aceh bukan karena iklan pariwisata, tapi karena satu tulisan yang jujur dan menyentuh.

🌟 Ayo Menulis, Ayo Menjaga

Hari ini, kamu tak harus menjadi sejarawan atau sastrawan untuk menulis tentang budaya. Cukup jadi seseorang yang peduli dan mau bercerita. Tulis tentang kampung halamanmu, cerita rakyat yang pernah kamu dengar, adat unik di desamu, atau bahkan tentang nama-nama tempat yang menyimpan jejak masa silam.

Kita tidak tahu, mungkin tulisanmu hari ini akan menjadi dokumen penting yang dibaca anak-anak cucu kita di masa depan. Mungkin dari tulisanmu, akan lahir kebanggaan baru akan budaya Aceh yang kaya, anggun, dan penuh makna.

Mari menulis. Mari merawat. Mari menjadi bagian dari perjalanan budaya Aceh yang tidak pernah padam. []

Lebih baru Lebih lama