Oleh: Siti Hajar
Sudah dua tahun
berlalu sejak aku memutuskan untuk mendekat. Tanpa sadar, langkahku saat itu
sedang menuju seseorang yang kemudian menjadi sangat berarti dalam hidupku. Ia
bukan siapa-siapa di atas kertas, tapi di hatiku, ia menjadi seorang yang layak
kuteladani. Aku menyebutnya mentor, atau kadang diam-diam, guru spiritualku.
Tapi jangan bayangkan sosoknya seperti ustaz yang berdiri di mimbar dengan
suara menggema—ia lebih seperti kakak kelas dalam perjalanan hidup, yang telah
lebih dulu jatuh, bangun, lalu menemukan cara untuk tetap berjalan dengan
tenang dan bijaksana.
Dan sejak saat
itu, tiap pekan, kami bertemu dalam sebuah forum kecil. Genk kecil, begitu aku
menyebutnya. Tempat kami—orang-orang yang sedang belajar menjadi versi terbaik
dari diri kami—berkumpul, membuka lembaran hati yang lelah, dan berbagi napas
yang kadang tersengal oleh peliknya hidup.
Di sana, aku
nyaris tak pernah absen. Bukan karena takut dimarahi, tapi karena aku butuh
hadir. Karena kehadiran di ruang itu seperti membasuh luka yang tak terlihat.
Di tengah
kehidupan yang penuh distraksi dan kebisingan, kami menciptakan ruang yang
hening—bukan hening tanpa suara, tapi hening yang membuat kami bisa kembali
mendengar suara hati kami sendiri.
Tak ada tuntutan
untuk sempurna, tak ada tekanan untuk kuat. Kami hanya diminta untuk jujur:
jujur atas lelah kami, galau kami, dan pertanyaan-pertanyaan yang menggantung
di kepala tapi tak kunjung mendapat jawaban.
Apa yang kami
lakukan bukan semata kajian rohani. Ini adalah ruang pulang—tempat kami
menemukan bahwa kami tidak sendirian dalam kegelisahan. Tempat kami bisa
menangis tanpa malu, tertawa tanpa pura-pura, dan merenung tanpa harus merasa
bersalah.
Mentorku tidak
pernah memberi perintah. Ia hanya memberi arah. Tidak pernah menggurui, tapi
menuntun. Kadang ia hanya mendengarkan. Kadang ia hanya menatap dengan tatapan
yang membuatku merasa: aku cukup, bahkan di tengah segala ketidaksempurnaan
ini. Dan di situlah pelan-pelan aku belajar menjadi utuh.
Mungkin kamu mengira,
sosok mentor yang kumaksudkan di sini adalah seorang ustaz atau ustazah yang
berdiri di atas mimbar, menyampaikan ceramah dengan lantang kepada jemaahnya.
Tapi bukan. Hubungan ini jauh lebih dekat, lebih personal, dan lebih dialogis.
Ia bukan tokoh agama yang berdiri jauh di depan dan kita hanya mendengarkan
dari belakang.
Mentor dalam
pengalamanku adalah seorang pendamping. Ia bukan hanya mengajar, tapi mendengar.
Bukan hanya menyampaikan nasihat, tapi membuka ruang diskusi yang setara. Ia
melihatku bukan sebagai "murid yang belum tahu apa-apa", tapi sebagai
sesama pejalan hidup yang sedang mencari arah. Dalam setiap pertemuan, aku
merasa benar-benar dilihat, bukan dihakimi. Didekati, bukan dikhotbahi.
Bisa jadi ia
juga seseorang yang paham agama. Tapi ia tak memposisikan dirinya sebagai
"lebih tinggi". Ia duduk bersama kami, dalam lingkaran kecil yang tak
ada jarak antara yang tahu dan yang belum tahu. Hubungan ini tumbuh dari kepercayaan,
bukan hanya kepatuhan. Dari kedekatan emosional, bukan sekadar rutinitas
keagamaan.
Aku sadar,
betapa pentingnya memiliki mentor dalam hidup. Seseorang yang menjadi cermin
reflektif—menunjukkan hal-hal dalam diri kita yang tak mampu kita lihat
sendiri. Seseorang yang menjadi penjaga arah, penyaring emosi, sekaligus penyambung
harapan saat hati mulai lelah.
Lalu aku
berpikir, apakah setiap orang membutuhkan mentor? Aku rasa, ya. Tapi tak semua
orang sadar bahwa ia membutuhkannya. Padahal, dalam sejarah hidup manusia,
hubungan antara murid dan guru, pembimbing dan pejalan, selalu ada. Bahkan
dalam kisah para nabi, para filsuf, hingga tokoh-tokoh besar dunia: mereka
semua pernah punya seseorang yang mendampingi proses tumbuh mereka.
Lalu bagaimana
jika sekelompok anak muda yang memiliki visi yang sama, memutuskan untuk
menjadikan satu sosok sebagai mentor mereka bersama? Aku pikir, itu adalah
langkah luar biasa. Bukan dalam konteks kultus individu, tapi sebagai bentuk
tumbuh bersama, dengan satu cahaya yang menuntun langkah dari kejauhan. Tapi
memang, hubungan ini harus dijaga agar tetap hangat dan merdeka. Mentor bukan
untuk dipuja, melainkan untuk dihormati dalam keheningan pemahaman.
Dan aku percaya,
forum kecil seperti kami bisa tumbuh di banyak tempat. Bukan untuk membentuk kelompok
eksklusif, tapi inklusif untuk menciptakan komunitas sadar—yang saling
membesarkan, saling menegur dengan cinta, saling mendorong untuk kembali
menjadi manusia seutuhnya.
Mungkin di
sinilah kita bisa mulai mengubah dunia: dari lingkaran kecil, dari ruang yang
nyaman, dari keberanian untuk duduk bersama dan berkata, "Aku sedang
tak baik-baik saja." Dan yang lain menjawab, "Tak apa.
Duduklah di sini. Kita lalui bersama."
Kedekatan emosional
yang berasa lebih dari sekadar teman atau sadar. Hati saling menyatu dan
terikat satu dan lainnya. Aku berharap bisa terus mengikuti ini tanpa rasa
jenuh dan bosan. Sejatinya aku membutuhkan ini. Ruang untuk bercermin, apakah ada
yang harus dijaga, ditingkatkan ataupun ada yang mesti dilupakan.
Untukmu wahai saudari-saudariku, jazakumullahu khairan. Terima kasih sudah menerimaku sejauh ini. Insyaallah malaikat akan mencatat ini sebagai bentuk kebaikan. Amal jariyah, ilmu yang bermanfaat, memudahkan jalan menuju surga. Insyaallah ….[]