Berada di Ruang Publik, Mencoba Memahami Apa yang Akan Terjadi Jika Suatu Daerah Menjadi Areal Pertambangan

Oleh: Siti Hajar

Hari ini, aku berada di sebuah forum yang terasa seperti rumah bagi jiwa dan pikiranku—Forum Cendekiawan Muslim Indonesia Aceh. Di ruang itu, aku menjumpai wajah-wajah yang pernah menjadi bagian dari perjalananku: teman-teman kampus, rekan-rekan HMI, sahabat aktivis Inong Aceh. Namun yang membuat hati ini bergetar bukan sekadar nostalgia, melainkan kehadiran orang-orang yang datang dengan niat tulus—ingin memberi, ingin mendengar, dan ingin merawat bumi Aceh dengan ilmu dan cinta.

Tak ada sorak sorai. Tapi nuansa akademisnya begitu menggetarkan. Satu demi satu berbicara, memberi sumbangsih pemikiran dari kepakarannya. Yang lain menanggapi, menambah, menyambung benang-benang diskusi. Tidak saling menjatuhkan, tapi saling meneguhkan. Diskusi itu hidup karena dibangun dari keikhlasan. Bukan semata soal tata kelola migas dan pertambangan, tapi juga tentang keberlanjutan, keadilan, dan tanggung jawab sebagai khalifah di bumi.

Aku pulang membawa lebih dari sekadar catatan seminar. Aku pulang membawa energi baru, semangat yang dulu mungkin sempat lelah, kini menyala kembali. Dan aku tahu, inilah jalan yang ingin terus kutapaki: belajar, berbagi, dan menjaga Aceh—dengan ilmu, iman, dan cinta.

Ketika Daerah Wisata Berubah Menjadi Daerah Tambang

Dalam sesi diskusi itu, muncul pertanyaan penting: Apa yang terjadi ketika suatu daerah wisata berubah menjadi daerah pertambangan?

Jawabannya tidak sederhana. Ada pergeseran besar dalam fungsi lahan, orientasi ekonomi, sosial, dan ekologi. Dampaknya bisa bersifat positif maupun negatif—semuanya sangat tergantung pada bagaimana proses itu dirancang, dikelola, dan diawasi.

Manfaat yang Mungkin Diperoleh

Bagi Negara:

  1. Peningkatan Pendapatan melalui pajak, royalti, dan retribusi dari aktivitas pertambangan.
  2. Penyediaan Bahan Baku penting untuk industri nasional seperti batubara, emas, nikel, dan migas.
  3. Dorongan Investasi yang berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi nasional.

Bagi Masyarakat Sekitar:

  1. Lapangan Kerja Baru untuk masyarakat lokal sebagai buruh, teknisi, maupun penyedia jasa pendukung.
  2. Peningkatan Infrastruktur, seperti jalan, listrik, dan fasilitas umum yang turut dimanfaatkan warga.
  3. Program Tanggung Jawab Sosial (CSR) yang bisa membantu pembangunan sekolah, klinik, pelatihan, dan UMKM.

Kerugian yang Berisiko Terjadi

Bagi Negara:

  1. Kehilangan Potensi Wisata Jangka Panjang, yang sejatinya bisa memberikan dampak ekonomi yang lebih menyebar dan berkelanjutan.
  2. Tingginya Biaya Pemulihan Lingkungan, jika terjadi kerusakan akibat eksploitasi berlebih atau kelalaian pengelolaan.
  3. Potensi Konflik Sosial, seperti protes warga, konflik lahan, hingga pelanggaran hak asasi manusia.

Bagi Masyarakat Sekitar:

  1. Kerusakan Lingkungan, seperti pencemaran air, udara, dan degradasi lahan yang mengganggu ekosistem lokal.
  2. Hilangnya Mata Pencaharian Tradisional, seperti petani, nelayan, pengrajin, dan pelaku wisata.
  3. Gangguan Kesehatan Masyarakat, akibat polusi atau limbah berbahaya yang merusak sumber air bersih dan udara sehat.
  4. Punahnya Identitas dan Budaya Lokal, ketika nilai-nilai kearifan lokal tergantikan oleh sistem industri yang asing dan eksploitatif.

Meneguhkan Arah: Perlu Keputusan yang Cerdas dan Bijak

Transformasi dari wisata menjadi wilayah industri tambang tidak salah, selama dikelola dengan prinsip keadilan ekologis dan sosial. Namun, harus disadari bahwa keuntungan ekonomi jangka pendek tidak boleh menutup mata terhadap kerugian jangka panjang. Tanpa pengelolaan yang berkelanjutan, rakyat bisa menjadi korban dan negara kehilangan kekayaan yang tak tergantikan.

Karena itu, langkah ke depan harus melibatkan:

  • Kajian Lingkungan dan Sosial (AMDAL) yang serius dan jujur
  • Partisipasi aktif masyarakat lokal dalam setiap proses pengambilan keputusan
  • Komitmen perusahaan untuk keberlanjutan dan transparansi
  • Pemantauan ketat dari negara dan akademisi yang independen

Saatnya Kita Bicara dengan Hati dan Akal Seimbang

Keberadaan indikasi migas dan tambang di bumi Aceh bukan sekadar soal potensi ekonomi. Ini adalah ujian moral dan kecerdasan kolektif kita sebagai bangsa: apakah kita bisa menjaga berkah alam dengan kebijaksanaan, atau justru terjebak dalam nafsu eksploitasi jangka pendek.

Aku percaya, bila kita duduk bersama seperti hari ini—dengan hati yang jernih dan pikiran yang terbuka—kita bisa melahirkan solusi yang bukan hanya cerdas secara teknis, tapi juga adil bagi manusia dan alam.

Mari terus menyuarakan ide, menjaga nalar, dan menanam harapan. Karena Aceh tak hanya butuh tambang yang dalam, tapi juga pikiran yang terang dan cinta yang luas. []

Lebih baru Lebih lama