![]() |
Sumber foto: buku.kompas.com |
Oleh: Siti Hajar
Dalam adat Aceh,
pernikahan bukan sekadar ikatan antara dua insan, melainkan penyatuan dua
keluarga besar yang ditempuh melalui tata cara adat yang rapi dan penuh makna.
Setiap langkah memiliki fungsinya sendiri, dijalani dengan kesadaran budaya dan
kehormatan sosial. Perempuan dalam adat Aceh tidak dipersunting begitu saja. Ia
ditemui melalui jalan yang dijaga dan dibuka dengan sopan.
Proses pertama
adalah cah rauh—membuka jalan. Beberapa orang dari pihak laki-laki,
biasanya orang tua atau tokoh keluarga, datang untuk menyampaikan niat awal.
Mereka tidak membawa hantaran, hanya menyampaikan maksud baik: apakah gadis
yang dimaksud sudah memiliki ikatan, dan apakah keluarga membuka ruang
silaturahmi untuk niat serius. Dalam budaya Aceh, pernyataan niat tidak
dilakukan secara sembarangan. Ada tata cara, bahasa yang santun, dan rasa
saling menghormati.
Jika keluarga
perempuan menerima, maka tahap berikutnya adalah lamaran resmi. Di
sinilah keluarga laki-laki datang membawa hadiah atau kado, biasanya
berupa barang-barang yang dihias indah seperti kain, perhiasan, alat salat,
atau makanan khas. Hadiah-hadiah ini menjadi simbol bahwa mereka datang dengan
niat baik, bukan tangan kosong. Pada saat lamaran, dibicarakanlah hal-hal
penting: rencana waktu tunangan, mahar, dan hari akad. Lamaran menjadi titik
awal ikatan yang lebih dalam antara dua keluarga.
Tahap berikutnya
adalah tunangan. Dalam acara ini, cincin disematkan ke jari manis calon
pengantin perempuan oleh ibu dari pihak laki-laki, disaksikan keluarga besar
kedua pihak. Cincin ini menjadi penanda ikatan sosial—bahwa si gadis kini sudah
dipinang dan tidak lagi dalam status bebas. Acara tunangan biasanya dilengkapi
dengan peusijuk, ritual adat khas Aceh berupa taburan tepung tawar dan
doa, sebagai bentuk permohonan berkah dan keselamatan.
Setelah itu,
berlangsunglah akad nikah. Di momen sakral ini, pihak laki-laki membawa mahar,
yang nilainya telah disepakati sebelumnya. Mahar diserahkan langsung dalam
prosesi akad di hadapan penghulu dan saksi. Nama mempelai disebutkan dengan
jelas, dan setelah ijab kabul diucapkan dan disahkan, maka lengkaplah status
sebagai suami dan istri secara hukum agama.
Namun perjalanan
belum selesai. Setelah akad, dilaksanakan adat antar linto baro, di mana
pengantin laki-laki datang ke kediaman mempelai perempuan dengan membawa seserahan
atau peuneuwoe. Isi seserahan biasanya mencakup perlengkapan pribadi
untuk istri, seperti pakaian, alat kecantikan, makanan, dan simbol-simbol
kesiapan membina rumah tangga. Seserahan ini tidak hanya untuk menunjukkan
kesiapan materi, tetapi juga wujud penghormatan terhadap pihak perempuan.
Acara besar
kemudian digelar, dikenal sebagai preh linto baro, yaitu perjamuan adat
yang dilakukan oleh keluarga perempuan. Ini adalah bentuk penyambutan dan
perayaan atas hadirnya linto baro (pengantin pria) ke dalam keluarga mereka.
Biasanya diiringi dengan kenduri, doa, dan pertunjukan seni budaya Aceh.
Setelah itu, giliran keluarga pihak laki-laki melaksanakan tuang dara baro,
sebuah acara penyambutan terhadap mempelai perempuan dalam lingkungan sosial
suaminya.
Rangkaian adat
ini mencerminkan betapa tinggi dan dalamnya penghormatan terhadap perempuan
dalam budaya Aceh. Tidak ada langkah yang dilakukan tanpa dasar etika dan
aturan. Perempuan dijaga melalui adat, dilindungi melalui tata cara sosial, dan
dihormati dalam setiap tahap.
Lamaran dalam
budaya Aceh bukanlah formalitas. Ia adalah awal dari proses penghargaan. Bukan
sekadar meminang, tetapi memperkenalkan niat yang benar melalui jalur yang
sudah digariskan oleh leluhur. Dari cah rauh hingga preh linto baro,
setiap langkah adalah bentuk dari penghormatan yang menyeluruh—bukan hanya
kepada perempuan, tetapi juga kepada tatanan adat yang diwarisi dengan
kehormatan.
Di antara
kelelahan dan kehebohan dua keluarga, dua adat, dan dua daerah yang berpadu
dalam satu ikatan, terselip harapan yang tidak pernah diucapkan terlalu
lantang, tapi terus hidup dalam setiap doa: semoga kedua mempelai menapaki
kehidupan dengan bahagia, baik di dunia maupun di akhirat. Dan dari ikatan yang
sah ini, semoga lahirlah anak-anak yang sehat dan cerdas—penerus kebaikan,
penjaga nilai, dan pewaris kehormatan dari dua keluarga yang kini telah menjadi
satu. []