Mencuci Tangan dan Kisah Hidup Dokter Muda yang Tragis

 

Oleh: Siti Hajar

Aku masih ingat masa-masa awal pandemi COVID-19. Setiap hari, kita diingatkan untuk mencuci tangan. Pemerintah melakukan kampanye ini melalui media eletronik dan poster-poster yang ditempelkan di tempat umum. Di depan pintu rumah, di sekolah, di toko, di tempat kerja.

Hand sanitizer dan sabun seperti jadi penjaga tak kasat mata yang mengawal kita dari ancaman penyakit. Waktu itu aku sempat berpikir, “Kenapa kita tidak sedari dulu sewaspada ini?” Padahal, air dan sabun sudah lama kita kenal. Tapi rupanya, kita manusia sering belajar dengan cara yang menyakitkan: melalui kehilangan.

Namun, kini covid-19 sudah berlalu, kita mulai abai kembali untuk mencuci tangan. Seakan dunia kembali bebas. Hanya saja akhir-akhir ini kekhawatiran kembali timbul karena ada berita entah itu rumor atau fakta bahwa sepulang Bill Gates dari Indonesia ada orang  yang terjangkit TBC yang katanya, Indonesia akan menjadi negara yang akan menggunakan bisnis jualan vaksin bikinan orang terkaya di dunia itu.  

Mengenai kuman ini, ada kisah lama yang hampir dilupakan. Tentang seorang dokter muda, sebuah rumah sakit bersalin, dan kematian demi kematian yang nyaris tak bisa dijelaskan. Ini kisah dari lebih 150 tahun lalu. Jauh sebelum orang mengenal virus corona. Tapi pelajarannya masih begitu hidup hari ini.

Namanya Ignaz Semmelweis, seorang dokter Hungaria yang bekerja di Rumah Sakit Umum Wina pada 1840-an. Saat itu, angka kematian ibu melahirkan di rumah sakit sangat tinggi. Anehnya, kematian lebih sering terjadi di bangsal yang ditangani oleh para dokter dan mahasiswa kedokteran, dibandingkan bangsal bidan. Seperti ada yang tak masuk akal. Bukankah dokter seharusnya lebih terlatih?

Semmelweis menaruh perhatian. Ia bukan hanya seorang dokter, tapi juga seorang pengamat yang peduli. Ia mencatat, menghitung, membandingkan. Sampai akhirnya ia menemukan satu pola: para dokter setiap pagi melakukan otopsi pada jenazah, lalu langsung naik ke bangsal persalinan—tanpa mencuci tangan. Sementara para bidan tak pernah menyentuh mayat.

Lalu datang peristiwa yang mengguncang batinnya. Seorang profesor, koleganya sendiri, meninggal dunia karena infeksi setelah tertusuk pisau bedah saat otopsi. Gejalanya persis seperti demam nifas yang membunuh para ibu. Saat itulah titik terang datang. Semmelweis menyimpulkan bahwa tangan para dokter membawa partikel tak kasat mata—“racun mayat,” begitu ia menyebutnya—yang masuk ke tubuh ibu saat proses melahirkan. Dan itulah penyebab kematian.

Ia lalu membuat keputusan radikal: semua staf medis wajib mencuci tangan dengan larutan kapur klorin sebelum menangani pasien. Angka kematian turun drastis. Dari hampir 1 dari 6 ibu yang meninggal, menjadi hanya 1 dari 100. Bukti sudah jelas. Tapi dunia belum siap mendengarnya.

Kabar baik ini ternyata tidak disambut dengan tepuk tangan. Justru banyak dokter marah. Mereka tersinggung karena merasa dituduh membawa kematian pada pasien. Semmelweis dianggap gila. Ia diasingkan. Dibuang dari rumah sakit. Sampai akhirnya meninggal dunia dalam kesedihan dan kegilaan, ironisnya, di rumah sakit jiwa.

Tapi waktu, seperti biasa, akhirnya membela kebenaran. Louis Pasteur datang dengan teori kuman. Joseph Lister memperkenalkan antiseptik. Dan nama Semmelweis kembali dipanggil—bukan dengan cemoohan, melainkan dengan hormat. Kini ia dikenang sebagai pelopor antiseptik dan pahlawan kebersihan tangan.

Kadang aku bertanya-tanya, berapa banyak nyawa yang bisa diselamatkan andai orang-orang saat itu bersedia mendengar lebih awal? Tapi sejarah tak bisa diulang. Yang bisa kita lakukan adalah belajar darinya.

Hari ini, saat aku mencuci tangan, aku tak hanya membunuh kuman. Aku juga menghormati perjuangan seorang dokter yang dulu dianggap gila. Dan aku sadar, dalam kehidupan ini, banyak hal besar justru bermula dari sesuatu yang kecil dan sering diabaikan.

Seperti air dan sabun. Seperti tangan yang bersih, segar dan wangi.

Kadang, perubahan dunia memang dimulai dari hal yang tak terlihat. Kuman itu kecil. Tapi dampaknya bisa besar. Dan mencuci tangan, yang tampak remeh, ternyata menyelamatkan dunia. Tapi bukan sekadar asal cuci. Karena tangan yang diguyur air saja belum tentu bersih. Maka jika kita sungguh ingin menjaga diri dan orang-orang tercinta, mari kita tetap mencuci tangan seperti seorang dokter dengan penuh kesadaran dan kehati-hatian. Bukan sekadar rutinitas, dan perintah dari Kementerian Kesehatan tapi bentuk kasih sayang pada kehidupan.

Walaupun kalian masih ingat bagaimana cara mencuci tangan yang benar, tetapi aku akan memberitahumu kembali. Berikut adalah langkah-langkah yang disarankan oleh WHO dan para ahli kesehatan dunia:

  1. Basahi tangan dengan air bersih yang mengalir. Gunakan air mengalir, bukan air yang ditampung di wadah. Air yang mengalir membantu membawa kotoran dan kuman menjauh dari tangan.
  2. Tuang sabun secukupnya ke telapak tangan. Sabun biasa sudah cukup, tak harus antibakteri. Yang penting ada busa untuk meluruhkan minyak dan kotoran tempat kuman menempel.
  3. Gosok kedua telapak tangan. Ratakan sabun ke seluruh bagian depan tangan. Rasakan tekstur busa, biarkan jari-jarimu bergerak luwes.
  4. Gosok punggung tangan kanan dengan telapak tangan kiri, dan sebaliknya. Jangan lupakan bagian yang sering terabaikan ini. Kuman suka bersembunyi di sela-sela yang kita anggap bersih.
  5. Gosok sela-sela jari. Kaitkan jari-jari tangan kanan dan kiri, lalu gosok dengan gerakan maju-mundur. Di sinilah sering tertinggal sisa makanan, keringat, atau kotoran.
  6. Gosok bagian dalam jari-jari. Tempelkan jari-jari satu tangan ke telapak tangan yang lain lalu putar-putar. Gerakan ini membersihkan bagian dalam kuku.
  7. Gosok ibu jari kanan dengan tangan kiri secara memutar, dan sebaliknya. Ibu jari sering kita pakai memegang benda, tapi sering terlewat saat cuci tangan.
  8. Gosok ujung-ujung jari pada telapak tangan secara memutar. Ini membantu membersihkan bagian bawah kuku, tempat kuman suka bersarang.
  9. Bilas tangan dengan air bersih yang mengalir hingga sabun hilang seluruhnya. Nikmati sensasi air yang mengalir di kulitmu. Rasakan bahwa ini bukan hanya bersih, tapi juga menyegarkan.
  10. Keringkan tangan dengan tisu bersih atau handuk kering. Jika tersedia, gunakan tisu sekali pakai, lalu buang di tempat sampah tertutup. Atau gunakan handuk bersih yang rutin diganti.

Waktu ideal mencuci tangan dengan cara ini adalah 20–30 detik. Bisa lebih lama jika tangan sangat kotor. Untuk mengingat waktu, kamu bisa menyanyikan lagu “Selamat Ulang Tahun” dua kali di dalam hati.

Cuci tangan bukan lagi soal kebiasaan pribadi. Ia adalah tanggung jawab sosial. Karena tangan kita bisa menjadi jembatan antara kehidupan dan kematian, antara cinta dan abai. Dan siapa tahu, mungkin dengan mencuci tangan hari ini, kita sedang menyelamatkan seseorang yang tak kita kenal, di tempat yang tak pernah kita duga.

Jangan remehkan satu tetes sabun. Karena ia mewakili perjuangan Semmelweis, kerja keras para ilmuwan, dan harapan orang-orang yang ingin tetap hidup. Aku menulis ini juga sedang mengingatkan diri, dan keluargaku juga. Ancaman ini bisa terjadi begitu saja. Salam sehat selalu. []

sitihajarinspiring.com - Berbagi Cerita Menebar Inspirasi.

Lebih baru Lebih lama