Oleh: Siti Hajar
Di tengah
gempuran teknologi yang terus melaju, hadir sebuah fenomena yang begitu
mencolok: Artificial Intelligence (AI). Ia bukan lagi sekadar ide dalam film
fiksi ilmiah — kini ia ada di ponsel kita, membantu kita menulis,
menerjemahkan, mendesain, bahkan sekadar mengingatkan jadwal minum air. Tapi
meski kehadirannya semakin nyata, tak sedikit dari kita yang justru menjauh
darinya. Bukan karena tidak tahu, melainkan karena tidak yakin.
Banyak yang
bertanya, “Apa gunanya belajar AI kalau AI saja sering salah?” Atau, “Apa kita
bisa percaya pada teknologi yang bahkan tidak benar-benar memahami apa yang
dikatakannya?”
Kekhawatiran itu
wajar. Dan memang benar: AI bukan sumber kebenaran mutlak.
AI Sangat Bisa Salah
AI seperti
ChatGPT atau berbagai chatbot canggih lainnya memang bisa membuat kesalahan. Ia
bisa menyebutkan referensi fiktif, salah kutip data, atau menjawab dengan
percaya diri padahal isinya menyesatkan. Fenomena ini dikenal sebagai hallucination
— ketika AI “berhalusinasi” informasi karena tidak punya pengetahuan, hanya
pola bahasa.
Tapi mari kita
jujur juga: bukankah manusia pun bisa salah? Buku bisa salah cetak. Website
bisa kadaluwarsa. Bahkan guru, dosen, atau pakar pun bisa khilaf. Kesalahan
bukan alasan untuk menutup diri, melainkan panggilan untuk lebih bijak dalam
menggunakan dan menyaring informasi — termasuk dari AI.
Bukan
Menghindar, Tapi Belajar
Di sinilah
pentingnya kita mengenal dan memanfaatkan AI, bukan menghindarinya. Sebab
ketika kita menolak belajar tentang AI, kita justru akan kehilangan lebih
banyak:
- Tertinggal dari arus perubahan. Dunia kerja dan
pendidikan bergerak cepat. AI mempercepat proses berpikir, menulis,
merancang, hingga mengambil keputusan. Yang tidak mengikuti akan
kewalahan.
- Hilang peluang emas. Banyak profesi baru muncul
karena AI: prompt engineer, AI content creator, AI translator. Menghindar
berarti menutup pintu bagi masa depan.
- Tidak siap menghadapi disinformasi. Tanpa memahami
cara kerja AI, kita justru lebih rentan tertipu hoaks digital — dari
gambar palsu hingga video deepfake.
- Terjebak sebagai penonton, bukan pemain. Kita hanya
menjadi konsumen pasif teknologi, padahal bisa menjadi pengguna aktif yang
mengarahkan, mengolah, bahkan menciptakan.
Lalu, Siapa yang
Akan Paling Diuntungkan Jika Kita Belajar AI?
Untuk Siswa:
- AI membantu memahami pelajaran sulit.
- Menyediakan latihan soal yang disesuaikan dengan
kemampuan mereka.
- Menumbuhkan kreativitas dalam menulis cerita atau
membuat proyek multimedia.
Untuk Mahasiswa:
- Mempermudah riset awal dan menyusun kerangka tugas
akhir.
- Menerjemahkan literatur asing dengan cepat.
- Mengeksplorasi bidang baru di luar jurusan.
Untuk Pekerja
Kantoran:
- Membantu menyusun laporan, surat, atau presentasi
hanya dalam hitungan menit.
- Menyaring email, merancang ide, hingga menganalisis
data.
- Mengurangi beban tugas repetitif dan memberi ruang
untuk berpikir strategis.
Untuk Masyarakat Umum:
- Menjawab pertanyaan seputar kesehatan, pendidikan,
hingga keuangan secara langsung.
- Membantu usaha kecil memproduksi konten promosi
yang menarik.
- Menjadi teman diskusi reflektif, bahkan alat bantu
belajar sepanjang hayat.
AI Tidak Perlu
Ditakuti, Tapi Perlu Dipahami
AI tidak
diciptakan untuk menggantikan manusia, tapi untuk membantu manusia yang
bersedia belajar. Ia tidak sempurna, tapi bisa jadi sangat berguna jika kita
tahu cara memanfaatkannya. Kuncinya bukan pada teknologi itu sendiri, tapi pada
penggunaannya yang cerdas, kritis, dan etis.
Seperti halnya
pisau, AI bisa melukai jika digunakan tanpa pengetahuan. Tapi di tangan orang
yang tepat, ia bisa menjadi alat dapur, alat pahat, bahkan alat bedah yang
menyelamatkan hidup.
Cerdas, Bukan
Cemas
Maka, pertanyaan
hari ini bukan lagi “Apakah AI bisa dipercaya?” Melainkan:
“Apakah aku
sudah cukup belajar untuk menjadi pengguna AI yang cerdas dan bertanggung
jawab?”
AI bukan selalu benar. Tapi mengabaikannya hari ini, adalah kesalahan yang mungkin akan kita sesali besok. Hayuk Belajar Mengenal AI. []