Oleh: Siti Hajar
Di tengah gemuruh dunia yang kian bising oleh
kecepatan zaman, ada jalan sunyi yang perlahan mulai dipilih kembali oleh
banyak orang tua: pesantren. Bukan karena mereka ketinggalan zaman. Justru
karena mereka sadar, nilai-nilai luhur yang sedang luntur ini perlu
diselamatkan. Dan tempat yang masih menyemainya dengan tekun, adalah pesantren.
Beberapa tahun terakhir, saya melihat
kecenderungan baru. Orang tua dari berbagai latar belakang—entah guru, pegawai
negeri, pedagang, bahkan profesional muda—berbondong-bondong menyekolahkan
anaknya ke pondok. Bukan karena tidak mampu menyekolahkan anak ke sekolah
favorit, tapi karena mereka ingin sesuatu yang lebih: anak yang tangguh
akhlaknya, kuat imannya, dan bersahaja dalam hidup.
Pesantren Bukan Lagi Pilihan Kedua
Dulu, banyak yang melihat pesantren sebagai
"alternatif terakhir". Hari ini, ia justru menjadi pilihan pertama.
Karena semakin hari, dunia luar tampak terlalu terbuka, terlalu bebas, terlalu
berisik. Anak-anak kita tumbuh dengan segala kemudahan teknologi, tapi rapuh
dalam prinsip. Cerdas di kepala, tapi hampa di hati.
Pesantren menjadi tempat yang sunyi, tapi justru
di situlah karakter ditempa. Di antara denting lonceng waktu salat, hafalan
ayat-ayat suci, dan rutinitas berjamaah, anak-anak dididik untuk tidak hanya
tahu, tapi juga memahami dan menghidupi nilai. Mereka belajar menundukkan ego,
menghormati guru, dan mencintai ilmu bukan karena nilai, tapi karena nurani.
Harapan Orang Tua Hari Ini: Anak yang Jadi Penjaga
Nilai
Kini cita-cita banyak orang tua berubah. Tak
melulu soal profesi besar, tapi soal nilai-nilai besar dalam hidup. Banyak yang
ingin anaknya menjadi hafiz Qur’an. Bukan semata agar bangga, tapi karena
mereka percaya: anak yang hafal Qur’an bisa menjadi sebab keberkahan hidup
keluarga. Bahkan bisa menarik orang tuanya ke surga.
Seorang sahabat pernah berkata, “Kalau saya
tidak mampu memberikan warisan harta, saya ingin meninggalkan anak yang
mendoakan saya dalam gelap.” Kalimat itu menancap. Karena pendidikan sejati
bukan tentang mempersiapkan anak menghadapi ujian, tapi mempersiapkan anak
menghadapi kehidupan.
Tak Mudah, Tapi Layak Diperjuangkan
Namun jalan ini bukan tanpa tantangan. Orang tua
harus melepas anak dalam rindu, jauh dari pelukan, dan hanya bisa mengandalkan
doa dalam sujud-sujudnya. Mereka juga harus menguatkan hati, karena di tengah
semangat ini ada pula kekhawatiran: maraknya kasus asusila yang terjadi di
sebagian kecil pesantren telah melukai kepercayaan masyarakat.
Para orang tua kini lebih selektif. Mereka ingin
pesantren yang aman secara fisik, psikologis, dan spiritual. Tempat yang bukan
hanya mengajarkan agama, tapi juga meneladankan akhlak.
Belum lagi soal biaya. Tak sedikit pesantren yang
menetapkan biaya yang cukup tinggi. Uang masuk, perlengkapan santri, biaya
bulanan, belum termasuk kebutuhan pribadi anak. Tapi tetap saja, banyak yang
memilih jalan ini meski harus berhemat. Karena mereka percaya: ini bukan
belanja, ini investasi abadi.
Jalan Sepi Menuju Ketangguhan Sejati
Pesantren bukan tempat yang penuh sorotan.
Anak-anak tak pulang dengan piala olimpiade atau nilai rapor yang gemilang.
Tapi mereka pulang dengan hati yang lebih lapang, lidah yang terjaga, mata yang
jernih, dan jiwa yang tenang. Mereka pulang sebagai pribadi yang lebih kuat
menahan diri, berani berkata jujur, dan tidak silau oleh dunia.
Jalan ini sepi, tak banyak sorak-sorai. Tapi
justru di jalan yang sepi inilah, insan-insan tangguh dilahirkan. Mereka tidak
tumbuh dengan pujian, tapi dengan kesabaran. Mereka tidak belajar di ruang
ber-AC, tapi di serambi yang berdebu dan sejuk oleh wudu. Dan di situlah
keteguhan hati ditempa.
Ayo, Kuatkan Niat dan Ikut Menapaki Jalan Ini. Untukmu
yang sedang menimbang ingin memondokkan anak, percayalah—tak ada pilihan yang
sepenuhnya mudah. Tapi ketika niatmu tulus, dan tempatmu tepat, insyaAllah
anak-anakmu akan tumbuh menjadi lentera kehidupan. Untukmu yang sedang mondok
dan mungkin rindu rumah, sabarlah. Kamu sedang ditempa untuk menjadi insan yang
tak biasa. Dan untukmu yang pernah mondok, ceritakanlah bagaimana pesantren
membentukmu. Jadikan pengalamanmu inspirasi bagi yang lain.
Karena kelak, bangsa yang tangguh tak lahir dari
generasi yang manja. Tapi dari mereka yang pernah dibesarkan dalam sunyi,
ditempa oleh kedisiplinan, dan dikuatkan oleh nilai.
Pesantren adalah jalan sunyi—tapi dari jalan
inilah lahir insan-insan yang tangguh, yang tak hanya cerdas berpikir, tapi
juga bening hati dan kukuh dalam prinsip.
Menjadi Pilihan, Jalan Sepi Menjadi Insan yang
Tangguh. []