Di Aceh, Virgin
Coconut Oil (VCO) dikenal dengan sebutan Minyeuk Simplah. Entah dari mana asal
usul katanya, tidak banyak yang tahu pasti. Namun istilah ini telah diwariskan
secara turun-temurun, terutama oleh masyarakat pesisir dan pedesaan.
Berbeda dari Minyeuk
U—minyak kelapa biasa yang diperoleh melalui proses pemanasan atau dijemur
terlebih dahulu—Minyeuk Simplah justru dipisahkan lebih awal, sebelum santan di
masak atau kelapa parut busuk dijemur. Karena proses inilah, minyak ini tampil
lebih jernih, beraroma segar, dan teksturnya lebih ringan.
Dalam keseharian,
Minyeuk Simplah bukan sekadar pelengkap dapur. Ia lebih sering hadir sebagai obat
luar tradisional:
- Untuk anak yang demam, minyak ini dibalurkan di
kepala atau bagian punggung.
- Untuk meredakan sakit perut atau masuk angin, ia
dicampur dengan bawang merah yang digeprek, lalu ditempelkan pada perut.
Praktik ini
masih dilakukan hingga kini, dianggap lebih aman dan alami dibanding
obat-obatan kimia, terlebih bagi bayi dan anak-anak.
Aku percaya
bahwa segala sesuatu yang baik akan menemukan jalannya, bahkan jika ia bermula
dari dapur kecil di belakang rumah, tempat tangan-tangan sabar mengaduk santan
menjadi minyak—perlahan, penuh ketelatenan.
Begitu pula
kisah temanku, seorang pemimpin komunitas UMKM yang kukenal sederhana tapi
penuh daya juang. Ia memulai usaha pembuatan Virgin Coconut Oil (VCO) dari
rumahnya. Dulu, kupikir ini hanyalah usaha rumahan biasa. Tapi setelah
menyaksikan langsung bagaimana ia memilih kelapa terbaik, mengekstrak minyak
tanpa pemanasan, menyaring dengan cermat, dan memberi label buatan sendiri, aku
sadar: ini bukan sekadar minyak, melainkan perjalanan.
Prototipe
pertamanya ia perkenalkan kepada warga desa. Setelah melewati berbagai diskusi,
mereka sepakat memulai usaha bersama yang kini tumbuh menjadi komunitas
produsen VCO. Usaha ini tidak hanya memberi penghasilan tambahan, tetapi juga
membuka jalan baru yang menghubungkan tradisi dan peluang modern.
Siapa sangka,
minyak yang dulu tersimpan dalam botol kaca di sudut dapur, kini menjadi bahan
utama skincare yang terpajang rapi di etalase toko kosmetik?
Temanku peka
membaca perubahan zaman. Ia belajar memproduksi VCO secara higienis, mengikuti
pelatihan, mengurus perizinan, hingga mendaftarkan usahanya secara resmi.
Tonggak penting tercapai ketika salah satu merek skincare lokal tertarik dan
menjadikannya pemasok tetap untuk sabun serta krim wajah alami berbasis VCO.
Kini, konsumen
makin selektif. Mereka mencari bahan alami, minim pengawet, dan kaya manfaat.
Dan VCO—minyak jujur yang sederhana itu—berubah menjadi bintang baru. Ia
mengandung asam laurat, antioksidan, serta zat antiinflamasi alami yang mampu
melembapkan, menenangkan kulit iritasi, dan mendukung regenerasi kulit. Tak
heran, kini banyak produsen menggunakan VCO sebagai bahan dasar lip balm, face
oil, hingga body lotion.
Hal yang membuatku merasa luar biasa adalah bahan lokal yang dulu dipandang sebelah mata kini bersinar berkat tangan-tangan
UMKM yang gigih. Produk mereka tak hanya menawarkan manfaat fisik, tapi juga
membawa nilai-nilai penting: keberlanjutan, keaslian, dan keberanian berinovasi
dari hal paling sederhana.
Bukan Tanpa
Tantangan
Perjalanan
mereka tidak selalu mulus. Pernah ada masa pasar sepi, pengurusan izin PIRT
terasa rumit, hingga desain label yang harus dirombak berkali-kali. Namun
temanku selalu bilang, setiap tetes minyak itu mengandung kenangan dan
perjuangan.
"Ini bukan
sekadar bisnis," katanya suatu hari, "melainkan amanah keluarga dan warisan leluhur." Aku paham betul apa yang ia rasakan.
Karena dalam setiap proses itu, terkandung nilai perjuangan dan cinta terhadap
apa yang mereka kerjakan.
Cerita seperti
ini layak untuk terus diceritakan. Dari kelapa yang diparut dengan tangan,
diperas perlahan tanpa tergesa, hingga menjadi minyak jernih yang
harum—tercermin keyakinan bahwa tradisi bukan penghambat kemajuan,
justru merupakan akar dari kekuatan kita. Bila dikelola dengan baik, ia dapat
menjadi sumber kebanggaan dan peluang ekonomi yang menjanjikan.
Siapa tahu, dari
VCO rumahan yang bersih dan wangi itu, akan lahir merek skincare nasional,
bahkan menembus pasar internasional. Siapa tahu, kelak anak-anak kita bangga
berkata bahwa sabun yang mereka gunakan berasal dari usaha ibu-ibu kampung yang
tak kenal lelah.
Dan jika kamu
penasaran bagaimana proses membuat VCO skala kecil, berikut aku bagikan
resepnya, siapa tahu kamu tergerak untuk memulai:
- Pilih Kelapa Tua Berkualitas. Gunakan kelapa
tua dengan daging yang tebal dan keras. Kelapa segar yang baru jatuh dari
pohon lebih disarankan karena kandungan minyaknya lebih tinggi.
- Parut dan Peras Santannya. Daging kelapa
diparut, lalu diperas menggunakan air matang hangat untuk menghasilkan
santan kental. Proses ini mirip saat kita membuat santan untuk memasak.
- Fermentasi (Cold Process). Santan dimasukkan
ke dalam toples kaca bersih dan dibiarkan ±24 jam di suhu ruang, tanpa
terkena cahaya langsung. Akan terjadi pemisahan alami antara air, krim,
dan minyak.
- Pisahkan Minyak dengan Hati-hati.Setelah 24
jam, akan tampak tiga lapisan: air di bawah, krim di tengah, dan minyak
bening kekuningan di atas. Gunakan kain tipis atau saringan kopi untuk
mengambil minyak secara perlahan dan bersih.
- Simpan di Botol Bersih. Masukkan minyak ke
dalam botol kaca atau plastik food grade. Simpan di suhu ruang yang kering
dan terhindar dari air. Bila disimpan dengan baik, VCO dapat bertahan
hingga 6 bulan lebih.
Temanku menyebut
proses ini sebagai "ruang mengurung diri"—karena harus
dilakukan dengan tenang dan penuh kesabaran. Ia bahkan menolak memakai alat
pengaduk elektrik. “Energi tangan lebih lembut untuk kelapa,” ujarnya sambil
tersenyum. Mungkin itu sebabnya, VCO buatan rumah punya aura berbeda—ia
dibuat dengan sepenuh hati.
Tentu, untuk
skala industri, proses ini disempurnakan dengan mesin dan kontrol mutu yang
ketat. Namun di balik botol yang cantik, VCO tetaplah VCO: santan kelapa
murni yang dijaga kandungan aslinya.
Ini bukan
sekadar mencari keuntungan. Ini adalah bagian dari melestarikan tradisi,
merawat potensi alam, dan memberi makna baru pada kelapa—pohon serbaguna yang
tiap bagian tubuhnya menyimpan nilai guna: dari akar, batang, daun, buah,
hingga serat dan tempurungnya.
Bila kamu sedang
membangun komunitas atau mencari produk unggulan lokal, mungkin sudah waktunya
melirik kembali minyak kelapa dari dapur-dapur sederhana itu. Karena kadang,
langkah kecil yang kita mulai dengan cinta, bisa membawa perubahan yang tak
terbayangkan. []