Bertumbuh Versi Kita Masing-Masing, Ada yang Kalem-Tenang dan Ada yang Impulsif-Terang-Terangan

Oleh: Siti Hajar

Kita manusia berbeda. Kita beragam—sangat beragam. Dari bentuk fisik, warna kulit, tinggi badan, nada suara, hingga caramu tersenyum, caraku menatap, caranya melangkah. Tapi perbedaan paling nyata dan sering kali paling sulit dipahami adalah perbedaan dalam cara merasa dan menghadapi hidup.

Dari sanalah kita belajar. Belajar memahami satu sama lain tanpa buru-buru menunjuk siapa yang baik dan siapa yang lebih baik. Aku, kamu, dan kita semua berbeda, tetapi kita memiliki satu hal yang sama: hati. Dan hati itu, sekecil apa pun ia tampak, selalu menuntun pada satu hal—berbuat baik kepada sesama.

Namun, terkadang, saat menghadapi masalah, kita melihat dua dunia yang seolah saling bertolak belakang. Ada orang yang tenang, tetap tersenyum walau batinnya mungkin luka. Ada pula yang meledak, menangis, berteriak, bahkan berperilaku yang dianggap “tak wajar” di mata sosial.

Dua Dunia yang Sama-Sama Manusia

Secara psikologis, setiap respons terhadap masalah hidup bukanlah pertanda siapa yang kuat dan siapa yang lemah. Ini adalah cerminan dari banyak hal yang tersembunyi di dalam:

1. Kepribadian Dasar

Setiap orang memiliki temperamen bawaan, seperti sifat bawaan sejak lahir. Ada yang mudah tenang, ada yang cepat reaktif.

  • Orang dengan kepribadian reflektif dan tenang cenderung mengendapkan perasaan sebelum merespons.
  • Sementara yang mudah meledak mungkin punya sistem saraf yang lebih sensitif terhadap stres. Ia tidak sedang pura-pura dramatis—ia sungguh-sungguh merasa berat.

2. Pengalaman Hidup dan Pola Asuh

Apa yang kita pelajari sejak kecil sangat menentukan cara kita menghadapi masalah saat dewasa.

  • Mereka yang tumbuh dalam lingkungan penuh kasih, dialog terbuka, dan validasi emosi—belajar bahwa marah bisa dikelola, sedih bisa dibagi.
  • Tapi mereka yang tumbuh dalam lingkungan penuh bentakan, tuntutan, atau penolakan emosi, akan menyimpan amarah yang lama-lama bisa menjadi ledakan tak terkendali.

Jadi, ketika seseorang dewasa hari ini bersikap frontal, menangis atau marah-marah di ruang publik, bisa jadi itu adalah suara anak kecil dalam dirinya—yang dulu tidak pernah didengar.

3. Kemampuan Regulasi Emosi

Inilah pembeda yang sangat penting.

  • Regulasi emosi adalah kemampuan untuk mengenali, menerima, dan mengelola perasaan tanpa meledak atau memendam berlebihan.
  • Orang yang sudah terlatih regulasi emosi akan tetap merasa marah, tapi ia bisa memilih untuk tidak membiarkan amarah menguasai tindakannya.
  • Tapi mereka yang belum memiliki keterampilan ini akan bereaksi cepat, kadang impulsif—bukan karena tidak sopan, melainkan karena belum punya alat batin untuk menahan.

Mereka mungkin bukan tidak mau tenang—mereka tidak tahu bagaimana caranya.

4. Kondisi Psikologis dan Mental Saat Itu

Bahkan orang paling sabar pun bisa “meledak” jika sedang lelah, stres, atau berada di ambang batas.

  • Orang dengan kondisi burnout, depresi, PTSD, atau gangguan kepribadian bisa mengalami kesulitan luar biasa dalam mengendalikan emosi.
  • Yang terlihat “berlebihan” bagi kita, bisa jadi adalah usaha terakhirnya untuk tetap waras.

Seringkali, kita tidak melihat latar belakang seseorang. Kita hanya melihat cuplikan 10 detik emosinya—dan langsung memberi label.

5. Budaya: Menyembunyikan vs Menunjukkan

  • Di banyak budaya Timur, ekspresi emosi dibatasi. Kita diajarkan untuk “diam itu emas”.
  • Maka orang yang terbiasa menyembunyikan perasaan dianggap lebih “beradab”.
  • Tapi tidak semua orang bisa atau mau hidup dengan cara itu. Ada budaya lain yang lebih ekspresif, lebih spontan.

Apa yang dianggap “tak pantas” di satu tempat, bisa dianggap jujur dan otentik di tempat lain.

Kita Tidak Tahu Seberapa Berat Sesuatu Bagi Orang Lain

Maka pertanyaan yang lebih bijak bukanlah, “Kenapa sih dia nggak bisa tenang?” Tapi:
“Apa ya yang membuat seseorang sampai tak sanggup lagi menyimpan rasa di dalam?”

Kita semua punya titik rapuh masing-masing. Ada yang lemah di area cinta, ada yang ringkih saat bicara harga diri. Maka ketika orang lain tampak meledak karena hal yang menurut kita sepele, bisa jadi itu menyentuh luka lamanya yang tidak kita ketahui. Di sini kita berempati, alih-alih memandang rendah orang lain. []

Lebih baru Lebih lama