Oleh: Siti Hajar
Aku sedang menyisir rambut ketika
menemukan sehelai uban baru di sela-sela helaian yang kian menipis. Bukan hal luar biasa, tentu. Tapi pagi
itu, ada bisikan yang muncul lirih, lebih dalam dari biasanya: “Kamu tidak
muda lagi.” Aneh, karena di dalam batinku, aku masih merasa muda. Masih
ingin belajar, masih penasaran pada hidup, masih ingin mencoba banyak hal. Aku
bahkan merasa baru saja memulai.
Usiaku 45. Tapi rasanya seperti baru 25—hanya saja tubuhku tidak sepakat.
Jiwaku berjalan lambat, sementara waktu terus berlari. Lalu muncul pertanyaan
yang menggugah: Apakah rasa muda ini membuatku lupa bahwa ajal bisa datang
kapan saja? Ataukah justru menjadi alasan bahwa aku harus lebih sadar akan
kematian?
Pertanyaan itu membawa langkahku pada satu istilah yang belakangan sering
terdengar: memento mori.
Muda dalam Jiwa, Tua dalam Waktu
Aku rasa bukan aku saja yang merasakan ini—perasaan muda, penuh energi,
seolah dunia masih menunggu kita. Perasaan ini bukan sekadar nostalgia, tapi
sesuatu yang nyata: semangat hidup yang masih menyala.
Tapi realitas waktu tak bisa dipungkiri. Usia bertambah, tubuh berubah,
orang-orang di sekitar kita satu per satu pergi lebih dulu. Kita mulai
menghadiri lebih banyak tahlilan dibanding undangan pernikahan. Hidup memberi
kode: kamu tidak abadi.
Namun benarkah perasaan muda bertentangan dengan kesadaran akan kematian?
Justru tidak. Aku mulai sadar bahwa semangat muda dan kesadaran akan mati
bukan dua hal yang saling meniadakan. Mereka bisa saling menguatkan.
Memento Mori, Bukan untuk Menakut-nakuti
Memento mori adalah frasa Latin yang berarti “ingatlah
bahwa kamu akan mati.” Di banyak budaya, mengingat kematian dianggap bijak.
Dalam Islam, Nabi Muhammad SAW bahkan bersabda: "Perbanyaklah mengingat
penghancur kenikmatan: kematian." Tapi ini bukan tentang
menakut-nakuti diri sendiri. Ini tentang membangunkan.
Filosofi Stoik menyebutnya sebagai jalan untuk hidup lebih baik. Mengingat
kematian adalah cara untuk menyadari bahwa waktu kita terbatas, sehingga kita
bisa lebih memilih mana yang penting. Kematian bukan akhir dari hidup,
melainkan pengingat arah hidup.
Ketika Mati Membuat Hidup Jadi Lebih Jujur
Sejak aku mulai mempraktikkan memento mori, ada banyak perubahan
kecil dalam hidupku:
Aku lebih cepat meminta maaf. Karena siapa tahu, besok aku tidak sempat.
Aku lebih berani mengatakan cinta. Karena jika hari ini adalah hari
terakhirku, aku ingin mereka tahu.
Aku lebih sabar pada hal-hal remeh. Karena aku sadar, hidup ini bukan
tentang menang debat, tapi menang dalam keikhlasan.
Dan yang paling terasa: aku jadi lebih bersyukur atas hal-hal
sederhana—matahari yang menembus tirai, suara anak yang tertawa, tubuh yang
masih bisa bergerak meski mulai pegal.
Kematian mengajariku untuk hidup, bukan untuk takut.
Cara Lembut Menghidupkan Memento Mori
Kamu tidak perlu mengunjungi kuburan setiap hari untuk mengingat mati. Cukup
lakukan ini secara batiniah:
- Tulis
surat untuk seseorang yang kamu cintai seolah kamu tak bisa melihatnya
esok.
- Rapikan
rumah, buku harian, file digital—seolah kamu ingin meninggalkan semuanya
dengan damai.
- Setiap
pagi, tanyakan pada diri sendiri: “Jika ini hariku yang terakhir,
bagaimana aku ingin menjalaninya?”
Bukan untuk membuatmu murung. Tapi agar kamu benar-benar hadir. Agar kamu
benar-benar hidup.
Muda, Tapi Siap
Aku masih merasa muda, dan aku tidak malu mengakuinya. Tapi kali ini, aku
tak ingin tertidur dalam rasa itu. Aku ingin sadar. Aku ingin hidup dengan mata
terbuka, hati yang lapang, dan tangan yang siap memberi.
Bagaimana Islam melihat
Memento-Mori
1. Mengingat Kematian adalah
Perintah Rasulullah SAW
Nabi Muhammad SAW bersabda:
"Perbanyaklah mengingat
penghancur kenikmatan, yaitu kematian."(HR. Tirmidzi no. 2307)
Dalam hadis ini, kematian disebut sebagai penghancur kenikmatan dunia.
Artinya, mengingat kematian akan menyadarkan manusia agar tidak terlena oleh
dunia yang fana dan mendorongnya untuk fokus pada kehidupan akhirat.
2. Mengingat Kematian Membuat
Hati Menjadi Lembut
Imam Al-Ghazali dalam Ihya’
Ulumuddin mengatakan bahwa hati yang keras bisa dilunakkan dengan dua hal:
mengingat kematian dan mengunjungi kuburan. Karena di sanalah kita melihat dunia dalam bentuk paling jujur—tanpa
topeng, tanpa ambisi, tanpa gelar.
3. Kematian adalah Jeda, Bukan Akhir
Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
"Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan
mati..."(QS. Ali
Imran: 185)
Ayat ini bukan ancaman, melainkan pengingat. Bahwa kehidupan dunia hanya
bagian kecil dari perjalanan ruh manusia. Kematian bukan akhir segalanya, tapi
pintu menuju kehidupan sejati di akhirat.
4. Menjadikan Kematian Sebagai Cermin Amal
Umar bin Khattab pernah berkata:
"Hisablah dirimu sebelum kamu dihisab.
Timbanglah amalmu sebelum amal itu ditimbang bagimu."
Dengan mengingat kematian, seorang Muslim terdorong untuk terus memperbaiki
diri, bertobat sebelum terlambat, dan tidak menunda kebaikan.
5. Islam Memandang Kematian Sebagai Nasihat
Terbaik
Rasulullah SAW bersabda:
"Cukuplah kematian sebagai nasihat."(HR. Thabrani)
Artinya, tak perlu nasihat panjang lebar. Saat seseorang menyaksikan kematian—baik
secara nyata maupun lewat perenungan—itu sudah cukup menjadi pengingat tentang
apa yang benar-benar penting dalam hidup ini.
Jadi, dalam pandangan Islam, memento mori bukan sekadar filosofi. Ia adalah bagian dari tazkiyatun nafs—pembersihan jiwa. Ia adalah alarm kesadaran. Bukan untuk menakuti, tetapi untuk menyadarkan bahwa kita sedang menuju rumah abadi, dan bahwa setiap tarikan napas adalah kesempatan untuk menanam kebaikan.[]