Oleh: Siti Hajar
Akhir-akhir ini
seringkali aku melihat orang-orang menggunakan sarung. Tidak hanya di masjid
saat salat, tetapi juga dalam aktivitas lain yang tak pernah terpikirkan
sebelumnya. Ada yang bersarung sambil menyeruput kopi di warung, ada yang
santai bersarung mengantar istrinya ke pasar, bahkan ada yang sigap mengantar
anak sekolah di pagi hari dengan motor, hanya beralas sandal dan bersarung
kotak-kotak.
Aku tidak jarang
pergi ke mall yang hanya ada sedikit di Aceh, di sana pun sering kujumpai anak
muda yang bersarung nge-mall. Namun, sejauh ini, belum pernah kulihat laki-laki
mengenakan sarung saat berolahraga—mungkin karena sulit mengejar bola tanpa
terjerat ujung kain.
Aku berasal dari
Aceh. Di sini, sarung adalah pemandangan harian. Ia seperti napas kedua setelah
baju. Laki-laki Aceh tumbuh bersama sarung. Mulai dari anak-anak yang belajar
salat, remaja yang mengaji di balai, hingga para ayah dan datuk yang bersarung saat
memimpin doa keluarga. Maka, meskipun ilmuku masih sedikit, aku terdorong
menulis tentang sarung ini—karena seperti embun di pagi hari, yang tak terlihat
tapi terasa, sarung menyimpan banyak makna yang menunggu untuk dikisahkan.
Baik, mari kita
mulai.
Lebih dari
Sekadar Penutup Tubuh
Sarung adalah
selembar kain, ya. Tapi ia bukan kain biasa. Ia seperti teman setia bagi
laki-laki yang mencari kenyamanan dalam kesederhanaan. Bahannya yang ringan dan
potongannya yang longgar menjadikannya pilihan yang tepat di daerah tropis
seperti Aceh. Ia mengalir mengikuti gerak tubuh, tidak mengekang, tidak
menuntut, tidak menghakimi. Hanya menemani, dengan diam-diam menjaga aurat dan
martabat.
Lebih dari itu,
sarung adalah simbol kesopanan. Ia tak mengenal kasta. Seorang kiai dan seorang
petani bisa duduk bersisian, bersarung, tanpa terlihat janggal. Ia juga
fleksibel. Bisa dililit tinggi saat mencangkul atau dibentangkan luas saat
rebahan di meunasah. Dalam satu hari, sarung bisa menjalani lima fungsi
sekaligus: sebagai pakaian, sajadah, selimut, pembungkus barang, hingga kadang
kala, jadi bendera permainan anak-anak.
Jejak Panjang
Sarung di Nusantara
Sarung tak lahir
dari tanah Aceh semata. Ia datang bersama angin perdagangan dan pelaut dari
India dan Arab, berabad-abad silam. Sejak abad ke-7 atau ke-8 M, ketika Islam
mulai menyapa Nusantara lewat pelabuhan-pelabuhan dagang, sarung datang sebagai
bagian dari pakaian yang disebut izar—kain panjang penutup tubuh bagian
bawah yang biasa dikenakan pria Muslim.
Namun, seperti
halnya rempah-rempah yang diolah menjadi rendang atau kopi yang diseduh menjadi
sanger khas Aceh, sarung pun berakulturasi. Di tangan para pengrajin lokal, ia
menjadi batik, songket, atau tenun dengan motif dan warna yang mencerminkan
daerah masing-masing. Sarung Jawa berbeda dari sarung Bugis, berbeda pula dari
sarung Aceh yang sering hadir dalam motif kotak dan warna tegas dan kini trend
dengan motif pinto Aceh.
Di masa lalu,
sarung bukan hanya pakaian rakyat jelata. Raja dan bangsawan pun mengenakannya
dalam upacara adat dan keagamaan. Lihat saja lukisan-lukisan tua atau relief
candi yang menggambarkan pria bersarung dengan gagah dan wibawa.
Sarung di
Masa Kini, Antara Tradisi dan Gaya Hidup
Zaman berubah,
begitu pula cara orang memandang sarung. Dulu, sarung erat dengan imej “orang
tua” atau “kampungan”. Tapi kini, sarung hadir di iklan, panggung fashion,
bahkan politik. Presiden bersarung di hari besar Islam menjadi headline yang
menyejukkan. Anak muda mulai bersarung ke masjid, lalu berswafoto dengan
caption bangga, “Yuk bersarung guys, atau sarungan is cool.”
Tentu kalian
tahu, ada banyak desainer modern juga memadu-madankan sarung dalam gaya
kekinian, Di toko-toko modern, bermunculan sarung instan—praktis, tinggal
pakai, tak perlu repot melilit atau mengikat. Warnanya pun berani: dari biru
elektrik hingga oranye bata. Beberapa brand lokal bahkan mulai menjadikan
sarung sebagai busana kasual untuk rumah atau acara nonformal.
Meskipun belum
ada yang berlari maraton dengan sarung, aku tak kaget jika suatu hari nanti ada
“sarung sport edition”. Karena sejatinya, sarung bukan hanya warisan—ia juga
ruang ekspresi.
Sehelai Kain
yang Menyimpan Nilai
Namun, lebih
dari tren, sarung menyimpan nilai. Ia mengajarkan kesederhanaan, bahwa tak
semua yang layak harus mahal. Ia mengajarkan kesetaraan, bahwa setiap pria bisa
terlihat bermartabat hanya dengan sehelai kain. Ia mengajarkan kesiapan, karena
di dalam rumah yang bersarung, para laki-laki siap memimpin doa, mengimami
salat, atau sekadar menemani anak-anak tidur sambil bercerita.
Sarung bukan hanya milik
tubuh, ia milik kenangan.
Mungkin, di era
digital ini, kita tak lagi banyak bicara soal sarung. Kita bicara tentang
kecerdasan buatan, gadget terkini, dan gaya hidup cepat. Tapi di sela-sela itu
semua, mari kita biarkan sarung tetap hidup—seperti akar yang diam-diam
menyuburkan pohon.
Karena menjadi
laki-laki Nusantara tak selalu harus bergaya maskulin ala barat. Kadang, cukup
dengan sehelai sarung dan hati yang tenang, kita telah menunjukkan jati diri, sederhana,
sopan, siap, dan penuh makna.
Salam hangat dari Aceh,
Siti Hajar – sitihajarinspiring.com
Berbagi Cerita, Menebar Inspirasi