Bukan Cerita Film (Cerpen)

 

Oleh: Siti Hajar

Langit Gampong Meurandeh tetap setia dengan birunya. Burung-burung jalak berputar rendah, menyapa daun kelapa dan juga batang melinjo serta rumpun bambu di pinggir jalan Gampong. Namun, Hasan merasakan perubahan yang tak tertangkap mata. Sebuah beban yang tak kasat, namun terasa menyesakkan.

Ia baru pulang tiga bulan lalu, setelah tujuh tahun merantau di kota. Menyelesaikan kuliah, bekerja sebentar di lembaga lingkungan, lalu memutuskan pulang. Alasannya sederhana—ia ingin tanah kelahirannya berubah. Lebih lestari. Lebih mandiri. Lebih dari sekadar gampong yang “baik-baik saja”.

Dengan semangat yang menggebu, ia mengetuk pintu balai desa, membawa beberapa kertas tentang pengelolaan sampah rumah tangga berbasis kompos dan bank sampah. Ide itu sederhana dan murah. Ia bahkan menyiapkan pelatihan gratis, lengkap dengan alat dan relawan.

Namun sejak awal, Pak Geuchik Ismail yang kerap dipanggil Geuchik Ma’e hanya mengangguk pelan. Matanya tak benar-benar menatap Hasan, lebih sering menatap tumpukan berkas di mejanya.

"Ini niat baik, Nyak Hasan. Tapi masyarakat kita belum tentu siap. Jangan sampai niat baikmu malah jadi sumber ribut," katanya hati-hati.

Hasan paham maksudnya. Ia hanya menunduk, meski dalam hatinya terasa gemuruh yang sulit diredakan.

Yang tak ia duga adalah Diana—putri Pak Geuchik—justru menunjukkan ketertarikan. Diana, dengan wajah teduh dan nada bicara tenang, mulai muncul di kegiatan kecil yang digelar Hasan bersama beberapa anak muda yang masih ragu-ragu tapi penasaran.

Ia tak banyak bicara, tapi tatapannya jujur. Ia mencatat, bertanya, dan bahkan ikut mengumpulkan dedaunan melinjo yang hampir setiap hari dari halaman samping rumahnya.

Diana juga membantu Bu Juniati mengumpulkan sisa-sisa sampah organic dari membuat kue pulut setiap hari. Bu Juniati —ibu pertama yang mau mencoba metode kompos ala Hasan.

“Aku suka melihatmu percaya,” kata Diana suatu sore. “Bukan pada hasilnya… tapi pada prosesnya.”

Hasan nyaris tak bisa menjawab. Ia hanya mengangguk dan tersenyum.

Namun, dunia tidak sesederhana itu.

Gampong kecil menyimpan politik kecil yang pelik. Faisal ketua karang taruna yang sejak lama diam-diam menyukai Diana, mulai merasa terancam. Bukan hanya karena kedekatan Hasan dan Diana, tapi karena popularitas Hasan di kalangan anak muda mulai tumbuh. Ia melihat itu sebagai ancaman—pada harga dirinya, pada peran sosialnya, pada bisnis pupuk dan pestisida dari toko pamannya yang sudah lama merajai ladang Gampong Meurandeh.

Maka gosip mulai beredar. Tentang Hasan yang katanya dibayar LSM luar negeri untuk mengacaukan Gampong mereka. Tentang metode kompos yang bisa membawa hama. Tentang Diana yang kabarnya mulai tak mendengar kata orangtuanya.

Puncaknya terjadi saat papan informasi karang taruna dicoret orang tak dikenal. Di atas cat yang menutupi jadwal ronda, tertulis dengan huruf besar:

“JANGAN BIARKAN PENGKHIANAT MERUSAK DESA!”

Hasan menatap tulisan itu pagi-pagi sekali, sebelum orang lain bangun. Ia tahu siapa yang melakukannya, tapi memilih diam. Ia menghapusnya sendiri, pelan-pelan, dengan air sabun dan kain basah.

Hari itu juga Pak Geuchik memanggilnya.

"Hasan, pulangmu membuat banyak gelombang. Bapak tahu kamu punya niat baik. Tapi kamu juga harus bijak. Gampong ini tak bisa diubah dengan tergesa-gesa. Apalagi kalau anak bapak ikut-ikutan kamu."

Hasan ingin membantah. Tapi ia tahu, ini bukan soal logika. Ini soal pengaruh, ketakutan, dan harga diri yang tak terucap.

"Aku salah, Pak. Pernah mengajak Diana dan teman-teman yang lain membantuku." ujarnya lirih.

Pak Lurah menghela napas. "Tapi sedihnya dia cukup terpengaruh oleh kamu. Dan itu membuat banyak orang gelisah. Termasuk ibunya."

Beberapa hari setelah itu, Diana tak muncul lagi di kegiatan bank sampah kecil mereka. Tak juga menjawab pesan singkat Hasan. Rumahnya sepi, tidak juga nampak membersihakan daun melinjo yang berguguran halaman samping rumahnya. Bagi Hasan Gampong ini menjadi sepi.

Namun, Hasan bertekad tidak pergi dan tidak menyerah. Ia tetap datang ke kebun Bu Juniati, tetap mengajak anak-anak kecil membuat pot dari botol bekas. Ia menulis blog sederhana yang diam-diam dibaca orang-orang kota. Kadang ada mahasiswa datang, kadang wartawan lokal.

Dan suatu pagi, Diana datang lagi. Kali ini dengan wajah yang lebih tenang, lebih matang. Seakan tidak satu orang pun bisa menghalanginya menjadi pemudi pembaru di gampongnya.

"Aku tidak pergi karena takut, Bang Hasan. Aku pergi untuk berpikir. Kadang yang baru memang menakutkan. Tapi yang lebih menakutkan adalah ketika kita tahu kebenaran... tapi memilih diam," katanya sambil duduk di bale-bale dekat meunasah Gampong mereka.

Hasan menatapnya lama, sebelum berkata, "Ini bukan cerita film, Diana. Kita mungkin kalah. Tapi kita tidak sedang akting."

Diana tersenyum. "Justru karena ini bukan film, kita tak bisa kabur dari peran kita."

Dan sejak hari itu, mereka melanjutkan. Perlahan. Tanpa panggung. Tanpa tepuk tangan. Hanya dengan satu harapan: bahwa kebaikan, sekecil apapun, akan menemukan caranya sendiri untuk tumbuh. Membangun untuk kemajuan gampong mereka, yang akan diwariskan kepada anak cucu. []

 

Lebih baru Lebih lama