Oleh: Siti Hajar
Seringkali,
tanpa disadari, tubuh terasa lemah dan tak bertenaga. Sakit tak kunjung sembuh,
berpindah dari satu anggota keluarga ke anggota lain. Hari ini anak demam,
besok suami mengeluh nyeri. Kadang kepala pening tanpa sebab, dan perasaan
was-was muncul tanpa alasan yang jelas. Padahal semuanya terlihat baik-baik
saja. Tapi di balik itu, hati seperti tak pernah benar-benar tenang.
Mengapa hati
selalu resah. Rasanya seperti ada sesuatu yang terus mengejar. Bukan orang.
Bukan pekerjaan. Tapi rasa cemas yang menempel seperti bayangan. Semakin kita
berlari, semakin ia mengikuti. Seperti mengejar sesuatu yang tak pernah bisa
kita raih. Dan lama-lama, kita kelelahan.
Banyak hal bisa
memicu kondisi seperti ini. Bisa karena stres, beban pikiran, kurang istirahat.
Tapi di antara semuanya, ada satu penyebab yang sering kali tak kita sadari—jeratan
hutang riba.
Ya, hutang yang
kelihatannya ringan, cepat, praktis, dan bisa membuat kita merasa naik kelas
dalam sekejap. Satu belum lunas, datang lagi yang lain. Tawaran kartu kredit,
pinjaman daring, cicilan kendaraan, angsuran barang elektronik, KPR, leasing,
paylater, semuanya datang bertubi-tubi. Kita pun terjebak dalam lingkaran
setoran.
Banyak orang
bilang, “Kalau enggak kredit, sampai tua pun cuma bisa naik sepeda.” Tapi apa
benar? Naik sepeda pun sehat, asal tidak membuat hidup ini jadi bahan bakar
kegelisahan. Lebih dari itu, siapa sangka bahwa yang kita anggap solusi justru
bisa menjadi sumber dari masalah yang lebih besar?
Tubuh sering
sakit-sakitan. Nafas pendek. Tidur tidak nyenyak. Doa terasa jauh. Anak-anak
mudah rewel. Hubungan terasa tegang. Dan keuangan seperti tak pernah cukup
meski penghasilan terus bertambah. Semuanya saling bersambung, seperti rantai
yang tak tahu dari mana ujungnya.
Mungkin karena
kita sedang menanggung sesuatu yang tidak disukai oleh-Nya. Karena keberkahan
itu tidak datang dari nominal, tapi dari izin-Nya. Dan riba, sebesar apapun
manfaat lahiriahnya, tetaplah sesuatu yang dilaknat. Bahkan satu dirham riba
lebih dahsyat dari berzina dengan ibu kandung sendiri—begitu sabda Nabi.
Sakitnya riba tidak selalu terlihat langsung, tapi perlahan merayap di
sela-sela ketenangan.
Kita mulai
kehilangan rasa syukur. Merasa harus punya ini dan itu agar dianggap berhasil.
Merasa harus tampil mapan walau sesungguhnya leher sudah tercekik cicilan.
Lebih baik terlihat hebat daripada terlihat biasa. Lalu hidup pun jadi ajang
mengejar validasi, bukan ketenangan.
Banyak dari kita
yang awalnya hanya ingin "menutup sementara", lalu terjerat oleh pinjaman
online. Bunga harian yang mencekik, tenggat waktu yang menekan, hingga
akhirnya membuka aib sendiri. Tak sedikit yang kehilangan harga diri karena
ditagih dengan cara tak manusiawi. Foto disebar, nama dicemarkan, dan keluarga
pun ikut menanggung malu. Bukan hanya orang terdekat—bahkan teman sejawat,
kawan baru, dan teman lama pun ikut menyaksikan keruntuhan yang tak seharusnya
terjadi. Semua berawal dari keputusan kecil yang tampak ringan, namun menjebak
diam-diam hingga luka tak tertutupi lagi oleh senyuman.
Padahal tidak
mengapa naik motor butut dulu kalau belum mampu beli yang baru...
Padahal tidak
mengapa naik motor butut dulu kalau belum mampu beli yang baru. Tidak mengapa
desak-desakan di atas kendaraan roda dua, selama itu tak membuat kepala pecah
memikirkan angsuran. Tidak mengapa menyewa ruangan kecil, asal tidak
menjerumuskan diri ke dalam transaksi yang mengandung riba. Tidak mengapa
menabung sedikit demi sedikit. Lebih baik begitu daripada memaksakan diri hanya
demi tampil seolah-olah sukses.
Kita tidak
sedang berlomba dengan siapa-siapa. Hidup bukan perlombaan gaya, tapi ladang
ujian tentang bagaimana tetap waras, cukup, dan jujur.
Saat ini mungkin
waktu yang tepat untuk menepi sejenak. Duduk dengan diri sendiri, dan jujur
pada keadaan. Sudah sejauh mana kita melibatkan riba dalam kehidupan? Sudah
sejauh mana keberanian kita untuk keluar darinya?
Tentu tak mudah.
Apalagi jika semuanya sudah terikat. Tapi Allah tidak meminta kita untuk
langsung bisa. Allah hanya ingin kita berniat sungguh-sungguh. Karena saat kita
bersungguh-sungguh ingin lepas dari yang dilarang, pertolongan itu datang dari
arah yang tak kita sangka.
Jangan tunggu
tubuh terlalu lelah. Jangan tunggu hati terlalu keras. Jangan tunggu keuangan
benar-benar porak-poranda. Selagi bisa mengubah arah, mengapa tidak? Lebih baik
hidup sederhana tapi tenang, daripada kelihatan berhasil tapi sesak setiap
akhir bulan.
Hidup ini
terlalu singkat untuk dihabiskan dalam kejar-kejaran dengan tagihan. Terlalu
berharga untuk digadaikan pada sistem yang hanya menjanjikan kepemilikan, tapi
merampas ketenangan.
Pilihlah
keberkahan, meski tampak lebih lambat. Karena dari keberkahanlah tumbuh
kesehatan, ketenangan, dan kelapangan yang tidak bisa dibeli dengan apapun.
“Ketenangan itu
tidak bisa dicicil. Ia datang dari hidup yang jujur, bersih, dan tidak
memberontak pada peringatan-Nya.” []