Oleh: Siti Hajar
Beberapa tahun
terakhir, sistem pelayanan rumah sakit di Indonesia mengalami peningkatan
signifikan. Prosedur pendaftaran menjadi lebih terstruktur, sistem antrean
lebih tertata, informasi lebih transparan, dan tenaga medis lebih sigap dalam
penanganan.
Teknologi
informasi juga mulai menyatu dalam layanan kesehatan: pasien bisa mendaftar
daring, mengakses rekam medis elektronik, hingga berkonsultasi melalui
telemedisin. Ini semua menandai kemajuan yang patut diapresiasi.
Namun,
ironisnya, kemajuan prosedural ini justru berdampingan dengan kenyataan yang
mengkhawatirkan: semakin banyak orang yang jatuh sakit dan harus dirawat
di rumah sakit.
Pertanyaannya: Mengapa
hal ini terjadi?
1. Beban
Ganda Penyakit, Menular dan Tidak Menular
Indonesia sedang
menghadapi fase beban ganda penyakit. Di satu sisi, penyakit menular seperti
ISPA, demam berdarah, dan infeksi saluran cerna masih tinggi, apalagi saat
musim kemarau panjang menyebabkan udara kering, polusi meningkat, dan sanitasi
memburuk.
Di sisi lain,
penyakit tidak menular seperti diabetes, hipertensi, gagal ginjal, dan stroke
melonjak tajam. Penyakit-penyakit ini tak lagi menyerang usia lanjut saja, tapi
juga usia produktif, bahkan remaja.
Faktor gaya
hidup menjadi akar utama: pola makan tinggi gula, garam, dan lemak; kurang
aktivitas fisik; dan stres berkepanjangan. Sayangnya, gaya hidup seperti
ini kini menjadi “normal baru” di masyarakat urban maupun semi-urban.
2. Kesadaran
Kesehatan: Masih Reaktif, Belum Proaktif
Banyak orang
masih memaknai rumah sakit sebagai tempat terakhir, bukan bagian dari
upaya preventif. Kunjungan ke fasilitas kesehatan seringkali baru dilakukan
saat gejala sudah parah atau tak tertahankan. Padahal, pemeriksaan rutin,
deteksi dini, dan edukasi kesehatan adalah pilar penting dari pencegahan
penyakit kronis.
Kondisi ini
membuat rumah sakit akhirnya menanggung beban yang berat: lebih banyak
pasien dengan kondisi kronis yang sudah kompleks. Perawatan menjadi lebih
lama, biaya lebih tinggi, dan kapasitas layanan menjadi penuh.
3. Iklim dan
Lingkungan yang Tidak Bersahabat
Musim kemarau
yang panjang, cuaca ekstrem, serta kualitas udara yang memburuk memperburuk
kondisi populasi yang sudah rentan. Anak-anak mudah terkena ISPA, lansia
mengalami dehidrasi atau komplikasi jantung, dan penyakit berbasis vektor
seperti demam berdarah melonjak karena air yang tergenang saat kekeringan
berubah menjadi tempat nyamuk berkembang biak.
Isu ini bukan
semata-mata persoalan rumah tangga, tapi krisis lingkungan yang harus
ditanggapi secara sistemik. Kesehatan masyarakat tak bisa dipisahkan dari
kondisi ekologi di sekitarnya.
4.
Ketimpangan Akses dan Edukasi Kesehatan
Meskipun
prosedur rumah sakit membaik, belum semua lapisan masyarakat memiliki akses
yang sama terhadap informasi kesehatan dan layanan medis. Di daerah terpencil,
banyak yang masih mengandalkan pengobatan alternatif atau menunda pengobatan
karena masalah biaya atau jarak. Ketika akhirnya sampai ke rumah sakit, kondisi
pasien sering sudah berat dan memerlukan perawatan intensif.
Menuju Sistem
Kesehatan yang Berimbang
Kemajuan
prosedur rumah sakit adalah langkah penting, tapi tidak cukup jika tidak
disertai perbaikan di hulu: promosi kesehatan, peningkatan gizi,
penyediaan lingkungan sehat, serta pendidikan masyarakat tentang pentingnya
deteksi dini.
Rumah sakit
bukan satu-satunya garda kesehatan. Rumah tangga, sekolah, tempat kerja, dan
komunitas adalah bagian dari ekosistem kesehatan yang seharusnya aktif
mencegah orang jatuh sakit. Tanpa kesadaran ini, rumah sakit akan terus menjadi
barisan belakang yang kewalahan menghadapi gelombang pasien yang seharusnya
bisa dicegah sejak awal.[]