Oleh: Siti Hajar
Menyambut Hari Raya Idul Adha, satu hal yang
hampir tak bisa dipisahkan adalah momen menikmati daging qurban, baik di hari
raya itu sendiri maupun di hari-hari setelahnya. Suasana penuh berkah ini bukan
hanya terasa di masjid atau lapangan tempat shalat ied digelar, tetapi juga
sampai ke dapur-dapur rumah yang mendadak sibuk mengolah berbagai menu berbahan
dasar daging.
Beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan semakin
banyak orang yang diberi kemampuan untuk berqurban. Hal ini membuat distribusi
daging qurban menjadi lebih meluas dan merata. Bahkan bagi mereka yang belum
mampu berqurban pun tetap bisa menikmati limpahan berkah ini.
Tidak hanya satu atau dua sumber, daging qurban
bisa datang dari berbagai arah. Lima hingga tiga hari sebelum hari raya, para
panitia sudah mulai mendistribusikan daging kepada yang berhak. Ada yang
menerima dari kampung halamannya, ada pula yang mendapatkannya dari kantor
tempat bekerja, bahkan dari sekolah anak-anak.
Beberapa keluarga mendapatkan lebih dari satu
paket daging, karena kerabat atau kenalan yang tinggal jauh pun turut
mengirimkan bagian qurban kepada mereka—terutama jika mengetahui bahwa keluarga
tersebut termasuk dalam kategori yang layak menerima. Begitulah indahnya
semangat berbagi dalam Idul Adha. Tidak terbatas jarak, tidak terhalang ruang.
Daging qurban menjadi simbol kasih sayang yang melintasi batas geografis dan
sosial.
Karena berlimpahnya daging inilah, banyak orang
mulai bereksperimen dengan olahan-olahan yang tidak biasa mereka masak di
hari-hari lain. Ada rasa antusias sekaligus tantangan: bagaimana mengolah
daging agar tahan lebih lama, tanpa kehilangan cita rasa. Tak sedikit yang
menggali kembali resep-resep lama yang diwariskan dari orang tua dan
kakek-nenek mereka, yang dulu terbiasa menyimpan daging dalam waktu lama dengan
cara-cara alami tanpa bantuan lemari pendingin.
Di momen inilah, kreativitas dapur menjadi bagian
dari tradisi qurban. Mengolah daging tidak lagi sebatas memasak untuk disantap
hari itu juga, tetapi juga tentang bagaimana menyimpannya dalam bentuk yang
lebih tahan lama, lebih praktis, namun tetap menggugah selera. Beberapa teknik
memasak daging yang bisa disimpan lama pun kembali populer dan menjadi pilihan
banyak keluarga.
Berikut ini adalah sejumlah olahan daging qurban
yang bukan hanya menggoda selera, tetapi juga memiliki daya tahan lebih lama,
sehingga bisa dinikmati berhari-hari setelah Idul Adha berlalu:
- Sie
Reuboh. Olahan khas
Aceh ini dimasak dengan cuka, bawang, dan rempah pilihan. Asam dari cuka
menjadi pengawet alami, menjadikan sie reuboh bisa tahan hingga
berbulan-bulan, asalkan dipanaskan ulang secara berkala. Rasanya yang
khas—asam, gurih, dan sedikit pedas—membuat siapa pun ingin menambah nasi.
- Sate
Daging. Tidak hanya
ayam yang bisa disate. Daging sapi atau kambing qurban yang dipotong dadu,
dibumbui manis-gurih dengan kecap dan bawang, lalu dibakar perlahan,
menciptakan rasa yang sangat menggoda. Cocok sebagai menu pembuka atau
sajian utama saat berkumpul bersama keluarga.
- Masak
Merah (Masak Mirah). Masakan khas Aceh lainnya yang dimasak dengan cabai merah, rempah kari
bawang-bawanganl. Rasanya tajam, segar, dan sedikit pedas. Akan lebih
lezat bila menggunakan banyak tetelan, eheemm... abaikan kolesterol yang
berteriak nyaring... Dimakan dengan nasi putih hangat. Nikmatnya,
Masyaallah.
- Masak
Putih (Masak Puteh). Sesuai namanya, masakan ini berkuah putih, dimasak tanpa cabai, dengan
santan, bawang putih, ketumbar, dan serai. Rasanya lembut dan gurih,
sangat pas disantap oleh anak-anak atau yang tidak menyukai rasa pedas.
Cocok bagi yang jaga-jaga pedas dan asam dan juga anak-anak.
- Sie
Balu / Sie Tho. Daging
yang dikeringkan dengan hanya ditambahkan garam dan sedikit cuka (ie
limeng), kemudian dijemur atau digantung dekat perapian. Daging
dipotong kecil, direndam sebentar agar lebih lunak, lalu digoreng. Ini
adalah lauk masa perang orang Aceh dahulu—tahan lama dan bernutrisi.
- Dendeng.
Daging diiris tipis,
dibumbui, lalu dijemur atau dikeringkan. Bisa digoreng kapan saja dan
disimpan sebagai stok andalan di rumah.
7.
Abon
Daging. Daging disuwir
halus dan dimasak hingga kering dengan bumbu manis-gurih. Meski prosesnya
panjang, hasilnya sangat memuaskan dan awet hingga sebulan jika disimpan dalam
wadah kering tertutup.
- Rendang.
Masakan Minang yang
tak hanya nikmat, tetapi juga awet. Dimasak berjam-jam hingga bumbunya
mengering dan meresap sempurna ke dalam daging. Bisa bertahan
berminggu-minggu jika disimpan baik.
- Empal.
Daging. Daging
direbus dengan bumbu, kemudian digoreng hingga kering. Disimpan di kulkas,
bisa dipanaskan ulang dengan mudah dan tetap lezat.
- Daging
Suwir Bumbu Pedas/Manis. Daging disuwir, lalu dimasak dengan cabai atau kecap hingga kering.
Cocok sebagai bekal, pelengkap nasi, atau lauk sahur.
- Daging
Asap. Daging diasap
perlahan untuk mengurangi kadar air dan memberi aroma khas. Teknik
tradisional ini bisa membuat daging tahan lama tanpa lemari es.
- Semur
atau Gulai Kering. Umumnya
dimasak berkuah, namun untuk daya simpan lebih lama, kuahnya dimasak habis
hingga menyatu dengan daging. Semakin lama disimpan, semakin meresap dan
nikmat.
- Daging
Jemur. Salah satu
teknik paling sederhana dan hemat energi. Daging diiris tipis, dibumbui
garam dan bawang, lalu dijemur hingga benar-benar kering. Setelah itu,
digoreng kering hingga menyerupai kerupuk. Di Aceh, cara ini masih banyak
dilakukan, terutama di kampung-kampung, sebagai bentuk kearifan lokal
dalam mengawetkan makanan.
Di balik semua resep ini, ada hal yang tidak boleh lupa, bahwa semua ini adalah nikmat yang telah Allah berikan lewat ibadah qurban, jangan disi-siakan. Karena itu, Ayo bersemangat menyambut Idul Adha. Mari kita mengolahnya dengan rasa syukur, penuh kreativitas, dan keinginan untuk berbagi untuk sesama.
Selamat mencoba berbagai olahan daging qurban, dan selamat Idul Adha penuh keberkahan! []