Oleh: Siti Hajar
Ada satu fase
dalam hidup yang mungkin tidak diajarkan di bangku sekolah atau ditulis dalam
lembar skripsi: fase ketika kita sudah dewasa, tapi belum merasa utuh. Kita
bekerja, belajar, membangun sesuatu, bahkan terlihat sibuk dari luar. Tapi
dalam diam, kita bertanya—sebenarnya aku ini siapa?
Aku mengenal
seseorang yang sedang berada di fase itu. Latar belakang pendidikannya kuat. S1
dan S2 di bidang pertanian. Bahkan dia sekolah di luar pulau. Ia dulu sangat
menikmati menanam dan menjual tanaman setelah lulus, seperti sedang menyatu
dengan tanah dan waktu. Ia dia mewarisi usaha keluarganya.
Namun, kemudian
ia memilih jalan lain—melanjutkan kuliah, mengejar gelar demi mimpi menjadi
dosen. Kini ia mengajar, berkebun di sela-sela waktu, dan bersiap melangkah ke
jenjang S3. Tampak produktif, tapi seperti ada sesuatu yang belum selesai di
dalam dirinya.
Dari luar, ia
tampak seperti sedang meniti anak tangga demi anak tangga. Tapi aku tahu, ia
juga sedang meniti tanya demi tanya. Apakah ini jalan yang benar? Apakah aku
akan sampai?
Aku kira banyak
dari kita pernah ada di titik itu. Saat hidup tak lagi sekadar tentang ‘mau
jadi apa’, tapi berubah jadi ‘mau jadi siapa’. Perjalanan mencari identitas
diri itu tidak selalu penuh drama atau gejolak besar. Kadang justru hening,
samar, dan panjang. Kita memutar dari satu jalan ke jalan lain, berharap ada
yang terasa klik. Tapi hidup tak memberi tanda arah sesering itu. Kadang kita
baru sadar sedang tersesat setelah terlalu jauh melangkah.
Sesuatu yang
sering terjadi bukan karena kita tak punya potensi, tapi karena arah belum
benar-benar dipilih dengan sadar. Kita bergerak, karena waktu tak bisa
dihentikan. Kita bekerja, karena hidup butuh biaya. Kita sekolah lagi, karena
itu opsi yang paling masuk akal. Tapi di antara semua itu, kita lupa bertanya: Apakah
aku sedang menjadi diriku sendiri?
Identitas diri
itu bukan sesuatu yang datang tiba-tiba. Ia dibentuk, diendapkan, dan dikenali.
Tapi juga tidak bisa ditunggu selamanya. Kita tak bisa selamanya mencoba-coba
tanpa menyadari kapan harus memilih dan menetap. Ada waktunya menanam banyak
benih, dan ada waktunya merawat satu pohon agar benar-benar tumbuh.
Karena kalau
terlalu lama larut, hidup bisa habis tanpa pernah benar-benar dijalani. Kita
sibuk, tapi tidak terarah. Kita bergerak, tapi seperti tidak melangkah. Padahal
hidup ini bukan soal seberapa banyak hal yang kita kerjakan, tapi seberapa
dalam kita memahami maknanya.
Dan satu hal
lagi yang sering luput kita sadari: semua orang sedang berproses. Bahkan mereka
yang tampak ‘sudah jadi’. Bedanya, sebagian dari mereka mulai menerima bahwa apapun
capaian dalam hidup ini—entah besar atau kecil—layak dirayakan. Tidak perlu
ramai, tidak perlu kembang api. Cukup dalam diammu sendiri. Dalam sepotong
senyum saat sore, atau doa lirih di antara rutinitas.
Tak mengapa
sesekali kamu merasa gagal. Toh, tidak semua keberhasilan perlu dibungkus
dengan selembar kertas bertuliskan “selamat”. Banyak hal baik dalam hidup
justru tumbuh dalam senyap—dan tetap sah untuk disebut pencapaian.
Kamu tetap
hebat, bahkan jika arahmu berliku. Kamu tetap keren, meskipun belum ada yang
bilang begitu secara terang-terangan. Dan kamu tetap berharga, bahkan saat
dunia tidak sedang menyorotmu.
Karena
sejatinya, menjadi utuh bukan tentang jadi seseorang yang sempurna. Tapi jadi
seseorang yang berdamai—dengan pilihan, proses, dan dirinya sendiri. Satu yang
pasti teruslah bertumbuh. Kamu adalah yang kamu tahu ke mana arah melangkah
serta tahu jalan untuk menetap. []