Ketika Anak Tantrum Saat Ada Tamu, Sinyal Apa Ini?

 

Oleh: Siti Hajar

Tantrum adalah letupan emosi anak yang belum bisa ia kelola atau ungkapkan lewat kata-kata. Ia bisa datang dalam bentuk tangisan keras, teriakan, menolak disentuh, berguling-guling di lantai, atau bahkan melempar barang. Bagi orang dewasa, ini bisa tampak seperti ledakan yang tidak masuk akal. Tapi bagi anak, tantrum seringkali adalah satu-satunya jalan untuk mengatakan, "Aku sedang tidak baik-baik saja."

Bentuknya bisa beragam.Seorang anak tiba-tiba menangis histeris saat mainannya direbut adik.
Anak lain memukul pintu karena tak ingin mandi.Ada pula yang menjerit hanya karena tidak diberi kue kedua. Dan yang tak kalah sering—anak tantrum di hadapan tamu.

Ruang tamu sore itu tampak lebih hidup dari biasanya. Ada gelas-gelas teh manis yang baru diseduh, piring kecil berisi kue bolu, dan suara tawa ringan yang saling bersahutan. Para tamu duduk akrab, bercengkerama, bertukar kabar. Seorang ibu sesekali tersenyum sambil melirik ke arah dapur. Ia ingin semuanya tampak ramah dan menyenangkan.

Lalu terdengar suara lain—rengekan kecil yang berubah cepat menjadi teriakan panjang. Seorang anak menangis di tengah ruangan. Wajahnya merah, tubuhnya menolak digendong, dan suaranya menuntut lebih dari sekadar pengertian.

Beberapa orang dewasa tersentak, sebagian mengalihkan pandangan dengan kikuk. Sang ibu tampak menahan malu. Tangannya mencoba memeluk, suaranya berbisik, “Ssst… diam dulu ya, ada tamu.”

Tapi si kecil tak peduli. Tangisnya justru makin menjadi.

Tantrum saat ada tamu—bagi sebagian orang tua, ini terasa seperti ujian kesabaran yang datang di saat paling tak tepat. Tapi jika kita berhenti sejenak, menggeser cara pandang, kita akan menyadari: tantrum itu bukan gangguan. Ia adalah sinyal. Sebuah pesan yang tulus dari dunia batin anak, yang belum sepenuhnya bisa berbicara dalam kalimat yang rapi.

Di balik tangisan yang seolah “memalukan” itu, ada kebutuhan emosional yang sedang menggeliat, meminta dilihat.

Seringkali, anak merasa tersisih ketika tamu datang. Perhatian orang tua yang biasanya penuh, kini terbagi. Fokus yang biasanya hanya untuknya, kini tertuju pada orang-orang baru. Ia belum mampu memahami konsep "berbagi waktu" dengan cara orang dewasa. Maka satu-satunya jalan yang ia tahu adalah menunjukkan dirinya dengan suara yang paling keras: tangisan.

Ada pula anak yang merasa cemas dengan suasana yang berubah drastis. Wajah-wajah baru, suara asing, tawa keras, mungkin membuatnya merasa kehilangan rasa aman. Ia belum punya kosa kata untuk berkata, “Aku takut,” atau “Aku tidak nyaman.” Yang bisa ia lakukan hanya menangis. Bagi anak, menangis adalah cara tercepat untuk memanggil kembali dunia yang dikenalnya.

Dan ada pula anak yang hanya ingin diajak bicara, disapa, atau sekadar duduk bersama orang dewasa yang sedang tertawa. Tapi karena ia belum tahu cara menyela atau menyampaikan isi hatinya, ia memilih metode yang paling ia kuasai: berteriak.

Sebagian orang dewasa menilai bahwa tantrum adalah bentuk pembangkangan. Tapi jika dilihat dari dunia anak, tantrum justru seringkali adalah bentuk kejujuran paling murni. Anak tak pura-pura senang saat ia tidak nyaman. Ia tidak bisa berpura-pura tenang saat hatinya gelisah.

Maka ketika anak tantrum saat ada tamu, mungkin itu bukan karena ia manja atau kurang sopan. Bisa jadi, ia hanya ingin berkata, “Hei, aku juga ada di sini. Tolong jangan lupakan aku.”

Tentu tidak mudah menenangkan anak saat suasana ramai dan mata banyak tertuju. Tapi sesungguhnya, di situlah letak keindahannya—saat orang tua memilih untuk mendahulukan anaknya, memeluknya, menenangkannya, bukan karena ingin cepat menyudahi tangisan, tapi karena benar-benar mendengar isi hatinya.

Anak yang dimengerti hari ini, akan belajar mengerti orang lain kelak.

Dan tamu yang melihat kasih seperti itu, bukan akan menilai buruk—justru bisa pulang membawa kesan paling hangat bahwa di rumah itu, anak-anak diajarkan bahwa perasaan mereka sah untuk dirasakan.

Karena anak tidak butuh rumah yang sempurna. Ia hanya butuh tempat di mana tangisnya tidak membuat orang-orang menoleh dengan jijik, tapi membuat hati-hati yang dewasa kembali belajar: bahwa yang paling murni sering datang dalam bentuk yang paling gaduh. []

 

Lebih baru Lebih lama