Oleh: Siti Hajar
Cina, atau yang
kerap disebut sebagai Negeri Tirai Bambu, menyimpan pesona yang tak
mudah ditebak. Julukan ini bukan sekadar metafora, tetapi cerminan dari sejarah
panjangnya yang penuh misteri, kekuatan tersembunyi, dan ketertutupannya di
masa lalu. Di balik tirai itu, tersimpan peradaban yang pernah menjadi salah
satu pusat ilmu dan budaya dunia, namun juga pernah mengalami keterpurukan yang
dalam. Kini, tirai itu telah terbuka, menampakkan wajah baru yang mengagumkan:
modern, kuat, dan tak lagi terkurung oleh masa lalu.
Hari ini, siapa
pun yang mengunjungi Tiongkok akan dengan mudah terpukau. Jalan-jalan besar
membentang rapi, kota-kota seperti Shanghai dan Shenzhen bersinar dengan gedung
pencakar langit, transportasi cepat, dan pusat teknologi yang memimpin dunia.
Namun di balik semua itu, negeri ini menyimpan kisah yang getir. Sebuah kisah
yang tidak semua orang tahu—kisah tentang kelaparan, kesengsaraan, dan
perjuangan panjang dari sebuah bangsa yang pernah nyaris menyerah pada nasib.
Tiongkok bukan
selalu seperti yang kita lihat sekarang. Dulu, rakyatnya hidup bergantung pada
hasil panen dan kemurahan musim. Saat hujan tak turun, dan tanah tak memberi,
perut menjadi musuh utama. Pada akhir abad ke-19, jutaan nyawa melayang hanya
karena bencana alam dan kekeringan panjang. Mereka makan kulit pohon, daun
kering, bahkan tanah liat. Ada ibu yang menjual anaknya bukan karena tak
sayang, tapi karena tak sanggup menatapnya kelaparan. Tak banyak suara, tak
banyak berita. Hanya tangis yang teredam oleh kepasrahan massal.
Memasuki abad
ke-20, penderitaan itu belum juga reda. Perang demi perang menghantam negeri
ini—baik dari dalam maupun luar. Tanah-tanah subur berubah menjadi medan
tempur, dan kehidupan rakyat semakin terjepit. Ketika anak-anak tumbuh tanpa
susu dan orang tua kehilangan harapan, mimpi menjadi barang mewah. Negeri yang
besar ini seperti ditarik mundur oleh sejarahnya sendiri.
Namun, justru
dari titik terendah itulah, benih kebangkitan mulai tumbuh. Bukan dengan gegap
gempita, tapi perlahan dan dalam diam. Ketika rakyat merasa cukup menderita,
muncul kesadaran baru: bahwa hidup tidak bisa terus seperti ini. Bahwa
kemiskinan tidak boleh diwariskan. Bahwa harapan, betapapun kecilnya, harus
dijaga agar tetap menyala.
Akhir 1970-an
menjadi penanda awal dari perubahan besar. Tiongkok mulai membuka diri.
Ladang-ladang yang dulu dikuasai negara diserahkan kembali pada para petani.
Kota-kota pelabuhan yang tadinya sederhana berubah menjadi zona industri dan
perdagangan. Perdagangan tumbuh, teknologi masuk, dan rakyat mulai belajar lagi
tentang sesuatu yang selama ini terasa asing: kemajuan.
Bukan hanya
kebijakan yang berubah, tetapi juga pola pikir masyarakat. Mereka mulai
menabung dengan disiplin, bekerja tanpa lelah, dan melihat pendidikan sebagai
tiket keluar dari kemiskinan. Dalam waktu kurang dari dua generasi, mereka
berhasil membalikkan keadaan. Ratusan juta orang bangkit dari kemiskinan. Bukan
karena keajaiban, tapi karena ketekunan yang terus-menerus.
Hari ini,
Tiongkok dikenal bukan hanya sebagai pabrik dunia, tetapi sebagai pusat
teknologi, riset, dan kekuatan ekonomi global. Mereka membangun jembatan
raksasa, jaringan kereta cepat, universitas-universitas unggulan, dan bahkan
menjelajah luar angkasa. Di tengah krisis global, mereka tetap stabil. Ketika
dunia limbung, mereka justru menguat.
Apa rahasia
mereka? Mungkin bukan karena mereka punya segalanya, tapi karena mereka pernah
kehilangan segalanya. Mereka tahu rasanya lapar. Mereka tahu rasanya
ditinggalkan sejarah. Dan mereka memilih untuk tidak mengulangnya.
Kisah Tiongkok
adalah kisah tentang bagaimana sebuah bangsa bisa tumbuh dari luka. Tentang
bagaimana air mata yang dulu jatuh di ladang-ladang kering bisa menjadi sungai
kekuatan. Mereka tidak bangkit karena tak pernah jatuh, tapi karena belajar
setiap kali jatuh. Mereka tahu bahwa derita bisa jadi bahan bakar, bahwa luka
bisa mengajarkan arah, dan bahwa masa depan bisa dibangun oleh mereka yang
berani menatap ke depan—tanpa kehilangan ingatan pada masa lalu. []