Oleh: Siti
Hajar
Hari ini, aku
berada di sebuah forum yang terasa seperti rumah bagi jiwa dan pikiranku—Forum
Cendekiawan Muslim Indonesia Aceh. Di ruang itu, aku menjumpai wajah-wajah yang
pernah menjadi bagian dari perjalananku: teman-teman kampus, rekan-rekan HMI,
sahabat aktivis Inong Aceh. Namun yang membuat hati ini bergetar bukan sekadar
nostalgia, melainkan kehadiran orang-orang yang datang dengan niat tulus—ingin
memberi, ingin mendengar, dan ingin merawat bumi Aceh dengan ilmu dan cinta.
Tak ada sorak
sorai. Tapi nuansa akademisnya begitu menggetarkan. Satu demi satu berbicara,
memberi sumbangsih pemikiran dari kepakarannya. Yang lain menanggapi, menambah,
menyambung benang-benang diskusi. Tidak saling menjatuhkan, tapi saling
meneguhkan. Diskusi itu hidup karena dibangun dari keikhlasan. Bukan semata
soal tata kelola migas dan pertambangan, tapi juga tentang keberlanjutan,
keadilan, dan tanggung jawab sebagai khalifah di bumi.
Aku pulang
membawa lebih dari sekadar catatan seminar. Aku pulang membawa energi baru,
semangat yang dulu mungkin sempat lelah, kini menyala kembali. Dan aku tahu,
inilah jalan yang ingin terus kutapaki: belajar, berbagi, dan menjaga
Aceh—dengan ilmu, iman, dan cinta.
Ketika Daerah
Wisata Berubah Menjadi Daerah Tambang
Dalam sesi
diskusi itu, muncul pertanyaan penting: Apa yang terjadi ketika suatu daerah
wisata berubah menjadi daerah pertambangan?
Jawabannya tidak
sederhana. Ada pergeseran besar dalam fungsi lahan, orientasi ekonomi, sosial,
dan ekologi. Dampaknya bisa bersifat positif maupun negatif—semuanya sangat
tergantung pada bagaimana proses itu dirancang, dikelola, dan diawasi.
✅
Manfaat yang Mungkin Diperoleh
Bagi Negara:
- Peningkatan Pendapatan melalui pajak, royalti, dan
retribusi dari aktivitas pertambangan.
- Penyediaan Bahan Baku penting untuk industri
nasional seperti batubara, emas, nikel, dan migas.
- Dorongan Investasi yang berkontribusi pada
pertumbuhan ekonomi nasional.
Bagi Masyarakat
Sekitar:
- Lapangan Kerja Baru untuk masyarakat lokal sebagai
buruh, teknisi, maupun penyedia jasa pendukung.
- Peningkatan Infrastruktur, seperti jalan, listrik,
dan fasilitas umum yang turut dimanfaatkan warga.
- Program Tanggung Jawab Sosial (CSR) yang bisa
membantu pembangunan sekolah, klinik, pelatihan, dan UMKM.
❌
Kerugian yang Berisiko Terjadi
Bagi Negara:
- Kehilangan Potensi Wisata Jangka Panjang, yang
sejatinya bisa memberikan dampak ekonomi yang lebih menyebar dan
berkelanjutan.
- Tingginya Biaya Pemulihan Lingkungan, jika terjadi
kerusakan akibat eksploitasi berlebih atau kelalaian pengelolaan.
- Potensi Konflik Sosial, seperti protes warga,
konflik lahan, hingga pelanggaran hak asasi manusia.
Bagi Masyarakat
Sekitar:
- Kerusakan Lingkungan, seperti pencemaran air,
udara, dan degradasi lahan yang mengganggu ekosistem lokal.
- Hilangnya Mata Pencaharian Tradisional, seperti
petani, nelayan, pengrajin, dan pelaku wisata.
- Gangguan Kesehatan Masyarakat, akibat polusi atau
limbah berbahaya yang merusak sumber air bersih dan udara sehat.
- Punahnya Identitas dan Budaya Lokal, ketika
nilai-nilai kearifan lokal tergantikan oleh sistem industri yang asing dan
eksploitatif.
Meneguhkan Arah:
Perlu Keputusan yang Cerdas dan Bijak
Transformasi
dari wisata menjadi wilayah industri tambang tidak salah, selama dikelola
dengan prinsip keadilan ekologis dan sosial. Namun, harus disadari bahwa
keuntungan ekonomi jangka pendek tidak boleh menutup mata terhadap kerugian
jangka panjang. Tanpa pengelolaan yang berkelanjutan, rakyat bisa menjadi
korban dan negara kehilangan kekayaan yang tak tergantikan.
Karena itu,
langkah ke depan harus melibatkan:
- Kajian Lingkungan dan Sosial (AMDAL) yang serius
dan jujur
- Partisipasi aktif masyarakat lokal dalam setiap
proses pengambilan keputusan
- Komitmen perusahaan untuk keberlanjutan dan
transparansi
- Pemantauan ketat dari negara dan akademisi yang
independen
Saatnya Kita
Bicara dengan Hati dan Akal Seimbang
Keberadaan
indikasi migas dan tambang di bumi Aceh bukan sekadar soal potensi ekonomi. Ini
adalah ujian moral dan kecerdasan kolektif kita sebagai bangsa: apakah kita
bisa menjaga berkah alam dengan kebijaksanaan, atau justru terjebak dalam nafsu
eksploitasi jangka pendek.
Aku percaya,
bila kita duduk bersama seperti hari ini—dengan hati yang jernih dan pikiran
yang terbuka—kita bisa melahirkan solusi yang bukan hanya cerdas secara teknis,
tapi juga adil bagi manusia dan alam.
Mari terus menyuarakan ide, menjaga nalar, dan menanam harapan. Karena Aceh tak hanya butuh tambang yang dalam, tapi juga pikiran yang terang dan cinta yang luas. []